Adhie Massardi: Usulan Percepatan Pilkada Serentak Sebarkan Aroma Siasat Politik Busuk Penguasa
JAKARTASATU– Mendagri Tito Karnavian menjelaskan alternatif Pilkada 2024 serentak adalah untuk mengantisipasi irisan tahapan krusial antara Pemilu dan Pilkada, termasuk potensi apabila terjadi Pilpres dua putaran pada Juni 2024.
Mendagri juga mengatakan agar pelaksanaan kampanye dipersingkat menjadi 30 hari. Dengan singkatnya masa kampanye maka menurutnya dapat mengurangi durasi lamanya potensi keterbelahan atau polarisasi masyarakat dan tensi politik yang dapat mengganggu stabilitas pemerintahan, politik, dan keamanan.
Wacana Pilkada dipercepat sebelumnya diungkapkan oleh sejumlah anggota Komisi II DPR. Perubahan jadwal itu rencananya akan diatur lewat peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perppu.
Dengan Perppu tersebut, jadwal pilkada yang telah disepakati pada 27 November 2024 akan dimajukan dan dilakukan dua tahap, yakni pada 7 dan 24 September 2024.
Terkait dipercepat pelaksanaan pilkada serentak yang dimajukan jadwalnya, mantan Jubir Presiden Abdurrahman Wahid, Adhie Massardi diwawancarai jurnalis Jakartasatu.com , Kamis 21/9/2023.
Bagaimana pandangan Anda terhadap percepatan pilkada?. Apakah karena Presiden Joko Widodo masih punya kuasa untuk melihat anaknya menjadi Wali Kota Depok?
Adhie Massardi menyatakan bahwa Pemilu (pilkada, pileg, pilpres) adalah mekanisme kontrak politik dalam mazab (sistem) demokrasi. Kontrak politik antara rakyat dengan wakilnya di parlemen/legislatif (DPRD Tk II, Tk I dan DPR – RI), serta pimpinan pemerintahan di lembaga eksekutif (Bupati, Walikota, Gubernur dan Presiden).
Mengingat “kesucian” kontrak politik tersebut kata Adhie, maka pemilu harus diselenggarakan secara seksama, profesional, jujur dan adil, serta jadwalnya dan periodisasinya harus diperhitungkan dengan sungguh-sungguh.
Adhie tegaskan bahw dalam konteks jadwal penyelenggaraan, pemerintah (dan DPR) tampak semberono, tidak menghormati “kesucian” pemilu sebagai kontrak politik rakyat.
Lanjutnya, ketika melakukan moratorium pilkada pada 2022 dan mengganti seluruh kepala daerah yang habis periodenya oleh pejabat yang ditunjuk pemerintah, banyak hal tidak diperhitungkan. (Saya curiga di balik semua ini ada egnda politik busuk dalam permainan kekuasaan!)
Adhie menilai rencana memajukan pilkada seperti yang digagas pemerintah dan DPR memang memunculkan aroma/nuansa permainan (agenda) politik busuk. Dugaan ini menjadi sangat beralasan mengingat alasan adanya kekosongan kepala daerah sejak 1 Januari 2025 tentu (seharusnya) sudah bisa dideteksi saat melakukan moratorium (penghentian) pilkada sejak 2022 itu.
“Maka dengan demikian kecurigaan masyarakat bahwa pemajuan pilkada ini merupakan siasat Presiden Joko Widodo untuk menjadikan anaknya sebagai walikota di Tangerang menjadi masuk akal. Dan ini bisa disebut siasat politik busuk,” pungkas Adhie. (Yoss)