Bisa Realisasikan Perubahan serta Persatuan, Kaukus 89-90an Deklarasikan Dukungan ke AMIN
JAKARTASATU.COM- Kaukus 89-90an gelar deklarasi dukung bacapres Anies Baswedan dan bacapres Ketum PKB Muhaimin Iskandar. Kaukus mendeklarasikan dukungan untuk perubahan Indonesia ke depan. Acara diselenggarakqn di Jalan Brawijaya X, Jakarta, Selasa (19/9/2023).
Wawan Leak salah satu perwakilan Kaukus 89 menyatakan bahwa kami bukan relawan tetapi gerilyawan. Kami dari aktivis-aktivis pergerakan akan lakukan pergerakan untuk memenangkan AMIN di Pilpres 2024.
Wawan Leak sebutkan bahwa AMIN dapat realisasikan perubahan serta persatuan
“Kami memahami dan kami meyakini bahwa Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar atau pasangan AMIN ini akan tampil bukan hanya sebagai presiden dan wakil presiden kelak di 2024, kepemimpinan dari pasangan ini dapat mestimulus perubahan dan perbaikan untuk Indonesia ke depan,” tegasnya
Tim 8 AMIN, Sudirman ungkapkan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar lahir dari aktivis pergerakan, jadi kegiatan ini merupakan moment yang penting.
Deklarasi yang dilakukan dari aktivis-aktivis yang memiliki concern terhadap bangsa dan negara. Anies dan Muhaimin yang merupakan dari aktivis pergerakan sebagaimana kawan-kawan yang kumpul di sini memilki keberpihakan terhadap kerakyatan, kebangsaan dan negara
“Saya punya keyakinan bahwa beliau-beliau ini adalah orang-orang yang tidak pernah berhenti berpikir soal negara ini, soal rakyatnya. Sehingga Anies dan Muhaminin seoanjang masih mahasiswa hingga perjalan sekarang punya concern terhadap kerakyatan, kebangsaan dan negara. Saya mensyukuri hal ini,” papar Sudirman Said.
Dalam deklarasi ini, Kaukus 80-90 juga memberikan sebuah dokumen yang merupakan pernyataan sikap dukungan terhadap Anies-Cak Imin. Dokumen ini diserahkan Standardkiaa Latif yang juga merupakan perwalikilan Kaukus dari angkatan 80’an, ia berikan dokumen langsung kepada Sudirman Said selaku juru bicara Anies Baswedan yang turut hadir dalam acara.
Manifesto Kaukus 89
Setelah 78 tahun kemerdekaan dan 25 tahun reformasi, nasib rakyat tidak banyak berubah.
Hari ini kita menyaksikan jeritan rakyat, karena harga beras yang terus merangkak naik. Rakyat kelas bawah sudah kesulitan membeli beras, bahkan untuk beras kualitas yang paling rendah.
Masalah beras dan pangan pada umumnya adalah soal fundamental bagi rakyat, ini soal
hidup mati. Rezim Jokowi sudah berkuasa dua periode, sepuluh tahun, waktu yang seharusnya lebih dari cukup untuk mengangkat kesejahteraan rakyat, namun harapan
itu tidak pernah terwujud.
Untuk menggambarkan kondisi kesejahteraan rakyat hari ini, kita bisa meminjam diksi yang biasa diucapkan Jokowi sendiri, bahwa kondisi sekarang sedang tidak baik-baik saja, artinya secara tidak langsung Jokowi telah mengakui, bahwa rezimnya memang gagal.
Bila kita ingat kembali salah satu frasa terkenal Bung Karno, kemerdekaan adalah jembatan emas menuju kesejahteraan, kegagalan rezim Jokowi semakin tampak, yang membuat kita tak tega untuk membahasnya lebih lanjut.
Hari-hari ini kita juga menyaksikan sendiri bagaimana tindakan aparat dalam kasus Pulau Rempang, saat warga menolak relokasi dengan melakukan aksi perlawanan, kemudian direspons aparat berupa tindakan represif dan penembakan gas air mata.
Tindakan kekerasan yang sama juga dilakukan bagi warga di Pegunungan Kendeng (wilayah Rembang dan Pati) dan Wadas (Purworejo), sekadar menyebut beberapa contoh kasus pelanggaran HAM di era Jokowi.
Kita menyaksikan bersama, tindakan kekerasan negara di era Jokowi semacam duplikasi rezim militeristik Orde Baru.
Bagi generasi baru yang melakukan Aksi Kamisan di depan Istana Negara, bisa melihat
langsung, ketika aksi protes dalam kasus Munir, kasus penculikan aktivis, kasus Kendeng, kasus Wadas, dan seterusnya, tidak ada pejabat berwenang sekadar menghampiri, mobil dinas mereka hanya melintas di depan peserta aksi, dengan sirene strobo tetap berbunyi.
Tindakan pejabat yang terus membunyikan sirene strobo, adalah gambaran paling riil dari rezim Jokowi terkait kasus HAM: dingin dan cenderung angkuh.
Bagaimana rezim Jokowi bisa dipercaya dalam penuntasan pelanggaran HAM di masa lalu, seperti kasus Munir dan Wiji Thukul, bila pelanggaran HAM baru tetap saja berlangsung.
Kita tidak bisa berharap lagi pada rezim ini atas penuntasan pelanggaran HAM, ketika otak di balik penculikan Wiji Thukul dan kawan-kawan, justru masuk dalam elite lingkaran kekuasaan.
Belum lagi soal korupsi. Kata-kata yang paling keras sekalipun, rasanya tidak cukup untuk menggambarkannya, oleh karenanya kami lebih memilih tidak menggunakan kata umpatan, toh rakyat sudah bisa melihat sendiri. Kasus terbaru adalah korupsi jalan tol MBZ, dengan angka sangat fantastis, yakni 1,5 triliun. Selain nominalnya yang jumbo, kasus korupsi jalan tol MBZ juga menjadikan kita malu sebagai bangsa, karena dana yang dikorupsi adalah hibah dari negara sahabat, bukan bersumber dari APBN atau investasi swasta.
Ratusan halaman tidak akan cukup untuk menjelaskan lobang besar dan warisan buruk rezim Jokowi, untuk itu kita sudahi saja membahas soal itu. Tutup buku sudah soal rezim Jokowi. Kini telah terbit fajar harapan baru, yaitu pasangan capres-cawapres Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, yang kini dikenal dengan tagline AMIN.
AMIN adalah optimisme baru. Dalam pandangan Kaukus 89, AMIN adalah yang paling bawah pantas memimpin negeri ini, sejak tahun 2024. Bagi Kaukus 89, AMIN bukan lagi capres dan cawapres, mereka berdua sejatinya sudah Presiden dan Wakil Presiden, yang tinggal menunggu hari pelantikannya saja. AMIN adalah perwujudan mimpi-mimpi aktivis generasi 80-an dan 90-an, tentang masa depan Indonesia yang lebih demokratis, berkeadilan, dan sejahtera, sesuai dengan visi pasangan Anies dan Cak Imin.
Dikarenakan faktor alamiah, mungkin waktu kami tidak panjang lagi, usia manusia terbatas, bahkan sebagian sahabat-sahabat kami sudah pergi untuk selamanya, antara lain Bambang Harri (Bandung), Amir Husin Daulay (Jakarta), Agus Lenon (Jogja). Kacik (Surabaya), Didit (Malang), dan seterusnya. Dan kita masih dalam suasana berduka atas kepergian Mas Raharjo Waluyo Jati, yang baru berpulang belum lama ini.
Apa yang kami lakukan hari ini, sekadar meneruskan cita-cita mereka dahulu, saat masih bersama-sama dalam pergerakan melawan rezim otoriter Orde Baru. Bila kami sekarang “turun gunung” itu juga berdasarkan panggilan nurani, seperti perjuangan kami di masa lalu. Jangan pernah sekalipun membayangkan, munculnya gerakan Kaukus 89 berdasar pamrih pribadi segenap eksponennya, semisal untuk mencari jabatan. Sama sekali tidak.
Bagi kami sudahlah cukup, bila kami masih diberi kesempatan menyaksikan anak cucu kami, generasi baru Indonesia yang sehat, cukup pangan dan nutrisi, pendidikan gratis sampai jenjang S-1, serta hidup di lingkungan yang hijau. (Yoss)