Fakir Miskin dan Anak Terlantar Dipelihara oleh Negara. Apakah Hanya Menjadi Hiasan Belaka?

Setya Dharma Pelawi (Senator Jaringan Aktivis ProDem)

Kita sepakat bahwa di Negara Indonesia segala sesuatu telah diatur oleh UUD 1945 dan merupakan landasan konstitusi bagi Negara Republik Indonesia serta UUD 1945 juga sebagai dasar hukum tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam menjamin hak konstitusional warga negara.

Bangsa dan Negara Indonesia didirikan khususnya untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan Undang – Undang Dasar 1945, Pasal 34 ayat 1, fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Mengacu pada pasal tersebut tanpa disadari Negara  meletakan beban kepada dirinya sendiri berupa kewajiban untuk menanggung sebagian deritaan masyarakat miskin dalam hal ini, atas dirinya sendiri maupun kegagalan pemerintah dalam mensejahterakan masyarakatnya.

Dari tahun ke tahun pemerintah selalu membuat program untuk mengentaskan kemiskinan hal ini merupakan hanya bersifat sementara. Seperti yang kita ketahui hanya untuk menyembuhkan gejala saja tapi bukan penyakitnya. Sehingga program tersebut hanya membuat masyarakat tetap miskin dan membuat masyarakat menjadi ketergantungan secara berlebihan atas bantuan pemerintah hanya bersifat instan bukanlah solusi untuk mengentaskan kemiskinan.

Kita bisa melihat di lapangan, dengan kasat mata masih banyak anak-anak mengamen, pengemos dilampu merah dan tidur di depan emperan kios beralasan kardus, ini menunjukan tidak berjalannya Pasal 34 ayat 1 UUD 1945. Rakyat Indonesia selalu bertanya apakah pemerintah sudah menjalankan amanat UUD 1945 dan kemana kekayaan alam yang yang melimpah milik Negara. Sangat berbeda dengan kehidupan para elite politik dalam penyelenggaraan negara, banyak oknum elite politik baik di daerah mau pusat terlibat dengan kasus korupsi yang semakin marak  maupun terlibat kasus tindak pidana pencucian uang dan menjadi mafia pajak.

Saat ini saja ada indikasi ada kebocoran keuangan negara dalam kasus pajak sekitat 300an Trilyun Rupiah. Ini yang sangat memprihatinkan, mereka sudah jelas-jelas sebagai penghisap kekayaan Negara.  Mereka masih bisa tersenyum melihat indahnya kehidupan  seakan-akan tidak ada salah dengan jabatannya, sehingga ada istilah dari rakyat dengan hasil korupsi mereka masih bisa menikmati hasil korupsinya sehingga korupsi bagian dari gaya hidup.

Setiap tahun pemerintah selalu membuat anggaran dalam rangka mengurangi jumlah kemiskinan dan anak terlantar, namun angka kemiskinan masih tetap tidak menurun, kemiskinan memang sebuah permasalahan yang sifatnya paradoksal dan pada sisi lain bahwa kemiskinan dapat menjadi modal sosial bagi para politisi ataupun para pengkritik kebijakan pemerintah dalam pengertian dapat menjadi gagasan politik atau idenya dalam menyerang pemerintah.

Sebagai politisi mereka hadir untuk membela kaum miskin dengan harapan seolah–olah politisi yang peduli dengan mereka dan untuk mendapatkan dukungan dalam pemilihan caleg ataupun pilkada. Setelah mereka menjabat tentu fakir miskin dan anak terlantar akan dilupakan, hanya kepentingan otoritas dan elitis dan menjauhkan mereka dari unsur yang dulu dijadikan legitimasi perjuangan. Kemiskinan merupakan masalah yang komplek dan bukan hanya persoalan ekonomi saja tapi merembet pada permasalahan kemanusiaan.

Selama ini pemerintah dalam penanganan masalah kemiskinan hanya sekedar pengalihan isu-isu  yang berkembang di masyarakat misalnya kenaikan BBM, kemudian pemerintah membuat program memberikan bantuan langsung tunai (BLT), namun kebijakan ini tidak tepat sasaran dan cendrung  hanya bermuatan politik saja. Kita dapat mempertanyakan penerapan pasal 34 ayat 1, kalau sudah diterapkan secara terstruktur sudah tentu tidak ada lagi Rakyat Indonesia hidup kurang layak  atau berada digaris kemiskinan.

Negara melalui pemerintahannya harus berkewajiban untuk mencukupi kebutuhan  dasar bagi fakir miskin dan anak terlantar yaitu kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan. Bagaimana fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara kedepannya, dalam mengentas kemiskinan di Indonesia haruslah dibuat program secara terencana, terpimpin dan berkelanjutan.

Kalau kita melihat para capres 2024, hanya Anies R Baswedan yang mampu menerapkan pasal 34 ayat 1 UUD  1945, hal ini sudah dibuktikan pada saat menjadi Gubernur DKI Jakarta. Pemimpin yang memiliki rasa keadilan, keberpihakan dan kepedulian kepada masyarakat miskin  adalah kunci untuk menerapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.