KONFLIK TANAH DAN BUDAYA DI REMPANG

Oleh: Radhar Tribaskoro

Latar belakang

Rempang telah menjadi persemaian konflik tanah, satu dari ribuan kasus serupa di tanah air sejak republik ini berdiri. Penanganan konflik ini yang berat sebelah dan penuh kekerasan telah membangunkan sentimen kaum Melayu. Ribuan orang Melayu datang dari Riau, Jambi, Medan bahkan Palembang berkumpul di Rempang untuk memprotes penggusuran 6 desa di Rempang untuk kepentingan investor.

Publik menanyakan apa respon para bakal calon presiden tentang hal ini.

Penggusuran

Pulau Rempang adalah pulau kecil yang terletak di sebelah utara Pulau Batam. Pulau ini memiliki luas sekitar 2.600 hektar. dan dihuni oleh sekitar 7.500 jiwa. Mayoritas penduduk Pulau Rempang adalah orang Melayu.

Konflik tanah di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, berkaitan dengan rencana penggusuran 16 desa setempat yang notabene telah dilengkapi dengan semua fasilitas umum seperti puskesmas, masijid, jalan raya, pelabuhan, angkutan umum, lapangan sepakbola, voli, basket, jaringan listrik dan telpon, termasuk 10 unit SD, 3 unit SMP dan 1 unit SMA.

Warga desa-desa tersebut akan dipindahkan ke tempat baru yang terletak di Pulau Galang, sekitar 10 kilometer dari Pulau Rempang. Tempat tinggal baru tersebut akan dibangun oleh pemerintah Indonesia. Di tempat tinggal baru tersebut, warga akan memiliki lahan untuk bertani dan mencari ikan. Namun, luas lahan tersebut diperkirakan lebih kecil dari lahan yang mereka miliki di Pulau Rempang.

Selain itu, warga juga akan kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan baru mereka di Pulau Galang. Pulau Galang adalah pulau kecil yang belum memiliki infrastruktur yang memadai.

Mata pencaharian utama warga desa-desa tersebut adalah pertanian, perkebunan, dan perikanan. Sebagian warga juga bekerja sebagai pedagang dan buruh bangunan. Konflik tanah di Pulau Rempang telah menimbulkan berbagai dampak negatif bagi warga setempat. Warga kehilangan mata pencaharian, identitas, dan budaya mereka.

Atas semua kesulitan yang bakal dihadapi penduduk Rempang Pemerintah Indonesia berkewjiban mencari solusi yang adil dan komprehensif. Solusi tersebut harus dapat memenuhi kebutuhan warga Rempang dan memastikan bahwa mereka dapat hidup layak dan mampu mempertahankan identitas budaya mereka..

Klaim yang Bertabrakan

Penggusuran itu dilakukan demi pembangunan kawasan investasi terpadu Rempang Eco City. Rencana tersebut diprakarsai oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam).

Warga Pulau Rempang menolak rencana penggusuran tersebut karena mereka merasa bahwa tanah mereka adalah milik mereka secara turun-temurun dan mereka memiliki hak untuk tinggal di tanah tersebut. Mereka juga khawatir bahwa penggusuran tersebut akan membuat mereka kehilangan mata pencaharian dan tempat tinggal. Untuk diketahui Pulau Rempang mulai dihuni jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, yaitu pada sekitar abd ke-16. Ketika itu Rempang masih manjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Johor.

BP Batam mengklaim bahwa tanah di Pulau Rempang adalah milik negara dan bahwa mereka memiliki hak untuk menggunakannya untuk kepentingan pembangunan. BP Batam juga menawarkan ganti rugi kepada warga yang terkena penggusuran, tetapi warga menolaknya karena mereka menilai ganti rugi tersebut tidak adil.

Konflik tanah di Pulau Rempang semakin meruncing pada bulan Agustus 2023, ketika warga memblokade jembatan yang menghubungkan Pulau Rempang dengan Pulau Batam. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk protes terhadap rencana penggusuran.

Rempang Eco City

Usaha yang akan dibangun di Pulau Rempang adalah kawasan investasi terpadu Rempang Eco City. Kawasan ini akan dibangun oleh PT Rempang Eco City, sebuah perusahaan yang dimiliki oleh PT. Makmur Elok Graha, saah satu perusahaan di grup usaha Artha Graha yang dimiliki oleh Tommy Winata. Nilai investasi yang dijanjikan adalah Rp381 triliun. Izin investasi diberikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada tahun 2022.

Luas lahan yang diklaim oleh PT Rempang Eco City adalah sekitar 1.990 hektar, atau sekitar 76% dari luas Pulau Rempang. Luas ini meliputi lahan pemukiman penduduk, lahan pertanian, dan lahan hutan.

Di lahan seluas itu Rempang Eco City akan membangun kawasan industri, perdagangan, wisata dan pembangkit energi terbarukan. Kawasan industri akan menjadi fokus utama dari pengembangan Rempang Eco City. Kawasan ini akan menjadi tempat berdirinya berbagai pabrik dan industri, termasuk industri manufaktur, industri pengolahan, dan industri jasa.

Kawasan perdagangan akan menjadi tempat berdirinya berbagai pusat perbelanjaan, perkantoran, dan hotel. Adapun kawasan wisata akan menjadi tempat berdirinya berbagai objek wisata, termasuk pantai, hutan, dan taman. Sedangkan kawasan energi terbarukan akan menjadi tempat berdirinya berbagai pembangkit listrik tenaga surya, angin, dan air.

Pengembangan Rempang Eco City diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Batam dan Kepulauan Riau. Kawasan ini juga diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Ganti Rugi atau Ganti Untung?

BP Batam telah menawarkan ganti rugi kepada warga Rempang yang terkena penggusuran. Ganti rugi tersebut berupa uang tunai, rumah, dan lahan. Untuk rumah, warga akan diberikan rumah tipe 45 dengan luas tanah 500 meter persegi. Nilai rumah tersebut diperkirakan sekitar Rp120 juta. Untuk lahan, warga akan diberikan lahan seluas 500 meter persegi. Nilai lahan tersebut diperkirakan sekitar Rp50 juta. Selain itu warga juga diberi uang tunai, sebesar Rp50 juta/keluarga. Bila ditotal setiap keluarga diperkirakan akan menerima Rp.220 juta/keluarga. Untuk sekitar 2000 keluarga, biaya ganti rugi PT Rempang Eco City adalah sekitar Rp.440 milyar.

Namun, warga Rempang menolak ganti rugi tersebut karena mereka menilainya tidak adil. Mereka meminta ganti rugi yang lebih tinggi, yaitu rumah tipe 70 dengan luas tanah 1.000 meter persegi, serta uang tunai sebesar Rp200 juta. Jika permintaan warga Rempang dikabulkan, maka nilai keseluruhan dari ganti rugi tersebut akan menjadi sekitar Rp520 juta per keluarga. Dengan perhitungan itu pihak PT Rempang Eco City mengeluarkan setidaknya Rp.1,04 trilyun.

Dengan melihat gambaran di atas, terus terang saya terkejut, betapa kecilnya kompensasi yang diberikan kepada ribuan orang terdampak. *Apa arti Rp.1 trilyun untuk investasi yang bernilai Rp.381 trilyun.* Betapa murahnya nilai manusia bagi investor dan pejabat pemerintah yang digaji rakyat itu?

Dalam hemat saya, tuntutan rakyat Rempang sudah sangat adil. Bahkan mereka harus juga dibantu agar dapat mengatasi proses transformasi ekonomi dan budaya menyusul penggusuran mereka dari pemukiman asli mereka.

Transformasi Ekonomi dan Budaya

Perselisihan ganti rugi di atas belum lagi mencakup resiko ancaman kehilangan mata pencaharian. Di lokasi baru, Pulau Galang, belum tentu tanahnya cocok untuk bercocok-tanam. Petani Rempang harus beradaptasi, namun apakah dengan tanah hanya 1000 m2 mereka bisa mempertahankan hidup secara berkelanjutan? Demikian juga dengan nelayan Rempang, apakah pelabuhan yang tersedia di Galang sudah setara dengan fasilitas yang tersedia di Pulau Rempang? Bagaimana dengan pasar, pedagang, cooler dan transportasi untuk ikan-ikan mereka.

Proses transformasi terkait mata pencaharian dan seluruh kebiasaan yang ratusan tahun melekat di dalamnya, jelas sangat beresiko. Perlu ratusan ribu jam kerja profesional untuk menata-ulang, kerja keras dan juga biaya dari pihak penduduk. Perlu juga dipikirkan resiko kegagalan dalam proses transformasi itu, apa jaring pengamannya?

Selain resiko-resiko terkait proses transformasi ekonomi terdapat resiko berkenaan dengan transformasi kultural. Bila Rempang Eco City berkembang sesuai harapan ratusan ribu imigran akan mengalir masuk ke Rempang. Setiap imigran akan membawa budaya mereka sendiri, dan tidak heran bila budaya Melayu akan menjadi minoritas. Dalam keadaan seperti itu budaya Melayu akan tenggelam dan, mungkin saja, terlupakan.

Dalam hemat saya, pemerintah cenderung meremehkan resiko-resiko di atas. Padahal bagi masyarakat yang terdampak langsung, resiko-resiko itu nyata dan mereka harus mengantisipasinya.—