JAKARTASATU.COM – Kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) yang akan digelar Februari 2024 mendatang terasa stagnan, monoton dan tak ada kejutan menarik yang terjadi. Ribut dalam kemandegan. Meski sekilas terasa ramai dengan perang urat syaraf antar partai pengusung dan pendukung yang tak pernah bosan membuang sampah di media maupun sosial media, namun sebenarnya kontestasi kandidat capres yang terjadi tidak kemana-mana. Jalan persaingan telah memasuki gang buntu kepada tiga kandidat yang dianggap kuat dan mampu bersaing ketat, Anies Baswedan, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo.

Lebih sialnya lagi kontestasi yang terjadi bukanlah perang ide, gagasan dan pemikiran-pemikiran besar untuk bangsa ini di masa depan, melainkan sekedar mengais-kais perca-perca noda hitam sejarah masing-masing kandidat, unjuk prestasi kemarin yang mungkin harus kita bilang wow, pencitraan plastis seperti mendadak merakyat, mendadak lugas, mendadak lugu, mendadak relegius dan berbagai varian serba mendadak lainnya.

Selebihnya yang bisa dibilang agak menggemaskan adalah tarik ulur kandidat bakal calon wakil presiden yang sepertinya sengaja ditunda-tunda sehingga tetap menjadi misteri hingga detik terakhir tenggat waktu pendaftaran yang telah ditentukan. Tak ada satu pun dari ketiga kandidat Capres yang kini telah mengantongi koalisi partai pengusung, bernyali untuk memastikan siapa kandidat cawapres yang didaulat mendampinginnya, demi mendukung visi dan misi besar yang akan dipersembahkan bagi masa depan bangsa ini.

Semuanya saling menunggu, saling menahan, dan saling menciptakan misteri yang mungkin diyakini sebagai strategi yang mumpuni. Di tengah pesaingan hasil survei elektabilitas dan popularitas yang beda-beda tipis saat ini, masing-masing kandidat capres menempatkan posisi cawapres pendamping sebagai pendulang suara pembeda yang bisa menjadi kunci kemenangan yang didamba. Karena keyakinan itulah sepertinya masing-masing kandidat capres menjadikan sosok cawapres yang akan mendampingi mereka sebagai salah satu strategi yang haram untuk dibuka sejak dini, agar bisa menjadi senjata pemenangan yang sulit diantisipasi pihak lawan. Kalau benar, ini yang diyakini, bisa dipastikan bahwa pendaftaran nama cawapres yang akan dipilih, akan diumumkan di detik-detik terakhir jadwal pendaftaran yang telah ditetapkan KPU. Bisa saja tragedi prank politik seperti yang menimpa Mahfud MD yang urung diajak mendampingi Jokowi sebagai cawapres dan mendadak digantikan Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019 lalu bisa terulang kembali.

Peran Penyerta atau Penderita?

Mungkin memang itulah salah satu peran penting bagi eksistensi seorang wakil presiden. Seorang wakil presiden hanya nampak berdaya dan sangat berguna ketika masa kampanye pemilihan semata. Sesudahnya, tak perlu kita uraikan secara blak-blakan karena dengan gampang masyarakat bisa melihat sendiri secara gamblang bagaimana peran seorang wakil presiden ketika Pilpres telah dimenangkan. Kecuali presiden mangkat, berhalangan atau diberhentikan, wakil presiden adalah jabatan yang tidak banyak memiliki peran dalam pemerintahan.

Thomas R. Marshall, wakil presiden Amerika Serikat (AS) yang mendampingi pemerintahan Presiden Woodrow Wilson, secara getir menyatakan, “Menjadi wakil presiden sama halnya dengan seorang pria yang mengalami kataleptik. Dia tidak bisa berbicara, dia tidak bisa bergerak, dia tidak menderita sakit, dia sangat menyadari semua yang terjadi, tetapi tidak mengambil bagian di dalamnya.” Sungguh tragis bukan?

Mungkin karena mendengar kegetiran nasib yang dialami Thomas R. Marshall itulah, maka Senator Massachusetts Daniel Webster menolak tawaran untuk menjadi cawapres William Henry Harrison pada Pilpres AS tahun 1840. Dengan sarkas dia mengatakan,“I do not propose to be buried until I am dead.” (Saya tidak ingin dimakamkan sampai saya benar-benar mati dan berada di dalam peti mati saya: terjemahan bebas penulis). Sial, mungkin itulah yang dinamakan takdir. Pasalnya jika saja Daniel menerima tawaran sebagai cawapres tersebut, dia bisa segera menjadi Presiden sebulan setelah pelantikannya, karena Harrison meninggal hanya dalam waktu sebulan setelah menduduki jabatannya. Hebatnya kenyataan tersebut tidak membuat Daniel mengubah pendapat buruknya tentang eksistensi seorang wakil presiden. Dia lagi-lagi menolak untuk menjadi cawapres Zachary Taylor pada Pilpres AS berikutnya di tahun 1848. Dan konyolnya lagi, Taylor pun juga meninggal saat masih menjabat Presiden seperti halnya Harrison.

Apa boleh buat, berbeda dengan wakil presiden dalam sebuah perusahaan komersil dimana tugasnya biasanya justru lebih banyak dibandingkan presiden direkturnya, dalam pemerintahan seorang wakil presiden hanya menempati posisi sebagai perang pendamping presiden, peran pendukung, sekedar peran penyerta, atau malah justru menjadi peran penderita semata?

Meskipun tidak sarkas, Thomas Jefferson, penulis piagam kemerdekaan AS dan menteri luar negeri pertama negara itu, juga menuliskan pendapat yang kurang positif mengenai peran seorang wakil presiden. “Kantor kedua pemerintahan ini terhormat dan mudah, yang pertama hanyalah kesengsaraan yang luar biasa,” begitu katanya saat menjadi wakil presiden dari John Adams pada pemilihan presiden di 1796 sebelum akhirnya naik menjadi presiden karena berhasil mengalahkan sang presiden pada pilpres AS tahun 1800.

Mungkinkah kalau menjadi wakil presiden di Indonesia berbeda? Sayangnya penulis tidak menemukan cerita mengenai hal ini dari BJ Habibie maupun Megawati Soekarnoputri yang pernah menjadi wakil presiden dan presiden di negeri tercinta ini. Yang jelas secara kasat mata, tentunya khalayak bisa melihat dengan jelas bagaimana peran para wakil presiden yang telah ada di Indonesia selama ini.

Alat Gertak Daya Tawar Politis

Terlepas dari peran seorang wapres yang boleh dikata naif, ternyata posisi dan peran cawapres lebih memiliki daya tawar yang lebih kuat. Terlihat nyata pada kondisi kontestasi Pilpres sekarang ini. Di luar 3 kandidat capres yang telah semakin mengerucut dan pasti sekarang ini, ternyata posisi cawapres bisa menjadi alat tawar dan mesin gertak yang cukup sakti. Secara vulgar kita bisa melihat bagaimana Partai Demokrat dengan AHY-nya, PKB dengan Cak Imin-nya, PPP dengan Sandiaga Uno-nya, PAN dengan Erick Thohir-nya dan Golkar dengan Airlangga-nya.

Di tengah kegigihan masing-masing kandidat kontestan capres yang kekeh mengulur-ulur bacawapres yang dipilihnya, partai-partai dengan figur bacawapres yang dimilikinya mampu memberikan gertakan dan penawaran yang memojokkan posisi para kandidat capres tersebut. Partai demokrat bisa terus menekan Anies Baswedan untuk segera mengumumkan pasangan cawapresnya, PKB bisa menggertak Prabowo untuk mendaulat Cak Imim sebagai bacawapresnya atau PKB minggat ke koalisi lain, sementara itu Golkar yang akhirnya bergabung dengan koalisi Prabowo juga mengajukan ketum mereka Airlangga Hartanto sebagai cawapres yang layak bagi Prabowo. Sedangkan di koalisi pendukung pencapresan Ganjar Pranowo,PPP juga seakan-akan menggertak Ganjar untuk mau tidak mau mendaulat Sandiaga Uno sebagai cawapres pendampingnya.

Hitung-hitungan kekuatan dukungan, perolehan suara, kemapanan dana, popularitas dan elektablitas untuk menambal sulam bolong-bolong yang masih menjadi kelemahan tiga kontestan kuat capres inilah yang hari-hari ini selalu mewarnai geliat politik menjelang tengat jadwal pendaftaran pasangan capres-cawapres untuk Pilpres 2024 besok. Saling goda, saling bujuk, rayu, dan tawar-menawar sepertinya masih akan terjadi selama hari “H” pendaftaran belum terlewati. Kehati-hatian para kandidat capres untuk berani segera memastikan siapa pasangannya inilah yang membuat kondisi ini terus berlarut-larut. Pasalnya bisa jadi akan ada kekecewaan pihak parpol yang bisa mengubah peta koalisi atau wacana negatif yang boleh jadi destruktif terhadap sang kandidat capres karena keputusan yang diambil. Misalnya kasus julukan “Jenderal Kardus” yang sempat disematkan oleh beberapa golongan kepada Prabowo saat dirinya memutuskan untuk memilih Sandiaga Uno sebagai cawapresnya dibandingkan AHY yang juga sempat menjadi kandidat kuat cawapres Prabowo.

Akankah drama-drama penetapan cawapres akan muncul lagi di detik-detik pendaftaran pasangan capres-cawapres Pilpres 2024 sekarang? Tentunya hal serupa itu sangat mungkin terulang lagi. Yang jelas memang pada saat menjadi calon inilah peran wapres sangat diperhitungkan. Semoga saja setelahnya, tidak terjadi “habis manis daya raup suara dikerahkan, dan saat tinggal sepahnya saja perannya dipinggirkan atau malah dibuang”. Tabik. | Red.