KEMBALI KE MESIN KETIK

Saat itu Revolusi PC tahun 70an-80an. Computer yang sebelumnya adalah barang mahal seharga jutaan dollar turun ke standard barang rumahan. Apple 2 saat diluncurkan berkekuatan RAM 4KB, yang merupakan standard yang tinggi sekali jaman itu. Sekarang ukuran itu tampak seperti becandaan, tapi 4KB adalah kekuatan komputer NASA yang mengantarkan manusia ke Bulan.

Computer tidak hanya murah, tapi juga mempermudah hidup kita. Banyak pekerjaan rumit seperti kalkulasi, dan presisi yang dapat diselesaikan komputer dengan kecepatan ribuan kali daripada manusia. Apalagi dengan adanya alat pendukung seperti printer.

Nah, yang menarik adalah, kemajuan jaman komputer itu dibarengi teriakan aktivis yang mengkhawatirkan nasib jutaan juru ketik yang bergantung pada pekerjaannya. Dan puluhan tahun berlalu sejak jeritan itu dikumandangkan, hari ini saya ragu masih ada manusia yang berporfesi seperti juru ketik jaman dulu itu. Kemajuan komputer menggusur jutaan juru ketik, namun menghasilkan jutaan programmer dan pekerjaan pendukung IT yang rasanya jumlahnya berkali lipat dibanding total juru ketik yang pernah hidup di dunia. Tidak ada lagi yang merindukan profesi primitif itu. Semua hanyalah artefak masa lalu.

Seperti DeJavu, hari ini kita menghadapi perkembangan teknologi yang sama pesatnya, seperti AI, dan Tiktok dan lain sebagainya. Dan kita menjeritkan keresahan yang sama, akan nasib umat manusia yang digantikan perannya oleh mesin.

Pada saat saya menulis artikel ini, yang jadi pusat perhatian adalah Tiktok.

Tiktok dituduh membuat sepi pasar tanah abang (yang memang sudah menurun semenjak Tokopedia dan Shopee naik daun), glodok juga sepi, mangga dua juga sepi, dan semua mall yang bisnisnya hanya berdagang, bukan entertainmet relatively sepi semenjak kenaikan e-commerce. Yang lucunya, yang dituduh adalah tiktok. Apakah ini murni karena membela rakyat, atau keresahan e-commerce besar atas persaingan dari tiktok?

Apapun itu terserah saja, hanya saya peringatkan pada pemerintah untuk hati-hati sekali menanggapi hal ini. Jangan sampai malah jadi blunder yang membawa petaka pada negara kita. Ingat beberapa poin ini saat ambil keputusan :

1. Ingat, pada saat kita menghambat satu teknologi, ada negara lain yang tetap membiarkannya, bahkan mendukungnya berkembang di negaranya.
2. Ingat, pada saat kita menghambat satu teknologi, berarti manfaat positif yang biasanya kita peroleh dari teknologi itu akan hilang atau berkurang jauh.
3. Ingat, ada pemain lokal juga yang juga adalah pembayar pajak yang mungkin ikut terdampak karenanya. Mereka mungkin adalah pemain besar yang bertahan dengan merugi karena mengandalkan uang investor, atau pemain kecil UMKM yang bergantung pada platform yang sedang kita tindas itu, yang mana suaranya tidak di dengar karena tidak di expose, dan tidak lupa jutaan customer atau tidak tahu caranya bersuara. Dan tidak lupa, jutaan customer yang dapat manfaat darinya.
4. Ingat, mungkin saat kita mengambil keputusan untuk menghambat teknologi, kita secara instan akan mendapat keuntungan, dan merasa sejahtera, tapi kemasa depan akan tidak bagus, seperti jika seandainya kita membuka keran export “Nikel” jelas ada uang instan yang di dapat. Namun dalam waktu bersamaan, kita sedang mengubur masa depan kita. Karena ini sama dengan memotong ayam petelur emas kita.
5. Sebagai ringkasan, ingatlah, pada saat ada satu negara yang menghambat teknologi, dan satu negara mendukungnya, yang menghambat akan kehilangan, sementara yang mendukung akan makin kuat seiring berjalannya waktu.

Kembali ke pasar tanah abang yang sepi. Tempat yang pernah menjadi pusat textile terbesar di ASEAN, tempat trilyunan uang berputar sehari, tempat para jago-jago bertaruh nyawa memperebutkan sejengkal lahan parkir, tempat jago-jago yang sukses menjadi kaya raya, dan menggunakan uangnya untuk membeli suara rakyat dan menjadi anggota dewan, tempat yang dulu lahannya dijual puluhan sampai ratusan juta per meter perseginya. Sekarang tempat ini sepi, seperti reruntuhan kota masa lalu, tempat orang-orang yang telah berinvestasi banyak sebelumnya menjerit minta diselamatkan.

“HENTIKAN TEKNOLOGI ITU!!!” Mungkin seperti itu teriakan mereka.

Jadi kemana kejayaan itu lenyap? Apakah dimakan raksasa teknologi e-commerce? Atau justru terdistribusi menjadi ribuan atau jutaan toko online yang dijalankan dari rumah? Tempat dimana tidak ada lagi yang namanya biaya sewa yang mahal, dan biaya – biaya tidak terduga lainnya? Yang tentunya karena tersebar diantara ribuan hingga jutaan toko, jadinya pendapatannya juga terdistribusi.

Apakah tiktok dan raksasa e-commerce adalah penjahat atau mungkin toko-toko seperti pasar tanah abanglah yang tidak lagi relevan bagi jaman? Apakah harus dipertahankan, atau dibiarkan saja digantikan oleh teknologi baru?

Coba bayangkan 30 – 40 tahun yang lalu, saat e-mail diciptakan. Pastinya ditentang oleh kantor pos, karena menghancurkan bisnis surat menyurat mereka. Tapi seandainya mereka waktu itu merangkul perubahan, mereka mungkin sekarang menguasai bisnis e-mail, dan seperti kita tahu, nilai bisnis e-mail yang ada sekarang nilainya berkali-kali lipat dari bisnis surat menyurat manapun?

Ingatlah, 20 tahun yang lalu pernah ada raksasa teknologi bernama Yahoo. Pada tahun 1998, mereka menolak membeli Google seharga 1 juta dollar, dengan alasan bahwa mesin pencari Google terlalu bagus, dan membuat orang tidak berlama-lama di halaman Yahoo. Sekarang, lihatlah akibatnya.

Mungkinkah sekarang waktunya bagi umat manusia melompat ke tahap yang lebih tinggi? Seperti penjelajahan luar angkasa misalnya?

Pernahkan anda menonton animasi PIXAR berjudul Wall-E ? disana diceritakan bahwa manusia tidak lagi perlu bekerja dan berkontribusi bagi ekonomi, karena semua kebutuhannya dilayani oleh robot dan komputer, yang mana kita tidak mungkin mencapai titik itu jika kita masih takut terhadap kemajuan teknologi.

Dan terakhir, marilah mengenang kerusuhan Angry Bird 2016 silam. Saat itu, sebuah teknologi baru bernama Ride Hailing, yang kita lebih kenal sebagai Gojek dan Grab sedang naik daun. Para pemain lama menjerit karena tertindas oleh raksasa teknologi baru yang melanggar peraturan yang tumbuh dengan demikian cepat. Jeritan mereka bisa dikatakan sama seperti hari ini. Saat itu kepala daerah, politisi, mentri, beramai-ramai menyatakan Gojek dan Grab illegal, namun ada dua orang pemberani yang maju kedepan, secara terang-terangan berani membela teknologi baru itu, yaitu Presiden dan Gubernur DKI, dan saya masih ingat kata-kata yang diucapkan :

“Kemajuan teknologi adalah keniscayaan”

Dan bukannya menutup ride hailing, malah disahkan sebagai bidang industri baru.

Yang mulia para regulator : Presiden, Wakil, Mentri, Kepala Daerah yang saya hormati, hari ini kita dihadapkan pada dilema yang sama. Dan tentunya kalian semua punya pertimbangan sendiri terutama dari segi popularitas, apalagi menjelang tahun pemilu. Namun sebelum ambil keputusan apapun, tanyakanlah hal ini :

“Apakah saya sedang mencoba membunuh komputer untuk menghidupkan lagi jutaan bahkan milyaran pekerjaan juru ketik?”

And one more thing : Jika kekhawatiran kita adalah membanjirnya produk asing lewat e-commerce, mungkin masih masuk akal untuk mempertahankan produsen dalam negri, tapi anda yakin menghidupkan lagi pusat perbelanjaan seperti pasar tanah abang adalah ide yang bagus? Dan sekalipun ya, apa anda pikir masih mungkin dilakukan? Apakah effort dan hasilnya sepandan atau malah membuat konsumen dan jutaan pedagang lain menderita?

William Win Yang
Business Strategist, Best Selling book author
Ketua KOMTAP Digitalisasi UMKM Kadin Indonesia