Fenomena “Negara Keluarga Presiden Jokowi” dan PSI
By : MN LAPONG
Sebuah akun di media sosial berinisial @kulipasarlegi menulis, “baru join langsung jadi ketua umum.”
Alinea diatas dimuat dalam pojok “berita viral” Surat Kabar Harian Rakyat Merdeka, 26 September 2023 dalam judul berita, Kaesang Nahkodai PSI.
Entah ini pertama kalinya terjadi dalam sejarah Republik Indonesia, bahwa seorang Kaesang anak Presiden baru Sabtu lalu menjadi Anggota Partai yang berlambang Bunga Mawar itu, beberapa hari berikutnya sudah menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yakni pada hari Senin 25 September 2023, saat Kaesang menyampaikan Orasi Politiknya dalam Kopi Darat Nasional PSI (Partai Solidaritas Indonesia).
Catatan Supratman dalam Vox Populi Rakyat Merdeka, menulis judul “Rekor Kaesang dan Changer.
Catatan ini intinya, (pertama) menguliti “ketakjuban” Rekor Kaesang sebagai sosok yg bisa jadi Ketum PSI dalam selang waktu tiga (3) hari setelah ke anggotaan-nya di PSI, luar biasa !? Hal lain ditemukannya benang merah yang bisa menjadi “game changer”, yakni terhadap putusan MK mengenai syarat usia Capres/Cawapres.
Jika seandainya saja Putusan MK menerima batas umur bawah atau 35 tahun seperti maksud gugatan PSI yang diperkarakan di MK, maka putusan tersebut bisa memberi peluang Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi Cawapresnya Prabowo. Putusan ini bisa mengubah arah permainan untuk 2024, sekaligus bisa merubah peta politik kedepan.
Saya melihat opini – Catatan Supratman diatas tidak lain sebagai respon atas opini opini publik sejalan dengan fakta politik yang berkembang sejak cawe cawe politik Presiden Jokowi terhadap copras capres 2024 mendatang yang mendapat perhatian pro kontra publik tanah air.
Dinasti Politik dan Setting Kepentingan Partai
Mengawal dan mengisi perjalanan demokrasi dalam arti sesungguhnya, tentu bukan dimaksudkan sebagai kegilaan demokrasi (Democrazy) seperti yang berkembang saat ini, menjadi transaksional dalam _setting_ Oligarkhi dan kepentingan lainnya dari para bandar politik.
PSI lahir 16 November 2014 sebagai partai anak muda tentu membawa angin segar dalam kancah politik nasional. Namun dalam perjalanan keikutsertaan dalam proses Pemilu 2019, PSI justru sama sekali tidak mendapat respon publik khususnya dikangan milineal-pemuda saat itu sehingga PSI tidak lolos masuk ambang batas DPR RI Senayan.
Sekalipun tidak lolos masuk Senayan, namun anggota DPRD PSI cukup memberikan _polical game_ yang menarik perhatian publik, khusus di DPRD DKI dalam mengkritisi berbagai program kebijakan Gubernur Anies Baswedan, dari soal banjir, sumur resapan, jalur sepeda dan trotoar, soal anggaran ATK, Formula E dll.
Entah ini ini menjadi bagian strategi interen politik PSI untuk menguatkan memori publik tentang partai ini, juga bisa jadi sebagai bentuk koalisi atau aliansi politik dalam platform bersama dengan pihak lain. Inilah kemudian kehadiran partai ini di DPRD DKI dibaca publik sebagai persekongkolan lebih luas dalam _”setting penguasa”_ dalam menjegal program Anies Baswedan sebagai gubernur DKI Jakarta yang justru semakin hari ke populerannya makin direspon publik Jakarta sukses sebagai gubernur.
Massifnya perseteruan PSI vs Anies Baswedan yang tampak dalam _political game_ anggota partai PSI, bersamaan kuatnya arus di balik ngototnya PDIP dan PSI menggulirkan Interpelasi Formula E. Semakin terbaca oleh publik bahwa PSI berhubungan langsung dalam lingkaran kekuasaan PDIP, Megawati dan Jokowi. PSI kemudian di klaim publik sebagai PDI-P U23.
Seiring waktu, kemesraan PSI dan Jokowi semakin terlihat di ruang publik. Di mana mana poster dan Billboard PSI bergambar Jokowi hadir bersamaan menyertai cawe cawe Jokowi dalam kontestasi politik pemilu 2024.
Namun tidak ada yang menduga retaknya kemesraan antara Bos Partai dengan Petugas Partai di tubuh (PDI-P), membuat determinasi politik dilingkaran Partai tersebut menjadi 2 (dua) _”setting”_ poros kepentingan, yakni poros Megawati sebagai bos PDI-P dan poros Jokowi sebagai petugas partai.
Adu kuat Jokowi sebagai Presiden dan Megawati sebagai Ketua Umum PDI-P, di mulai sejak Pidato Megawati dalam acara memperingati HUT 50 tahun PDI-P bulan Januari lalu, Ketua Umum PDI itu menegaskan masa jabatan presiden di Indonesia hanya boleh maksimal dua periode karena sudah disepakati bersama dan diatur dalam konstitusi.
“Lah kalau sudah dua kali, ya maaf, ya dua kali,” kata Megawati. Penegasan ini sebagai reaksi mengenai wacana jabatan presiden menjadi tiga periode, dan wacana mengenai penundaan pemilu yang sempat dihembuskan elite-elite politik di Jakarta, baik itu datangnya di lingkaran kekuasaan Jokowi maupun oleh pendukung-relawan Jokowi.
Diambil alihnya Capres Ganjar Pranowo dari tangan Jokowi yang tadinya di gadang gadang oleh relawan Jokowi sebagai Capres _the next_ Jokowi, menjadi ambyar setelah kendali pencapresan tersebut diambil alih oleh Megawati dan mengumumkan langsung Ganjar Pranowo sebagai Capres PDI-P dengan status petugas partai dalam suatu komitmen kontrak politik.
Selanjutnya, gagalnya Kaesang mendapat kepastian menjadi calon Walikota Depok dari PDI-P, dan gagalnya Moeldoko menganeksasi Partai Demokrat, setidaknya menjadi perhatian serius langkah langkah politik Jokowi dalam menghitung masa depan politik (legacy)-nya dan trah politik keluarga pasca Presiden. Partai Politik adalah kunci utama menghimpun kekuasaan, tanpa Partai adalah hal yang mustahil aman terkendali. Semua ini tentu masuk dalam area kalkulasi politik Jokowi dalam safari cawe cawe politiknya.
Pernyataan Jokowi soal pegang data intelijen partai terkait kondisi internal dan arah pergerakan partai politik,
“Saya tahu dalamnya partai seperti apa saya tahu, partai-partai seperti apa saya tahu. Ingin mereka menuju ke mana juga saya ngerti,” kata Jokowi saat membuka Rapat Kerja Nasional Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi di Hotel Salak, Bogor, Sabtu pekan lalu, 16/9/2023.
Ha Ini dapat disimpulkan sebagai alarm politik, namun juga dibaca publik merupakan bentuk kecemasan atas ketakpastian politik-nya seperti yang di harapkan pasca lengser, apalagi dukungan pool komitmen dari PDI-P tidak lagi otomaticly sesuai _settimg_ yang diharapkan seperti semula, baik untuk mendukung program pemerintahannya maupun trah politik keluarganya ketika dukungan PDI-P diberikan kepada anaknya Gibran dan mantunya Bob Nasution pada saat lalu.
Sekalipun dukungan publik hasil survey terhadap Presiden Jokowi menguat diakhir masa jabatannya, namun pikiran kontalasi politik melalui mutlaknya dukungan partai politik dalam jalannya kekuasaan menjadi sangat urgent. _No Partai No Party !_
Fenomena politik Indonesia bahwa Kadindat calon pemimpin kekuasaan tanpa Partai sendiri, akan sulit mulus-aman dan otonom. Istilah petugas partai atau boneka oligarkhi, fenomena ini mulai terlihat saat awal pencapresan Jokowi, sekarang Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan mengalami hal yang sama. Berbeda misalnya dengan seorang Prabowo Subianto yang sangat mulus memainkan _piltical game_ dalam proses pencalonannya sebagai Kadindat Presiden karena memiliki partai.
Mengapa Jokowi mengalihkan dukungan sebagian besar kepada Prabowo melalui relawannya selain ke Ganjar, karena kepastian komitmen Prabowo sebagai pemilik partai besar untuk melanjutkan legacy -nya dan chemestry-nya untuk berkalaborasi dengannya dalam kekuasaan pasca lengser untuk bersama Gibran sebagai cawapres Prabowo dilihatnya jauh lebih berpotensi ketimbang mendapat akomodir di PDIP.
Selain hasil cawe cawe Jokowi seperti harapannya itu, tentu juga yang paling penting pasca lengser Jokowi butuh partai yang otonom bekerja sesuai _”setting”_ yang diharapkan untuk mengamankan kepentingan politik Jokowi sebagai kunci instrumen untuk berselancar dalam politik Indonesia berikutnya,
Keberhasilan Kaesang secara sim salabin menjadi Ketua Umum PSI, Jokowi sebagai Presiden dinilai cukup piawai menggunakan kekuasaan, selain leluasa mendapatkan ruang cawe cawe politik sampai akhir kekuasaannya, hasilnya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pun direngkuh dalam _”setting”_ kekuasaannya. Politik cawe cawe sang Presiden akan semakin mulus dalam kontestasi pemilu-pilpres 2024 tanpa kuatir kehilangan jejak dan kontrol politik di tanah air.
Kekuasaan yang power full di tangan Presiden, berimbas kepada kepopuleran Jokowi adalah faktor utama dan kunci kuat dalam mengontrol politik seperti “setting” kepentingan yang diinginkan sang Presiden. Ini misalnya, dapat dibaca dari setia dan manutnya kelompok kelompok relawan Jokowi di seluruh tanah air hingga hari ini.
Tidak heran jika PSI dengan mudah melihat peluang itu, merasa nyaman dan pasti untuk menyerahkan PSI di kelola dan di kembangkan dalam kesatuan trah kekuasaan keluarga Jokowi.
Kaesang sebagai putra mahkota adalah pilihan pas untuk mengawal PSI berkembang kedepan, sekaligus mengawal arah strategi politik PSI untuk menjadikan Gibrang Rakabuming Raka Walikota Solo menjadi Kadindat copras capres yang jika tidak ada aral melintang, putusan MK akan bersesuaian dengan maksud gugatan PSI soal batas umur capres/cawapres tidak lagi di batasi umur 40 tahun. Apalagi opini yang berkembang di media sosial dugaan tersebut bisa diterima MK, bukan karena kebetulan takdir Ketua MK adalah ipar Jokowi?
Wallahualam!
Pilihan mengangkat Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum PSI sekalipun instan sim salabim yang dinilai lucu publik pemirsa Indonesia, oleh pengurus maupun anggota kader PSI tentu mengandung hitungan matang, dan tidak asal comot tetapi demi kepentingan strategi jangka panjang.
Apakah berikutnya kemudian PSI menjadi Rumah politik Jokowi, sama seperti SBY dengan PD, dan Megawati dengan PDI-P. Wait and see? Yang pasti Bertemunya kepentingan antara anggota pengurus / kader PSI dan Jokowi adalah hal biasa dalam konteks pragmatisme politik untuk kepentingan berkuasa.
Yang jelas PSI bukan singkatan dari (Partai Setting-an Indonesia).
Rorotan village, 27/9/23