INDONESIA DAN POLITIK SANDERA
Oleh: Radhar Tribaskoro
Menurut kabar, besok Selasa 5 September 2023, Muhaimin Iskandar akan dipanggil KPK untuk menjadi saksi kasus korupsi yang terjadi di Kementerian Tenaga Kerja tahun 2012. Pada ketika itu, Muhaimin Iskandar menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja. Orang kemudian langsung bereaksi, “Tangan Jokowi bermain lagi.” Ia menghukum orang-orang yang tidak mau mengikuti perintahnya. Hal ini sudah pernah terjadi pada Suharso Monoarfa dan Airlangga Hartarto. Suharso kehilangan partainya, Airlangga hampir saja.
Apa yang terjadi pada Suharso, Airlangga dan Muhaimin disebut sebagai politik sandera. Presiden sengaja mengangkat pembantu yang memiliki cacat hukum agar ia bisa menuntut kesetiaan tanpa batas dari mereka. Kalau pembantu-pembantunya itu berjalan di luar arahannya, maka dengan mudah mereka disingkirkan oleh aparat hukum yang dikuasainya.
Bagaimana Politik Sandera menyebabkan karut marut dunia politik kita adalah pokok soal yang ingin saya bahas dalam artikel ini.
Dampak Politik Sandera
Politik sandera telah sukses menggerakkan para menteri bekerja tanpa hati nurani, meletakkan buruh, masyarakat adat, sumberdaya alam, tanah dan keuangan ke dalam mulut rakus kapitalis. Fakta itu mau ditutupi dengan projek-projek infrastruktur yang dibangun serampangan tidak mengindahkan kelayakan keuangan, sosial dan lingkungan. Lebih celaka lagi, projek-projek itu menimbun utang yang luar biasa besarnya, yang investasinya tidak mungkin dibayar oleh projek itu sendiri.
Semua itu terjadi di depan mata DPR yang dipilih rakyat secara langsung. Dalam hal ini Politik Sandera berhasil membungkam DPR, sehingga fungsi pengawasan lembaga itu lenyap sama sekali.
Secara umum, Politik Sandera menyebabkan terjadinya kemunduran demokrasi (democracy backsliding) yang parah. Sistem politik gagal membangun mekanisme check and balance. Selanjutnya, partai politik ikut tersandera dan sebagaimana para ketumnya, mereka terancam kehilangan marwahnya.
Backfire
Betulkah partai politik pun akan kehilangan marwahnya? Hal ini akan kita lihat dari konfigurasi pilpres 2024, apakah sesuai dengan keinginan presiden?
Seperti diketahui, Presiden masih ingin mengendalikan politik setelah kekuasaannya berakhir di 2024. Untuk itu ia ingin mengatur siapa tokoh yang menjadi capres, cawapres dan siapa yang menang. Dalam hal ini presiden ingin partai-partai politik dalam kabinetnya mendukung keinginannya itu.
Tetapi hal itu tidak mudah. Keinginannya itu bertabrakan dengan kehendak partai-partai politik di dalam koalisinya yang menganggap kontrak mereka dengan presiden hanya berlaku sampai akhir masa jabatannya. Tidak ada partai yang ingin menggadaikan masa depannya kepada orang yang bahkan tidak punya partai. Tidak ada partai yang mau kandidat capres/cawapresnya ditentukan oleh orang di luar partai. Hanya partai yang telah terkooptasi dan kehilangan integritas (marwah) dapat diperlakukan seperti itu.
Cawe-cawe presiden dalam penentuan capres dan cawapres dapat dikatakan telah menyentuh jantung eksistensial partai politik: marwah mereka. Kooptasi teah terjadi pada diri Suharso Monoarfa, ia dicopot dari jabatan Ketum PPP karena dicurigai menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh oposisi. Tidak ada komplikasi sebab Monoarfa tidak melawan.
Namun ketika Airlangga mendapat ancaman yang sama muncul reaksi tidak terduga. Golkar melawan. Seluruh faksi di Golkar menolak dikooptasi. Namun belakangan Airlangga menyerah. Ia mengikuti arahan presiden untuk mendukung Prabowo Subianto.
Apakah kooptasi terhadap Muhaimin akan membuahkan hasil yang sama? Saya menduga bahwa upaya itu malah menjadi backfire. Hasilnya justru akan membakar tangan penguasa. Mengapa?
Manuver Muhaimin
Muhaimin berbeda dengan Airlangga. Ia seorang dengan latar belakang aktivis. Perbedaan aktivis dengan non-aktivis adalah aktivis bisa melakukan sacrifice. Ia pernah melakukan sacrifice, berontak melawan Gus Dur dan menjadi musuh orang yang sangat dihormati di NU. Dan menang.
Kemenangan Muhaimin tidak menjadikan dirinya senang. Ia dituduh pengkhianat, dan ini pengorbanan dirinya yang kedua. Selama bertahun-tahun orang tidak menyadari bahwa apa yang dilakukannya sama sekali tidak berdasar kepada egoisme. Adhie Massardi, mantan jubir Gus Dur, membongkar kenyataan di baik konflik Gus Dur dengan keponakannya itu. Muhaimin melawan Gus Dur karena tidak ingin PKB jatuh ke tangan Sigit HW. Sigit mendominasi PKB ketika itu karena kedekatannya dengan putri tertua Gus Dur. Bila Muhaimin tidak melawan, tidak bisa tidak, Sigit yang sama sekali bukan warga NU akan menguasai PKB.
Muhaimin tidak tenggelam karena caci-maki. Ia memenangkan kasusnya dengan Gus Dur karena alasan objektif. Hakim menilai ia tidak bisa dipecat oleh Gus Dur karena ia dipilih oleh Muktamar secara terpisah dari Gus Dur. Menurut hakim ia hanya bisa dipecat oleh muktamar.
Perjalanan politik Muhaimin selanjutnya menunjukkan kepiawaiannya mengendalikan PKB. Ia mampu mengatasi tokoh-tokoh NU yang jauh lebih senior seperti Matori Abdul Jalil dan Alwi Shihab. Sampai sekarang ia telah memimpin PKB hampir seperempat abad, terlama dibanding ketum partai lain.
Saya menceritakan hal ini untuk menunjukkan Muhaimin bukan ketum partai kaleng-kaleng. Sangat berbeda dengan Airlangga. Dia punya tenaga dan bisa menggigit dengan keras. Ia berani berkorban dan pasti berani melawan.
Muhaimin telah menerima pinangan menjadi wakil Anies. Keputusan itu ia rencanakan matang. Ia tahu akan ada yang marah dan mau mengorek-ngorek track recordnya. Namun saya yakin ia telah bersiap.
Bintang yang Membakar
Muhaimin akan membakar tangan Jokowi karena menghentikan dirinya tidak dapat membatalkan bergabungnya PKB dalam Koalisi Perubahan. Keputusannya sudah menjadi keputusan partai. Kalaulah Muhaimin diangkut oleh KPK, kedudukannya sebagai wakil Anies akan digantikan oleh tokoh PKB yang lain. Hal itu malah semakin membulatkan kader PKB untuk berjuang habis-habisan demi pemenangan pilpres dan kebebasan ketua umum partainya. Selepas itu, Jokowi harus bersiap menghadapi pembalasan dari partai ini.
Kedua, politik sandera selama ini ditelan begitu saja oleh para politikus nusantara karena ingin ketum mereka aman. Untuk itu mereka telah memenuhi semua permintaan Jokowi termasuk mengamputasi hak-hak mereka sendiri. Ketika penguasa tetap merudapaksa ketum mereka, rasa muak itu sudah sulit ditelan lagi. Ada satu titik dimana penghinaan demi penghinaan tidak bisa lagi diterima, dan kemarahan akan membludak.
Jangan lupa dua partai, PDI Perjuangan dan Nasdem, dengan berani telah menolak intervensi Jokowi dalam penentuan capres dan cawapres. PKB menjadi partai ketiga. Hanya tersisa sedikit partai saja untuk menjadikan DPR dan MPR lubang kematian bagi Jokowi.
Semua langkah Jokowi untuk mempertahankan kekuasaan, satu demi satu, telah tertutup. Sebaiknya memang, hentikan cawe-cawe itu. Kekuasaan harus punya batas.—