Kaesang “Teu Ngesang..!”

Aneh, tapi nyata. Bukan sulap, bukan sihir. Baru sehari bergabung, Kaesang Pangarep langsung didapuk jadi Ketua Umum PSI. Partai Solidaritas Indonesia yang konon mencitrakan anak muda. Justru lebih pas bermakna musibah kawula muda.

Bagaimana mungkin semangat merangkul generasi milenial melek politik, bisa bergulir. Berpotensi jalan rintang. Bila serupa itu yang dipertontonkan kepada mereka.

Mungkin saja, hal istimewa bagi Kaesang. Teu ngesang..! (tak berkeringat, bhs Sunda -pen). Tapi tak istimewa bagi pendidikan politik muda usia. Bahkan malapetaka di depan mata. Mencitrakan Indonesia yang rapuh dan sengkarut dalam membangun moral bangsa. Gagal integritas.

Kaesang mengakui adanya hak istimewa (previlege) itu. Tak kecuali sudah mendapatkan restu dari Jokowi yang kini menjabat presiden. Dia, memang anak presiden. Tak berlebihan disebut menambah perbendaharaan gawe cawe-cawe. Demi agenda Pilpres 2024 yang tengah “menghantui”. Jauh dari upaya legacy yang membumi.

Fenomena Kaesang tak mencerminkan pesan mandiri yang seharusnya terpatri. Petuah dasar bagi para penerus generasi. Menjadi cukup alasan, bila rakyat tak patut lagi berharap lebih. Pemimpin yang senantisa peduli akan perbaikan nasibnya. Nyatanya, para dewa Jakarta akan mendahulukan mengurus keluarga sendiri. Menyejahterahkan dan memakmurkannya. Seiring itu sinyal bagi mandegnya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Baru sehari bergabung, langsung menjabat ketum parpol — sungguh abai akal sehat. Tak cuma mendistorsi tata-cara berorganisasi. Lebih jauh telah mengangkangi kehidupan berdemokrasi. Siapa pun boleh dan mudah berganti baju dan atribut. Tak peduli ribut, terpenting apa yang diinginkan bisa direbut.

Bila “gerakan satu langkah” itu berlaku, tak ada lagi “bingkai” organisasi. Tak ada urusan dengan AD/ART. Standar yang kita ketahui, ketum parpol dipilih lewat forum kekuasaan tertinggi. Lazim disebut kongres, musyawarah nasional (munas) atau muktamar. Bila terjadi pergantian dalam satu periode berjalan, akan ditempuh forum luarbiasa.

Tak elok dengan semata argumen klise: “urusan internal”. Penulis tak ada urusan dengan soal satu ini. Mau jungkir-balik pun, bahkan aji mumpung. Tapi, bukankah parpol sebagai pilar demokrasi?! Lantas, bila abai demokrasi — masih pantaskah disebut parpol?!

Kali ini, publik kembali terkecoh. Lagi-lagi dipaksa menonton akrobat politik. Tak kunjung tutup layar. Episode demi episode yang sarat lelucon. Menggelikan!

– imam wahyudi (iW)
jurnalis senior di Bandung