Jurnalis VOA berdarah Indonesia, Patsy Widakuswara mengalami kejadian yang elok ditengah meliput pertemuan bilateral antara Amerika Serikat (AS) dengan Indonesia di KTT ASEAN, Jakarta, Rabu (6/9/2023). Patsy diminta keluar oleh petugas setelah bertanya dengan cara berteriak kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden AS, Kamala Harris.
OLEH AENDRA MEDITA KARTADIPURA *)
Sebenarnya saya awalnya tak mau ikutan komentar soal kasus yang menimpa Jurnalis Patsy Widakuswara tapi saya melihat nampaknya harus juga ikutan nimbrung, dan bukan mau mengepung sehingga jurnalis tak bisa bertugas.
Saya pernah bicara Kebebasan pers dalam demokrasi pada hari Hari Kebebasan Pers Sedunia atawa World Press Freedom Day 3 Mei 2005 di media Voice of Amerika (VoA) tepat peringatan World Press Freedom Day itu saya secara pribadi pernah menyuarakan saat berada di Washington DC dalam rangka mengahadiri undangan liputan “Festival Film dan Fotografi US-Asean 2005” yang digelar oleh The Grace Heritage Foundation acaranya berlangsung di National Geographic Museum, Washington DC Amerika Serikat.
Tepat saat itu 2005 di Amerika hari pers dunia ditandai dengan menyematkan nama Ersa Siregar jurnalis RCTI yang gugur dalam tugas di Aceh. Jurnalis Ersa Siregar masuk dalam list name di Newsmuseum Washington DC, sebuah papan nama para pejuang pers dunia. Yang bisa masuk daftar Newsmuseum itu mereka adalah pejuang yang melawan pembungkaman, sensor dan penangguhan, serta untuk mengenang para jurnalis, editor, penerbit yang kehilangan nyawa saat dalam bertugas di seluruh dunia.
Washington DC memang banyak museum. Dalam seminggu jika kita menjelajahi museum di Washington DC ini baru akan selesai. Museum disana mulai dari seni aerospace sampai yang baru saat saya disana baru diresmikan adalah Museum American Indiana. Kawasan ini berderet disekitar St SW, Washington, DC, Amerika Serikat atau dikenal dengan National Mall yang pengelolaannya Organisasi induk Institusi bernama Smithsonian.
Aendra Medita bersama Patsy Widakuswara di Studio VoA saat live di Washington DC Amerika/ist
Tapi saya katakan bahwa sikap independen adalah yang harus dipegang jika pers ingin bersih dan jujur. Jujur saja saya sendiri bangga di kasih ruang di VoA saat itu live dalam siaran bahasa Indonesia sore itu waktu Washington DC dan pagi waktu Indonesia yang disiarkan di Live MetroTV saat itu.
Kita bahas tentang kebebasan pers secara umum termasuk kondisi di Indonesia, saya mengungkapkan apa adanya pers kita saat itu yang masih banyak tekanan apakah dari preman atau dari kekuatan lain yang mengancam.
Jus juga menambahkan ada contoh seorang tokoh yang dalam sebuah prescon terus wartawannya akan bertanya pake kata mohon ijin, ini yang aneh jurnalis itu bukan angkatan atau polisi, kalau tanya tak perlu ijin langsung saja angkat tangan tanya, itu adalah demokrasi, jurnalis punya kebebasan pers yang hakiki, jelasnya.
Atas insiden yang terjadi di KTT Asean tersebut, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menilai:
Pertama, Indonesia merupakan negara Demokrasi yang menjamin kemerdekaan pers sebagaimana dengan amanat Pasal 28f UUD 1945 dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 2 UU Pers menyatakan “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”. Tindakan penghalangan kerja jurnalistik jelas-jelas bertentangan dengan semangat demokrasi dan kemerdekaan pers.
Kedua, tindakan para petugas keamanan dan pejabat Indonesia dengan mengusir serta dugaan mengintimidasi secara verbal merupakan tindakan merusak citra demokrasi Indonesia khususnya pada perlindungan dan jaminan ruang aman untuk jurnalis dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Bahkan tindakan tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran UU Pers Pasal 18 ayat (1) Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Atas peristiwa itu, AJI Jakarta dan LBH Pers menyatakan sikap:
1. Mengecam tindakan intimidasi dan penghalang-halangan kerja jurnalistik berupa ancaman tidak memberikan akses untuk meliput agenda KTT ASEAN.
2. Mendorong semua pihak menghormati dan memberikan perlindungan hukum terhadap jurnalis yang melaksanakan tugas profesinya berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Jurnalis memiliki hak dan mendapatkan perlindungan hukum dalam hal sedang menjalankan fungsi, hak, kewajiban dan perannya yang dijamin Pasal 8 UU Pers. Perlindungan hukum itu dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat;
3. Mendesak semua pihak termasuk pemerintah berhenti menghalang-halangi meninggalkan praktik penghalang-halangan dan membatasi pertanyaan jurnalis yang berujung menghambat hak publik untuk mendapat informasi dapat mengakibatkan terhambatnya hak publik atas informasi.
Sejarah Hari Kebebasan Pers Sedunia dan Tujuannya
Hari Kebebasan Pers Sedunia dicanangkan oleh Sidang Umum PBB pada bulan Desember 1993, mengikuti rekomendasi dari Konferensi Umum UNESCO. Sejak itu, 3 Mei, peringatan Deklarasi Windhoek di seluruh dunia dirayakan sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia. Setelah 30 tahun, hubungan bersejarah yang dibuat antara kebebasan untuk mencari, menyebarkan dan menerima informasi dan barang publik tetap relevan seperti pada saatpenandatanganannya. Peringatan khusus peringatan 30 tahun direncanakan berlangsung selama Konferensi Internasional Hari Kebebasan Pers Sedunia.
Tanggal 3 Mei berfungsi sebagai pengingat bagi pemerintah tentang perlunya menghormati komitmen mereka terhadap kebebasan pers. Ini juga merupakan hari refleksi di kalangan profesional media tentang masalah kebebasan pers dan etika profesional. Ini adalah kesempatan untuk:– merayakan prinsip-prinsip dasar kebebasan pers;– menilai keadaan kebebasan pers di seluruh dunia;– membela media dari serangan terhadap kemerdekaan mereka;– dan memberikan penghormatan kepada jurnalis yang telah kehilangan nyawa mereka saat menjalankan tugas.
Tema 2021: Information as a Public Good
Tema Hari Kebebasan Pers Sedunia tahun ini “Information as a Public Good” berfungsi sebagai seruan untuk menegaskan pentingnya menghargai informasi sebagai barang publik, dan mengeksplorasi apa yang dapat dilakukan dalam produksi, distribusi dan penerimaan konten untuk memperkuat jurnalisme, dan untuk memajukan transparansi dan pemberdayaan tanpa meninggalkan siapa pun. Temanya sangat relevan untuk semua negara di seluruh dunia. Ini mengakui sistem komunikasi yang berubah yang berdampak pada kesehatan kita, hak asasi manusia kita, demokrasi dan pembangunan berkelanjutan.
Peringatan 2021 juga bertepatan dengan peringatan 30 tahun Deklarasi Windhoek untuk Pengembangan Pers yang Bebas, Independen dan Pluralistik yang akan dirayakan bersamaan dengan WPFD dari 1 hingga 3 Mei 2021 di Ibu Kota Namibia. Hari Kebebasan Pers Sedunia (WPFD) 2021 tahun ini di Namibia dan UNESCO menyelenggarakan acara kick-off penyerahan tongkat estafet dari negara tuan rumah Konferensi Global tahun Belanda.
Kemunduran Demokrasi dampak negatif pada kebebasan pers
Laman ejournal.politik.lipi.go.id mengungkap bahwa kebebasan pers dan perkembangan demokrasi memiliki jalinan intrinsik. Namun, tren kemunduran demokrasi secara global juga memberi dampak negatif pada kebebasan pers dan media, termasuk di Asia Tenggara. Skor indeks demokrasi di beberapa negara Asia Tenggara mengalami stagnasi dan cenderung menurun. Artikel ini memilih enam dari sebelas negara di Asia Tenggara sebagai obyek perbandingan, yakni Timor Leste, Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia, dan Thailand. Perbandingan dilakukan terhadap beberapa aspek kebebasan pers dan media di keenam negara yang dipilih menggunakan data survei yang diperoleh melalui V-Dem, Freedom House, dan Reporters Sans Frontières (RSF).