ULAMA dan UMMAT, BERSATULAH!
Oleh: K.H. Athian Ali M.Da’i, Lc.,M.A.*
Kendati ummat Islam konon mayoritas di negeri ini, namun selama ini terkesan seakan-akan minoritas.
Selama 78 tahun merdeka, ummat Islam lewat para tokohnya, sangat minim mengukir sejarah. Lebih sering menjadi ” maf ‘ul ” ( objek ) ketimbang ” fa’il ” ( subjek ) yang menciptakan sejarah.
Dalam memilih sosok pemimpin yang akan menentukan warna kehidupan bermasyarakat dan bernegara, mestinya suara ummat Islam itu satu, karena untuk menilai kriteria pemimpin yang harus dan atau haram dipilih, yang wajib dan yang atau haram dita’ati, dasar acuannya sama yaitu Al Qur’an dan As Sunnah ( Q.S. An-Nisaa 59 ).
Kenyataannya?
Dari sekian banyak faktor yang menjadi penyebab, yang paling utama adalah belum terciptanya persatuan dan kesatuan, akibat dari dua asas yang ditetapkan Alloh SWT untuk terwujudnya persatuan, yakni kesamaan tujuan hidup semata-mata menggapai ridho Alloh, dan kesamaan derap langkah, nada dan irama perjuangan dalam mencapai tujuan (Q.S. Ali Imraan 103) belum berhasil diwujudkan.
Akibatnya, keberadaan ummat kini mendekati kondisi yang pernah disinyalir Rasululloh SAW, tak ubahnya hidangan makanan siap saji, yang diperebutkan oleh mereka yang sangat lapar dan rakus akan kekuasaan dan semua yang berbau duniawi.
Ummat menjadi kehilangan arah, terombang-ambing, bak buih di lautan, terhempas ke berbagai arah, tergantung angin atau ombak yang menghempaskannya.
Tergantung pula kepada kepiawian mereka yang berkepribadian dan berwajah ganda dalam mendesain kebohongan dan tipu daya lewat bujukan, rayuan dan banyaknya janji-janji menggiurkan yang dimuntahkan. Atau dalam bentuk ruswah dengan berseliwernya amplop yang hanya akan mengundang laknat Alloh SWT baik bagi yang memberi maupun yang menerima.
Menghadapi situasi yang sangat tidak sehat ini, seharusnya Ulama dan Ummat segera bersatu.
Namun ironisnya, upaya kearah persatuan terasa semakin jauh dari kenyataan. Yang ada dan acapkali dipertontonkan selama ini, justeru upaya mempertajam perbedaan yang bukan prinsip untuk semakin menjauhkan persatuan dari harapan.
Sudah sejak lama Ulama dan ummat dibagi-bagi ke dalam berbagai “firqah” – golongan -, di mana satu sama lain disibukkan hanya untuk saling mengecam dan menjatuhkan. Sehingga setelah masing-masing babak-belur, maka hilanglah kekuatan dan wibawa di hadapan lawan yang sesungguhnya (Q.S. Al Anfaal 46).
Persatuan terasa semakin jauh dari harapan, ketika akhir- akhir ini dipertontonkan kepada ummat perdebatan yang emosional terkait nasab Rasululloh SAW. Antara pihak yang ingin diakui sebagai keturunan Nabi dengan pihak yang menentangnya.
Apa urgensinya ini semua bagi ummat?
Lagi pula, bukankan agar terhindar dari “ashobiyah” – fanatisme – Alloh SWT mengingatkan, bahwasanya perbedaan jenis pria dan wanita, bangsa, golongan (termasuk warna kulit dan status sosial) dimaksudkan Alloh SWT hanya sekedar “lita’aarafu” – untuk memudahkan satu dengan yang lain saling mengenal – bukan untuk dibangga-banggakan.
Yang paling mulia di sisi Alloh SWT sama sekali tidak dilihat dari atribut-atribut duniawi seperti itu, tapi oleh siapa yang paling bertakwa (Q.S. Al Hujuraat 13).
Agar ummat tidak semakin tenggelam dalam jurang ‘ashobiyah, Rasululloh SAW secara eksplisit mengingatkan, jika semua manusia berasal dari nenek moyang yang sama yaitu Adam, dan Adam diciptakan dari tanah. Tidak ada kemuliaan bagi orang Arab terhadap non Arab dan atau sebaliknya. Orang kulit putih terhadap orang kulit hitam dan atau sebaliknya, kecuali karena ketakwaannya kepada Alloh SWT.
Sebelum segala sesuatunya terlambat dan kita kemudian hanya meratapi nasib dalam penyesalan, mari kita singkirkan selimut ‘ashobiyah yang selama ini menyelimuti perasaan dan pemikiran kita. Satukanlah ummat, di antaranya dalam menentukan dan memperjuangkan siapa yang lebih berhak dan lebih maslahat bagi ummat dan bangsa ini untuk memimpin NKRI di tahun mendatang.
Baarokalloh fiikum jamii’an.
*) Ketum FUUI / Ketum ANNAS