Image By vecstock
Image By vecstock
HAK KONSTITUSIONAL RAKYAT ATAS PANGAN

Oleh: Syaiful Bahari*

Sudah tujuh bulan harga beras terus merangkak naik. Bahkan kenaikan harga beras sekarang ini yang tertinggi dibandingkan lima tahun sebelumnya. Sudah dua kali Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengganti penetapan Harga Pokok Produksi (HPP) gabah dan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras, namun harga beras tetap tidak bisa dikendalikan.

Pernyataan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi yang memprediksi bahwa harga beras akan turun di bulan September setelah Bulog berhasil mendatangkan beras impor 1,6 juta ton untuk Bansos dan stabilisasi harga beras yang kian melambung tinggi. Pernyataan tersebut patut dipertanyakan karena kenaikan harga beras sekarang ini tidak hanya dipicu oleh berkurangnya produksi dan suplai beras di pasar, tetapi disebabkan juga oleh harga gabah yang sangat tinggi yang kini sudah menembus di atas Rp. 7000 per Kg.

Upaya pemerintah untuk mengatasi kelangkaan beras melalui impor sebesar 500 ribu ton di akhir tahun 2022 dan 2 juta ton di tahun 2023, jika benar terjadi hanya akan menutupi sepuluh persen dari kebutuhan nasional. Tentu saja jumlah tersebut tidak akan mampu menurunkan harga ke batas HET yang ditetapkan pemerintah. Lantas pertanyaan adalah apa yang akan terjadi jika target produksi dan impor beras tidak terpenuhi sampai akhir tahun ini? Sudah pasti akan memicu inflasi pangan karena 90 persen lebih Masyarakat Indonesia masih mengkonsumsi beras.

Spekulasi Cadangan Beras Nasional

Sejak awal data produksi padi, cadangan beras pemerintah dan konsumsi memang tidak jelas dan berbeda-beda. Ketidakjelasan tersebut menimbulkan spekulasi apakah cadangan beras nasional masih dalam batas aman, lampu kuning atau merah. Selama ini publik disuguhkan dengan data-data yang menunjukkan stok beras nasional dalam keadaan baik-baik saja. Pemerintah selalu mengklaim di akhir tahun masih memiliki cadangan beras antara satu sampai dua juta ton untuk bisa bertahan sampai panen raya di kuartal pertama tahun berikutnya.

Setelah Bulog mengumumkan cadangan beras pemerintah (CBP) tinggal 250.000 ton, barulah semua orang tersadar bahwa jumlah stok tersebut sangat berisiko jika panen padi kuartal pertama 2023 tidak sesuai target produksi. Pemerintah juga telat mengantisipasi dan memitigasi krisis pangan global akibat perang Rusia versus Ukrainia dan datangnya elnino serta kebijakan penutupan ekspor beras oleh pemerintah India yang memicu kenaikan harga beras di pasar internasional.

Dalam menghitung cadangan beras nasional, pemerintah sebenarnya sudah memiliki peraturan perundang-undangan yaitu Perpres nomor 125 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Cadangan Beras Pemerintah dan sebelumnya Permentan nomor 11 Tahun 2018 dan yang terbaru Peraturan Badan Pangan Nasional nomor 15 Tahun 2023. Dalam regulasi tersebut dijelaskan cadangan beras nasional terdiri dari tiga jenis yaitu cadangan beras yang berada di masyarakat, cadangan beras pemerintah (CBP) dan cadangan beras yang berada di daerah.

Cadangan beras nasional ditetapkan 20 persen dari kebutuhan konsumsi beras nasional. Konsumsi beras nasional sendiri rata-rata 30 juta ton per tahun, jadi setiap tahun cadangan beras nasional sebesar 6 juta ton. Dari jumlah tersebut untuk CBP ditetapkan 8 persen (480 ribu ton), cadangan beras di daerah 0,5 persen (30 ribu ton), dan cadangan beras yang tersimpan di masyarakat 11,5 persen (690 ribu ton). Dari perhitungan di atas masih ada 4,8 juta ton yang belum ditetapkan. Di samping itu, cadangan beras yang beredar di masyarakat juga tidak bisa dipastikan jumlah dan kebaradaanya, karena bagaimana cara memastikan beras yang berada di masyarakat?

Satu-satunya yang bisa dipastikan keberadaannya adalah beras CBP karena dikuasai dan dikelola langsung oleh negara (Bulog). Menjadi pertanyaan adalah mengapa CBP diberi tanggung jawab hanya 8 persen dari kebutuhan beras nasional, padahal kebaradaan CBP sangat penting untuk antisipasi dan mitigasi jika terjadi kelangkaan beras, kenaikan harga beras, kelaparan massal, bencana nasional dan bahkan jika terjadi perang, dimana negara tetap harus hadir menyediakan makanan bagi rakyatnya.

Perlindungan Negara atas Pangan Rakyat

Pangan yang cukup merupakan dasar kemakmuran bagi suatu negara. Pangan menjadi parameter kemiskinan, jika konsumsi pangan masyarakat rendah baik kuantitas maupun kualitasnya maka akan menciptakan krisis multidimensional. Karena itu negara tidak boleh sedikitpun mengabaikan urusan pangan bagi rakyatnya. Boleh dikatakan negara sebelum membangun kemegahan infrastruktur fisik terlebih dahulu harus memenuhi kebutuhan pangan yang terjangkau dan bermutu bagi setiap warga negara. Jika pemerintah tidak mampu menyediakan pangan bagi rakyat, berarti pemerintah tersebut gagal dalam menjalankan konstitusi.

Perintah konstitusi kepada penyelenggara negara dalam kewajiban memenuhi kebutuhan pangan masuk dalam pasal 28 A UUD 1945. Penegasan kewajiban pemerintah dalam penyediaan pangan termuat dalam Undang-undang nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Dari kedua perintah tersebut menegaskan bahwa negara wajib hadir dalam memenuhi kebutuhan pangan bagi setiap warga negara. Dengan demikian tidak boleh ada warga negara yang kelaparan dan kesulitan memperoleh pangan.

Sayangnya perintah konstitusi dan kemudian diturunkan dalam undang-undang tidak menetapkan secara eksplisit berapa jumlah cadangan pangan nasional yang harus disediakan negara. Ketiadaan jumlah prosentase tersebut tentu saja tidak berkonsekuensi bagi penyelenggara negara dalam mencantumkannya di APBN. Sehingga pemerintah tidak merasa berkewajiban untuk memastikan jumlah cadangan pangan nasional termasuk beras setiap tahun untuk kebutuhan pangan rakyat. Selama ini penetapan jumlah cadangan pangan nasional hanya tertuang di Perpres, Permentan dan Peraturan Badan Pangan Nasional, yang legitimasi konstitusionalnya tidak terlalu kuat. Selain itu, jumlah penetapan cadangan beras nasional tersebut tidak masuk akal dan jauh dari proporsi ketahanan pangan.

Dengan terjadinya krisis beras yang dialami sekarang menjadi pelajaran bagi pemerintah dan legislatif untuk segera mengkaji kembali cadangan pangan nasional terutama beras menjadi isu konstitusional.

*)Penulis adalah analis politik kebijakan pangan dan kandidat doktor Hukum Tata Negara di Program Pasca Sarjana UKI.