Ada Apa dengan MK?!

Sejatinya Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi lembaga pengawal konstitusi. Mahkamah Konstitusi yang dikawal para pendekar hukum (konstitusi). Bukan kadung diplesetkan menjadi Mahkamah Keluarga.

Sungguh di luar nalar, kata salah seorang hakim konstitusi, Saldi Isra. Palu sidang MK sudah diketuk. Bahwa usia minimal untuk “nyapres” adalah 40 tahun. Tapi, ada tapinya. Dibolehkan bagi pejabat kepala daerah.

Sebuah klausul yang tidak diduga bakal muncul menjadi bagian dari sebuah keputusan. Anak kalimat yang secara awam, bukanlah bahasa hukum. Lebih mirip sesuatu yang “disembunyikan”, kemudian dimunculkan sebagai peran fleksibelitas. Bahasa hukum yang mestinya tegas dan tandas. Tidak mencerminkan produk lembaga negara bernama Mahkamah Konstitusi.

Kekhawatiran publik terjawab sudah. Mengarah pada skenario putra mahkota yang diproyeksikan nyapres atau opsi bawapres. Terganjal usia yang baru 36 tahun, sementara prasyarat minimal 40 tahun. Tampaknya para hakim MK mentok bab batasan usia. Terlebih dikaitkan dengan open legal standing lingkup parlemen dan pemerintah. Lantas diolah demikian rupa. Disusupkan klausul siluman yang praktis “mementahkan” prasyarat batasan usia. Mirip “petak umpet” yang berkelok. Ya, itu tadi — membuka ruang bagi kepala daerah.

Kekuasaan memang bagai candu yang memabukkan. Tak sedikit orang yang dulunya baik baik saja, low profile dan sederhana — tetapi saat berkuasa — berubah garang bak singa lapar.

Apa hendak dikata, publik dibuat bingung dengan putusan MK. Andai pun benar, hakim konstitusi Saldi Isra dibuat bingung oleh putusan MK yang melenceng itu. Hakim saja mengaku bingung, apalagi rakyat kebanyakan. Tak kecuali penulis yang awam soal hukum dan konstitusi.

– Hari Sinastio