Kebijakan Imigrasi Dalam Perspektif Ketahanan Nasional
JAKARTASATU.COM— Dalam rangka Dies Natalis yang ke-40, Program Studi Kajian Ketahanan Nasional menyelenggarakan kuliah umum bertajuk “KEBIJAKAN IMIGRASI DALAM PERSPEKTIF KETAHANAN NASIONAL” di Kampus UI, Jln Salemba Raya, Jakarta Pusat, Rabu, 18/10/2023,
Acara dihadiri oleh baik mahasiswa, dosen maupun masyarakat umum. Kegiatan kuliah umum ini dibuka oleh Ketua Program Studi, Dr. Simon Runturambie, MiSI yang bertindak mewakili Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Athor Subroto, Ph.D. Kuliah umum dipandu oleh Dr. M. Puspitasari, M.Si
Kuliah umum ini disampaikan oleh Dirjen Imigrasi, Silmy Karim.
Imigrasi merupakan institusi yang memiliki peran dan fungsi strategis terutama dalam konteks globalisasi yang dipertajam oleh kondisi pandemi Covid 19 mengantarkan bangsa ini pada kesadaran adanya beragam isu terkait dengan migrasi, yaitu perpindahan penduduk dari negara ke negara lain. Migrasi tersebut diantaranya disebabkan oleh munculnya kebutuhan dan pilihan akan pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik; faktor kebangkrutan yang dialami negaranya dan lain-lain, demikian disampaikan dalam pengantar oleh Dr. M. Puspitasari, M.Si, ahli di bidang komunikasi krisis, yang bertindak sebagai moderator dan dosen tetap Kajian Ketahanan nasional.
Imigrasi, dalam pembuka diskusi dijelaskan oleh M. Puspitasari memiliki peran strategis dalam menjaga pintu gerbang negara, mengingat imigrasi merupakan institusi yang menyaring kedatangan dan keberangkatan orang asing ke dan dari wilayah Republik Indonesia.
Puspitasari menjelaskan bahwa pelaksanaan fungsi tersebut ditujukan untuk upaya pencegahan sebagai bagian dari tindakan keimigrasian. Isu-isu yang dihadapi dalam konteks migrasi ini berdampak pada ancaman keamanan nasional.
Dalam paparan utamanya, Dirjen Imigrasi Silmy Karim, yang menjabat sejak Januari 2023, menjelaskan fenomena ancaman global yang terjadi dikaitkan dengan persoalan teknologi dan infrastruktur yang masih terbatas.
Silmy Karim memberikan ilustrasi awal berdasarkan pengalaman dalam melakukan pembenahan di PT Pindad Persero dan juga restrukturisasi dan transformasi pada PT Krakatau Steel Persero (Tbk).
Melalui ilustrasi tersebut, hadirin memperoleh gambaran tentang kompleksitas yang muncul dalam sistem pertahanan nasional dan sekaligus ketahanan nasional.
Beberapa kompleksitas masalah yang dihadapi, diantaranya pertama terkait dengan kondisi geografis yang berdampak pada kecilnya rasio perbandingan petugas pengawas dengan area kerja yang harus diawasi.
Kemudia kedua adalah isu infrastruktur dan teknologi yang masih terbatas. Dan ketiga, adalah munculnya ancaman dari pelaku kejahatan lintas negara terorganisir (TNOC), seperti drugs, trafficking, penyelundupan dan lain-lain.
Silmy Karim juga mengungkapkan terobosan dalam pembuatan kebijakan Golden Visa yang memberi ruang bagi penguatan investasi.
“Golden visa merupakan “program imigrasi yang memungkinkan suatu negara menarik good quality travelers untuk mendapatkan izin tinggal atau bahkan kewarganegaraan dan akses ke fasilitas umum di negara tujuan untuk membeli rumah/melakukan investasi/donasi yang relatif besar di negara tersebut”, ungkapnya
Mwnurut Silmy Karim program ini dan beberapa program lain yang dinilai memiliki kelemahan didiskusiukan dan dikoordinasikan juga dengan Menteri investasi, Bahlil Lahadalia.
Terkait dengan pertanyaan mengenai kebocoran data paspor sebesar 34,9 juta, dijelaskan oleh SIlmy Karim sebagai human error, yang terjadi karena kurangnya disiplin dari petugas yang melakukan data entry.
“Artinya imigrasi menghadapi isu mengenai kemampuan SDM yang memerlukan terobosan untuk mencegah terulangnya peristiwa tersebut,” jelasnya
Dalam pengalaman Silmy Karim menyusun kebijakan, nampak jelas bahwa kerjasama kolaboratif dan mekanisme pertukaran data antar lembaga merupakan suatu keniscayaan, yang sayangnya bertabrakan dengan realitas terkait dengan sarkasme publik mengenai ganti menteri/dirjen ganti kebijakan.
Puspitasari menegaskan di sini pentingnya menjaga keberlanjutan suatu program yang dirancang secara sistemik, bukan hanya berlandaskan inisiatif individu-individu dalam kursi kepemimpinan, yang sayangnya tidak berlanjut begitu terjadi pergantian kepemimpinan.
Terakhir, sebagai respons atas pertanyaan dari salah satu hadirin, Imigrasi diingatkan untuk mengembangkan suatu sistem mitigasi risiko yang diantaranya memperhitungkan karakteristik Indonesia sebagai negara transit. (Yoss)