Aendra MEDITA/ist
Adalah Masaaki Okamoto seorang yang kini sudah menjadi professor penting di Kyoto University. Cukup lama saya kenal dia yaitu sejak 1996-1997, saat itu dia masih kandidat doktor, usianya saat ini masih belum genap 26 tahunan.
Okamoto san, biasa saya menyapa, namun semalam saya ganti menyebut dia dengan panggilan Prof. Okamoto. Malam 2 April 2019, saya diundang makan malam di Okuzono Restoran tepatnya di pojokan Senopati arah Kertanegara dan Arah Wolter Monggonsidi Kebayoran Jakarta Selatan. Okuzono restoran baru, bagus dan nyaman tempatnya.
Prof. Okamoto adalah ahli dalam ekonomi politik di Center for Southeast Asian Studies (CSEAS) Kyoto University Jepang. Saya sebagai jurnalis muda saat itu senang bisa kenal dia, nambah ilmu lain dan wawasan baru dan luas.
Sejak kenal juga saya sedikit, –sekali lagi saya katakan sedikit– membantunya dalam soal penelitian yang mana di bertemu dengan sejumlah tokoh-tokoh, mulai dari LSM, ormas yang ada di Jawa Barat maupun di tanah air, termasuk saya mengenalkan penyair Banten Toto ST Radik yang akhirnya bisa membawa Okamoto bertemu dengan Sang jawara Banten yaitu ayah dari Atut yang mantan Gubernur Banten Abah Chasan.
“Sempat berjumpa sekali sama Abah Chasan, waktu meneliti soal Banten,” ujar Okamoto yang lama meneliti terhadap pisahnya Banten dari Jawa Barat. Dia paham kisahnya dalam tatanan kajian Banten menjadi provinsi baru. Termasuk saat  Banten Gempa juga ia menyumbang dari lembaganya di Jepang bagi korban Tsunami Banten.
Kembali ke Toto yang penyair itu, jaringan Banten yang waktu itu masih bergabung dengan Jawa Barat membawa Okamoto mengenal lebih dekat tentang Banten. Toto kalau tak salah membawa Okamoto ke Rumah Dunia-nya Golagong yang juga kawan saya, (Golagong kini duta baca Perpustakaan Nasional). Totol juga katanya membawa Okamoto ke kampus Universitas Tirtayasa dan sejumlah tokoh lainnya.
Okamoto pintar berbahasa Indonesia, kadang saya kasih sedikit-sedikit kasih bahasa yang akrab soal bahasa Sunda, karena saat itu ia konsen di Jawa Barat jadi sedikit memberikan arti bagi seorang peneliti jika ada di tatar Sunda.
Okamoto juga selalu mengajak teman di Jepang yang ada hubungan dengannya jika ke Indonesia pasti akan disuruh jumpa dengan saya. Okamoto ini jaringannya luas, peneliti di dunia dari sejumlah negara ia banyak kenal dan beberapa kali saya sering diajak untuk berjumpa. Di lembaga yang banyak sekali peneliti seperti LIPI (kini Brin) ia juga dikenal.
Kisah lainnya sampai kini kawan-kawannya dan bahkan mahasiswa yang akan melakukan penelitian tentang Indonesia banyak yang ia kenalkan pada saya dan di rekomendasi untuk dibantu oleh saya. Saya lalu berpikir sebenarnya saya bukan siapa-siapa, tapi Okamoto ini menganggap saya punya banyak jaringan sehingga sampai kini lebih dari 17 orang yang dikenalkannya masih terjalin komunikasi baik dengan saya. Mereka adalah orang Jepang, ada dosen, jurnalis di NHK ada juga yang bertugas diplomatik di kedutaan dll.
Belikan Koran Pikiran Rakyat
Kini kisah yang menarik dari Okamoto dengan saya. Secara khusus ia meminta saya untuk membelikan koran Pikiran Rakyat (PR) setiap bulannya (30 edisi) dan setiap bulan saya harus mengirimnya ke Kyoto Jepang, tentunya ongkos dan langganan diganti, dan semua itu diganti dan sangat besar. Bayangkan saat itu untuk ongkir ke Jepang dan langganan PR dibayar dengan mata uang Jepang Yen. Saat itu internet belum seperti sekarang, media konvensional atau analog ini masih sangat sedikit pula.
Okamoto yang konsen dengan Jawa Barat melihat perkembangan lewat media PR itu. Soal akan adanya rencana Banten lepas atau berpisah dari Jawa Barat dan berdiri menjadi Provinsi baru ia termasuk yang paham. Akhirnya Banten menjadi provinsi sendiri Okamoto tahu betul pastinya, seperti saya sebutkan kisah masuknya diatas Okamoto ke Banten lewat Toto, namun juga ia pun kini makin punya banyak jaringan pula.
Jika kami jumpa kadang ngopi atau makan malam kami kita makin seru dengan kisah-kisah kekinian yang terjadi. Politik menjadi konsumsi tambahan di tengah makanan Jepang. Kami diskusi tentang yang hangat selalu soal Pilpres. Sebagai Jurnalis mencoba membuka dua cakrawala yang masih menganut jargon lama “Media is the forth estate”, atau Media is a watch dog” semoga saya masih pegang ini.
Saya teringat tahun 2014 saya pernah diminta bicara sekaligus diundang menjadi pembicara paska Pilpres 2014 di Kyoto University, tepatnya di lembaga CSEAS- Kyoto University yang bicara Associate Prof Okamoto saya dan Prof Jun Honna dari Ritsumeikan University, Jepang. Temanya waktu itu “The 2014 Presidential Election and the Role of Social Media. Banyak mahasiswa Okamoto dan juga sejumlah kawan-kawan dari Indonesia yang sedang studi di sana hadir.
Semalam dalam diskusi kecil sama kawan sambil makan hal ini di kilas balik dan rupanya dia sudah tahu banyak ada perubahan besar saat ini. Saya ingat dia. Hmmm syukurlah…Saya juga katakan ini belum tahu siapa yang kuat akan jadi presiden 2024 karena yang terlihat baru satu pasangan yang sudah punya wakil. Tapi semua  “mengaku kuat”, kita akan lihat nanti saja 10 September 2023 pendaftaran di KPU.
Akhirnya saya sampaikan saja ingat Prof Okamoto ini meski hanya kisah masa lalu yang saya ingat-ingat, maklum saja kalau ada yang tertinggal atau lupa. Arigatou Gozaimasu!
Kebagusan JAKARTA, 21 September 2023
Aendra Medita Kartadipura
Diapit Professor Masaaki Okamoto dari Center for Southeast Asian Studies (CSEAS) Kyoto University Jepang dan Terauchi Da i suke DR dari Tokyo University (saat ini bertugas di Center for Southeast Asian Studies (CSEAS) Jakarta…Makan siang bersama di kawasan Senopati Kebayoran…. Bicara politik, hukum dan juga soal Agri bisnis dan sosial ekonomi. …