Aksi Bela Rempang dari berbagai kalangan masyarakat | twitter@MariaAlcaff
Aksi Bela Rempang dari berbagai kalangan masyarakat | twitter@MariaAlcaff

JAKARTASATU.COM- Kasus Rempang masih terus memanas. Pemerintah makin ngotot bahkan telah menetapkan tenggat waktu agar masyarakat segera angkat kaki dari huniannya di pulang Rempang. Wawancara Reporter senior JAKARTASATU, bersama Faizal Assegaf, mantan aktivis 98 yang selalu kritis hingga sekarang, mengingatkan kita agar melihat kasus ini secara mendalam.

Negara dengan mukadimah kemerdekaan atas berkat Rahmat Allah mengantarkan bangsa Indonesia menuju gerbang kemerdekaan. Namun kini berubah anatomi negara menjadi rangkaian kejahatan. Dalam konteks Rempang menurut Faizal Assegaf tidak bisa dilihat dalam perbincangan umum. Harus masuk ke dalam, kajian yang dalam lebih sungguh-sungguh. Bahkan bedah filsafatnya, bedah investigasinya ekstra hati-hati apa yang sebenarnya dibalik peristiwa ini.

“Terkait Rempang, kekerasan verbal yang diucapkan pejabat masuk fase dimana kualitas kejahatan kata-kata itu kalau dikonfirmasi dengan kesadaran orang-orang beriman, dalam al qur’an artinya praktek yang harus dicontohkan Sebagaimana terjadi oleh Raja Namrud, Fir’aun,” ujar Faizal.

“Ini rantai-rantai yang terhubung di masa kini menghadirkan panggung pertunjukkan orang-orang jahat dalam tata kelola negara yang tidak berhidmat kepada kemanusiaan,” tambahnya.

Menurut Faizal, Rempang ini motifnya salah, pelanggaran konstitusi, kriminalisasi. Kekerasan verbal, non verbal muncul dengan berbagai pertunjukkan yang merobek, rintihan, airmata, merobek dada seluruh rakyat Indonesia.

Kejadian tersebut mempertegas pola relasi masyarakat Melayu yang mempersembahkan dimana pengorbanan, cita-cita pembentukan negara lalu dibalas dengan perilaku kekuasaan sentralistik kekuasaan politik yang semena-mena. Reaksi para ulama, mereka harus jihad untuk Rempang. Begitu juga kalangan akademisi dari berbagai penjuru daerah memperlihatkan keprihatinan.

“Saya yakin dibalik markas-markas militer, kepolisian masih ada yang punya nurani. Hatinya tidak rela, tersobek-sobek dengan kejadian Rempang atas nama investasi. Penghinaan dengan pengusuran, pengusiran yang esensinya adalah menghina Tuhan. Bagaimana Allah memuliakan manusia, menciptakan manusia yang begitu sempurna,” tegas Faizal.

Faizal mengingatkan, sebuah praktek konsesus negara yang dibangun seharusnya untuk melindungi warganya, hari ini di era Jokowi mencapai puncak aneka pertunjukkan kekerasan, kejahatan yang semakin menjadi-jadi.

“Ini harus dihentikan,” tegasnya.

Faizal mengajak agar kasus Rempang ini tidak hanya dilihat dari soal kejadian Rempang belaka. Menurutnya, ini merupakan hasil dari kebijakan PSN. Dimana konsorsium agraria dari 33 konflik agraria, 11-nya berkaitan dengan PSN.

“Kenapa saya katakan penguasaan Rempang ini harus didalami bagian dalamnya atau secara mendalam karena pertama dalam aspek sentuhan geopolitik , dimana Rempang ini berhadapan dengan Singapura yang memiliki problem untuk memperluas wilayah daratannya,” paparnya. “Yang kedua ini jelang pemilu dimana realisasi penguasaan Rempang ini menguji masih kah bangsa ini memiliki prinsip-prinsip kedaulatan. Ketika kasus penguasaan Rempang ini rakyatnya diam berarti maka ekspansi penguasaan wilayah lainnya terbuka lebar dengan melanjutkan boneka baru.”

Kasus-kasus agraria di rezim Jokowi menurut Faizal sangat banyak dengan ciri khas investasi dimana kepemimpinan nasional bergantung kepada asing selama 10 tahun kepemimpinan Jokowi. Kalau dilanjutkan ke pemimpinan berikutnya maka Rempang ini secara politik pemantik untuk pengujian kekuatan kesadaran rakyat dan kekuatan oligarki yang ingin menghadirkan proses penciptaan boneka baru melalui legitimasi pemilu 2024 ini.

Pada akhir geopolitik dimana satu negara kecil bertetangga dengan negara besar sudah otomatis negara kecil berambisi akan memperluas wilayahnya. Yang artinya ketika ada kekuatan yang akan mengambil pulau Rempang ini dengan konsesinya 180 tahun, bararti sebenarnya secara tidak langsung muncul di geopolitik seolah-olah Singapura dan Laut China Selatan mengumumkan bahwa Batam dan Natuna sudah masuk wilayah mereka. Itulah next new colonialism tanpa harus merebut malah pemerintah pempersembahkan kepada news colonialism.

“Keramaian perbincangan kasus-kasus agraria Rembang dan yang lainnya yang saya amati dari sisi konstruksi komunikasi publik, kecenderungan kaum intelektual hanya masuk ke persoalan kasuistik. Kasus per kasus. Tidak melacakan ke kedalaman kemudian mengabstraksi,” beber Faizal. “Rempang ini kan ancaman kedaulatan negara,” tegasnya.

Faizal menyarankan, “Mestinya kasus ini ketika data-data yang tersedia, secara manajemennya tidak siap, dadakan dibuat, bahasa kekerasan yang terlalu menonjol ditampilkan oleh para penyelenggara negara maka Lemhanas, BIN, Mabes Polri, Mabes TNI mestinya merapatkan barisan kalau mereka mencintai Indonesia.”

“Ini kan sudah masuk fase ancaman kedaulatan negara Indonesia,” pungkas Faizal sekali lagi menegaskan. |Yoss-Jaksat