Bahasa, Investasi dan Penjajahan
Dede RM Aktivis 98
Menetap di Surakarta
Sekitar 25 tahun yang lalu, saya pernah diberi kesempatan bertemu dengan Wiji Tukul, sastrawan legendaris yang menyuarakan aksi perlawanan terhadap penguasa Orba yang lalim. Waktu Wiji tukul dititipkan dikos saya oleh salah seorang kawan lama, saya belum sempat berpikir bahwa beliau adalah “orang besar”. Saya cukup mengiyakan dan mempersilahkan ” kawan baru” saya itu menginap di tempat kos saya yg sempit dan pengap.
Ada perbincangan menarik ketika saya berdiskusi dengan sang maestro puisi tersebut. Awalnya kita berdiskusi tentang kasus perburuhan. Mas Tukul menyampaikan bahwa selama kekuasaan Orde Baru, istilah buruh memang sengaja dihilangkan. karena diksi ini dianggap radikal dan dikaitkan dengan perjuangan kaum buruh yang progresif. Maka istilah buruh pada zaman Orba diganti dengan istilah pekerja, tujuannya untuk merepresi memori kolektif kaum buruh.
Sebagai mahasiswa baru yang awam politik apalagi wacana kiri, saya cukup terkejut dengan _polical lesson_ yang baru saya dapat dari seseorang yang baru saya kenal. Diam-diam saya mencari info siapa orang yang dititipkan ke saya ini. Beberapa hari kemudian saya baru tahu bahwa “orang asing” ini adalah Wiji Tukul.
Hari berikutnya saya mendapatkan kembali __political lesson_ yg kedua, Mas Thukul berkata bahwa bahasa bisa menjadi alat dan instrumen penjajahan. Waktu itu penjelasan ini pasti dianggap sangat Radikal dan membahayakan.
Akhirnya saya jadi mengerti kenapa Tukul dianggap sangat berbahaya bagi kelangsungan penguasa orba saat itu.
Saat ini _public discourse_ kita ramai dengan istilah investasi. Istilah ini dianggap sebagai mantra yang mujarab untuk menyelesaikan problem kemiskinan, penggangguran dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Seperti kata bertuah yg tidak bisa dibantah kesahihannya. Kegiatan investasi harus dijalankan tanpa kompromi walaupun harus mengorbankan kepentingan rakyat dan kedaulatan.
Untuk memuluskan proyek-proyek investasi skala besar maka munculah istilah PSN, Proyek strategis nasional.
Seperti proyek Wadas, proyek Eko Tourism Pulau Komodo, proyek reklamasi Teluk Benoa Bali dan terakhir yg ramai diperbincangkan adalah proyek pulau Rempang Galang di kepulauan Batam.
Rakyat banyak yang bertanya, sebenarnya tujuan investasi itu untuk apa ? dan untuk siapa? karena faktanya selama ini proyek- proyek PSN itu justru banyak menggusur kepentingan rakyat. Menegasikan hak hidup masyarakat lokal dan adat. Karena perencanaan yang terburu-buru dan gegabah beberapa proyek investadi besar justru telah menimbulkan bencana ekologi dan sangat berbahaya bagi keseimbangan ekosistem.
Untuk memuluskan kepentingan investasi ini mulai dari presiden, pejabat tinggi negara, pimpinan TNI POLRI, politisi-politisi rakus, para pengusaha hitam yang dekat kekuasaan, manajer kelas atas mereka rame-rame buat nyanyian bersama, berusaha meyakinkan bahwa proyek-proyek investasi ini baik untuk negri dan rakyat. Sambil penuh kepongahan dan kecongkakan berkata ” Kalau istana ini terbangun maka dalam sekejap mata rakyat akan sejahtera, lapangan pekerjaan akan tersedia dll”
Tapi rakyat tidak bodoh dan mudah untuk “dikacangi”. Sekarang banyak rakyat yang paham bahwa jargon INVESTASI itu hanya bualan para politisi korup dan pengusaha-pengusaha serakah untuk merampok negri dan mempertahankan kekuasaannya. _Literally,_ tidak ada hubungannya dengan kesejahteraan rakyat. Teringat dengan kata-kata almarhum Wiji Thukul bahwa bahasa (baca : istilah investas) bisa menjadi instrumen kekuasaan untuk memanipulasi kesadaran rakyat dan menyembunyikan kejahatan ekonomi rezim yg berkuasa.
Salam juang