ORDE PERUBAHAN, MENYAMBUT INDONESIA BERKAH (6)
Oleh: Abdullah Hehamahua
Presiden 2024 harus memfungsikan seoptimal mungkin lembaga pengawasan, baik yang ada di instansi pemerintah maupun dari masyarakat. Sebab, Allah SWT, selain sebagai Perencana, Pencipta, Pemilik, Penguasa, dan Pentadbir, Dia juga Pengawas alam semesta. Sejarah mencatat, “Founding Fathers” kita, faham dan hayati otoritas Allah SWT tersebut. Olehnya, mereka menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila.
Presiden 2024 jangan meniru penguasa sekarang yang mengubah Pancasila menjadi trisila, kemudian ekasila. Olehnya, salah satu program 100 hari pertama Presiden 2024, selamatkan Pancasila. Aplikasinya, Presiden langsung menerbitkan Perppu yang mencabut Undang-undang dengan institusinya yang menyelewengkan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Presiden sebagai Pengawas Negara
Presiden 2024, berdasarkan sila pertama Pancasila dan pasal 29 UUD45, harus serius melaksanakan fungsi pengawasannya. Hal tersebut dimulai dengan pengawasan terhadap diri sendiri dan keluarga. Jangan meniru presiden sekarang yang memaksakan anak-anak dan mantunya menjadi pejabat publik.
Presiden 2024 dapat meningkat-fungsikan Inspektorat Jenderal, baik di tingkat pusat maupun daerah. Presiden juga harus melipat-gandakan fungsi Kompolnas dan Komisi Kejaksaan dalam mengawasi perilaku polisi dan jaksa. Presiden bahkan bisa meninjau kembali eksistensi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Jika institusi ini tidak bisa menghentikan Kementerian/Lembaga Negara (K/L), dan Pemda melakukan korupsi, sebaiknya dibubarkan.
Presiden 2024 jangan meniru Jokowi yang membiarkan Lembaga-lembaga pengawas, impoten. Sebab, empat menterinya ditangkap karena korupsi. Jumlah tersebut menjadikan total 13 menteri yang ditangkap KPK. Apalagi ada 304 pejabat eselon I-IV ditangkap KPK. Maknanya, Irjen di kementerian terkait tidak berfungsi. Bahkan, ada 23 gubernur serta 163 bupati dan walikota, ditangkap KPK. Hal ini membuktikan, Inspektorat Daerah tidak berfungsi samasekali.
Presiden 2024 juga jangan meniru Penguasa hari ini yang menjadikan Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK sebagai alat kekuasaan dalam memenjarakan lawan-lawan politiknya. Sebab, polisi pernah membunuh lima pengawal HRS, sembilan pengunjuk-rasa di Bawaslu, dan aktivis di luar Jakarta. Mereka tidak dijatuhi hukuman apa pun.
Faktanya, polisi menahan HRS, Habib Bahar, Gus Nur, Edy Mulyadi, dan tiga aktivis KAMI hanya karena berbeda pendapat. Bahkan, Kejaksaan Agung langsung menahan Menteri Menkominfo, Johnny G. Plate hanya karena dia tidak berada di kubu istana. Tragisnya, KPK langsung memeriksa Muhaimin Iskandar, begitu diumumkan sebagai cawapres ARB, tapi dibiarkan ketika beliau bersama koalisi istana. Padahal, Harun Masiku dibiarkan bebas karena berasal dari partai istana. Bahkan, KPK tidak pernah memeriksa anak Jokowi yang dilaporkan terlibat korupsi.
Presiden 2024 juga jangan meniru Jokowi yang menelantarkan Kompolnas dan Komisi Kejaksaan yang abai melaksanakan tupoksinya secara profesional. Sebab, kasus jenderal Sambo dan Teddy Minahasa menunjukkan impotensi Kompolnas. Belum lagi, empat anggota polisi yang ditangkap KPK karena terlibat kasus korupsi. Komisi Kejaksaan juga abai terhadap tupoksinya sehingga ada 11 jaksa yang ditangkap KPK.
Penyebab utama terjadinya musibah di atas karena Inspektorat dan Lembaga Pengawas tidak melibatkan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pelaksanaan tupoksinya. Sebab, sebelum mengawasi orang lain, Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Irjen, dan BPKP harus berintegritas dan profesional. Hal tersebut bisa terjadi jika mereka yakin, dirinya diawasi Allah SWT, sila pertama Pancasila.
Penyebab kedua, rekrutmen dan seleksi anggota polisi, jaksa, dan PNS, masih sarat KKN. Penyebab ketiga, Lembaga-lembaga Pengawas tersebut tidak mengoptimalkan fungsi IT, baik dalam pelaksanaan tugas rutin, maupun proses pengawasan itu sendiri.
Irjen dan Ketuhanan Yang Maha Esa
Presiden 2024 harus memastikan, seluruh Irjen dan Lembaga Pengawasan menjalankan tugasnya secara profesional. Olehnya, salah satu program dalam 100 hari pertama Presiden, anggota Kompolnas, Komisi Kejaksaan, dan Irjen, diganti.
Presiden 2024 perlu mengkaji, apakah BPKP masih diperlukan atau tidak. Sebab, tugas BPKP, sejatinya sama dengan BPK, sama-sama melakukan post audit. Padahal, BPKP sepatutnya melakukan kegiatan pre audit. Olehnya, BPKP sebaiknya dilebur ke dalam BPK.
Masalah ini serius. Sebab, ada 304 pejabat eselon I – IV, diproses KPK. Maknanya, Irjen tidak berfungsi. Ada 23 gubernur serta 163 bupati dan walikota yang diproses KPK. Berarti, Inspektorat Daerah tidak berfungsi. Ada 35 Kepala Lembaga dan Kementerian ditangkap KPK. Maknanya, BPKP tidak diperlukan lagi.
Data-data di atas menunjukkan, Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Irjen, dan BPKP tidak menghayati hakikat sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebab, mereka anggap, pembiaran yang terjadi, tidak diketahui Allah SWT. Padahal, jika mereka belajar dari CCTV yang ada di kantor, pasti dipahami, Allah SWT, bukan saja perbuatan manusia diketahui, tapi gerak hati dan pola pikir pun, dicatat Allah SWT.
Olehnya, Presiden 2024, harus menjadikan masalah pengawasan ini sebagai salah satu program pada 100 hari pertama. Sebab, krisis yang paling gawat di Indonesia sekarang ini adalah korupsi. Instrumen strategis dalam pemberantasan korupsi adalah setiap orang mengawasi diri sendiri. itulah kejujuran. Instrumen operasionalnya, setiap K/L dan Pemda, memasang CCTV di seluruh kantor. Dengan demikian, setiap gerak gerik pejabat dan karyawan, termonitor.
Presiden 2024 dan Time Sheet
“Time sheet” adalah laporan karyawan atas apa yang dikerjakan selama 8 jam setiap hari. Setiap ASN, pada hari Jum’at petang, mengirimkan laporan kegiatannya selama sepekan ke atasan langsung. Laporan dikirim secara online.
“Time sheet” yang diisi, berdasarkan “Key Performance Indicator” (KPI) setiap unit dan atau individu. KPI disusun pada akhir tahun. Ia dimulai di K/L, berdasarkan visi – misi Presiden. Ia kemudian diturunkan ke KPI Dirjen, lalu direktorat/biro, bahagian, unit, sampai ke setiap ASN.
Pencapaian KPI merupakan tolok ukur kinerja ASN. Ia bahkan menentukan tunjangan kinerjanya. Jika KPI-nya mencapai 100%, maka tunjangan kinerjanya, A. Dampaknya, tunjangan kinerja untuk bulan itu, 10% dari gaji pokok. Jika KPI-nya B, tunjangan kinerjanya, 7%. Begitu pula, kalau KPI-nya C, tunjangan kinerjanya, 5%. Namun, jika KPI-nya D, tunjangan kinerjanya, 0%.
Metode ini sangat pancasilais. Sebab, ia sesuai dengan sila pertama Pancasila dan pasal 29 UUD 45. Ini karena, seseorang mendapatkan ganjaran sesuai dengan usahanya. Semoga !!!
(Depok, 10 September 2023).