SIKAP POLITIK DILEMATIS HAMBAT POSISI TAWAR DEMOKRAT
(Meradang, Hengkang, Belum Tentu Senang)

Oleh : Ari Saptono (Pemerhati Sosial-Politik)

Bisa dibilang syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, adalah jalan rumit yang harus dilalui bagi Demokrat dan partai-partai yang jumlah kursi di DPR RI kurang dari 20 persen. Bisa dibilang keputusan hengkang dari koalisi Anies, adalah jalan rumit yang harus diambil Demokrat. Manuver politik terkait Pilpres 2024 yang dilakukan Demokrat paska pergi dari koalisi Anies, juga rumit. Biang kerumitan adalah syarat ambang batas 20 persen.

Andaikan syarat ambang batas itu tidak ada, Demokrat bisa langsung mendeklarasikan AHY sebagai capres. Demokrat tidak perlu repot berkoalisi demi ikut serta Pilpres 2024. Apalagi hanya sekedar ingin posisi cawapres. Faktanya, suka tidak suka jalan rumit itulah yang harus dilalui Demokrat. Sepakat tidak sepakat, publik melihat situasi Demokrat saat ini berada dalam kondisi dilematis.

Dilematis ? Begitulah yang ada dibenak publik. Sebab untuk memenuhi hasrat posisi cawapres selepas hengkang dari koalisi Anies, hanya dua manuver yang dapat dilakukan oleh Demokrat. Manuver ke koalisi Ganjar atau koalisi Prabowo. Akan tetapi koalisi Ganjar atau Prabowo belum tentu bersedia apabila Demokrat memaksakan koalisi bersyarat, yakni; AHY sebagai cawapres. Dilematis ? Pastilah. Resign dari koalisi Anies itu gara-gara bukan AHY cawapresnya. Ternyata gabung ke koalisi baru, belum tentu juga AHY diterima menjadi cawapres. Dilematis kan ?

Santer beredar kabar bahwa bakal cawapres Ganjar mengerucut pada 3 nama. Mahfudz MD, Ridwan Kamil, Sandiaga Uno. Nama AHY tidak ada didaftar bakal cawapres Ganjar. Tidak mau ketinggalan, Prabowo juga tengah menggodog kandidat cawapresnya secara maraton. Yaitu; Ridwan Kamil, Erick Tohir, Yeni Wahid, Erlangga Hartato, Gibran. Dan lagi-lagi tidak ada nama AHY didaftar bakal cawapres Prabowo.

Memang keputusan bakal cawapres Ganjar dan Prabowo belum final. Jadi masih ada peluang bagi AHY diposisi cawapres. Namun sangat jelas bahwa AHY tidak ada didaftar cawapres yang sedang digodog. Publik bisa menafsirkan bahwa peluang AHY tipis sebagai cawapres di koalisi Ganjar maupun koalisi Prabowo. Masuk koalisi saja belum, bagaimana bisa AHY masuk list cawapres. Begitu kira-kira kata hati publik.

September yang mestinya ceria, nampaknya tidak demikian bagi Demokrat. “Move on” dari koalisi lama, tetapi belum “move in” ke koalisi baru. Lobi ceria sepanjang hari sebagai ikhtiar bergabung koalisi baru sudah ditempuh. Kendati begitu, belum juga ada titik terang. Lobi ceria, belum menghasilkan keceriaan. Justru semakin meperjelas wajah politik dilematis ala Demokrat. Ibarat kata; Terlanjur meradang, lalu hengkang, belum tentu senang.

Waktu tinggal sebulan lagi menuju Pendaftaran capres-cawapres. Namun tidak ada kepastian dari koalisi Ganjar atau Prabowo apakah AHY akan dipinang sebagai cawapres. Maka saatnya Demokrat “move on” jilid 2. Demokrat haruslah berdamai dengan perasaan, buang sakit hati, lupakan saja koalisi baru yang tidak pasti, rujuk dengan koalisi Anies Baswedan. Tentu saja lebih nyaman bagi Demokrat untuk bicarakan “power sharing” dibanding dengan koalisi baru.

Bukan hanya power sharing, lebih penting dari itu. Mengusung Anies Baswedan, Demokrat bisa menikmati berkah efek “ekor jas”. Dalam psikologi politik, efek ekor jas adalah pengaruh dari figur atau tokoh dalam meningkatkan elektabilitas partai. Bahkan Demokrat paling tinggi dalam memperoleh berkah efek ekor jas daripada PKS dan Nasdem partai pertama pengusung Anies. Laporan berbagai lembaga survey, hasil survei sampai 27 Agustus 2023, elektabilitas Demokrat meningkat tajam melampaui elektabilitas PKS dan Nasdem dibanding sebelum Demokrat mendukung Anies. Efek status sebagai oposisi memang ada juga, tetapi tidak signifikan mendongkrak elektabilitas Demokrat.

Akar rumput Demokrat yang paling merasakan efek tersebut. Sejatinya akar rumputlah ujung tombak elektoral. Menurut mereka, kerja-kerja elektoral menjadi lebih ringan saat partai masih bersama Anies Baswedan. Tak heran tak sedikit kader memutuskan hengkang karena keputusan Demokrat memcabut dukungan kepada Anies.

Sebagai opisisi 10 tahun, tentu posisi Demokrat sangat melekat dihati rakyat sebagai pembawa aspirasi. Plus berkah efek ekor jas karena telah mendukung Anies Baswedan. Maka Sayang bila sikap politik dilematis dibiarkan mencekram hingga menutupi rasionalitas politik. Ujungnya hanya menghambat posisi tawar Demokrat.

Bagaimanapun juga, rakyat sudah terlalu bosan dengan pemerintahan Jokowi. Kini rakyat hanya butuh figur antitesa Jokowi, figur itu hanya ada pada sosok Anies. Rakyat juga ingin perubahan, maka rakyat masih berharap Demokrat kembali akur dan rujuk dengan koalisi Anies. Bersama Anies Baswedan wujudkan komitmen perubahan lebih baik bagi masa depan Indonesia. Mungkin justru di koalisi Anies adalah jalan sukses partai Demokrat di Pemilu 2024. Juga menjadi jalan terang bagi masa depan politik AHY. Waallahu a’laam.

AS – 15/09/23