Jokowi & Korupsi Politik
Oleh: Husni Agus (*)
DI PUNCAK ketinggian angka korupsi di tanah air, lambat laun kita menjadi tidak peduli lagi ketika persoalan itu tidak bertemu dengan penyelesaian yang diharapkan, baik dari aspek hukum maupun rasa keadilan. Ya, hukum yang berkeadilan.
Tanpa hukum yang berkeadilan, korupsi pun menjadi hal biasa, bukan suatu perkara luar biasa. Padahal sejatinya, korupsi adalah extra ordinary crime, suatu kejahatan luar biasa yang seharusnya diselesaikan secara luar biasa pula.
Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga independent yang di kedepankan untuk menangani korupsi, makin kian jauh dari cita-cita luhur membebaskan negeri ini dari extra ordinary crime. Bahkan, dapat dikatakan jalan di tempat, tidak mengubah keadaan dan menjadi alat kekuasaan.
Sementara itu, esensi korupsi itu sendiri tidak jalan di tempat, sudah bergerak jauh, sudah tidak lagi hanya sebatas pada persoalan “adanya kerugian negara secara finansial” namun sudah merambah kepada kerugian yang lebih dahsyat lagi menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara.
Korupsi Politik?! Inilah fenomena yang terjadi di banyak negara berkembang, termasuk di tanah air saat ini, seperti tontonan menjelang pergantian kekuasaan. Jelasnya, korupsi politik menjadi gambar hidup di akhir era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), setelah berkuasa skala penuh dua periode. Apa iya begitu?
Kalangan akademisi, mengurai korupsi politik ke dalam dua proses yang saling berkaitan, sebagai penyebab kehancuran demokrasi dan perekonomian. Korupsi politik ekstraktif menjadi telanjang, bisa dilihat oleh setiap warga masyarakat yang memiliki kewarasan berfikir, setidaknya ketika Jokowi berusaha mempertahankan. memperkuat maupun melestarikan kekuasaannya dengan berbagai manuver di panggung politik tanah air.
Bukankah perilaku ini yang kemudian memunculkan sebutan “cawe-cawe”, meski pihak bersangkutan tidak tulus mengakui dan menyatakan tindakannya tersebut demi bangsa dan negara? Suatu upaya pembenaran atas perilaku koruptif?
Pemahaman korupsi politik ekstraktif, memang, memiliki spekturum cukup luas. Pertama, korupsi politik ekstraktif dipahami sebagai upaya pemegang kekuasaan politik memperkaya diri mereka sendiri, menyalahgunakan kekuasaan untuk mengambil sumber daya publik maupun swasta. Korupsi politik ekstraktif adalah penyuapan, penggelapan, dan penipuan untuk kepentingan individu pemegang kekuasaan dan rezim – penerimaan suap seringkali menjadi sumber utamanya (terbesar) dalam proses pengadaan publik.
Kedua, korupsi politik ekstraktif dipahami sebagai upaya “seseorang” pemegang kekuasaan politik menggunakan cara-cara biadab (tidak bermoral) dalam “menjual” sumber daya negara, dengan tujuan mempertahankan, memperkuat maupun melestarikan kekuasaan.
Lazimnya, korupsi politik dalam mempertahankan, memperkuat maupun melestarikan kekuasaan, bertujuan membangun dukungan, perlindungan dan impunitas politik. Ini mencakup favoritisme — nepotisme dan kroniisme yang lantang ditentang ketika menjatuhkan regim Orde Baru —juga kooptasi serta manipulasi institusi secara curang.
Tidak sebatas itu, penyalahgunaan kekuasaan seperti yang dilakukan den Jokowi di akhir masa jabatannya menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 untuk tujuan lain , seperti penjegalan terhadap lawan politik, mengintervensi partai-partai politik, menghimpun kekuatan massa (relawan Projo) guna kepentingan kandidat Pilpres tertentu.
Berkembangnya ketidakwarasan berpolitik saat ini, yang bersumber dari manuver politik Jokowi, juga bisa dikatakan sebagai bagian dari pigura korupsi politik yang melekat kuat di dinding kehidupan berbangsa dan bernegara Republik Indonesia.
Betapa tidak. Kebrutalan aparat penegak hukum dan birokrasi menjegal lawan politik dari regim “orde kiri” saat ini, jelas, sebagai gambaran paling terang benderang dari korupsi politik di tanah air kala perebutan kekuasaan secara demokratis melalui Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Dan langkah ini, dikhawatirkan akan berlanjut pada pembelian suara maupun manipulasi suara (kecurangan) dalam Pemilihan Umum 2024 – pemilihan presiden dan anggota perwakilan rakyat – mengingat Komisii Pemilihan Umum (KPU) bukan murni lembaga independent.
Sayangnya, persoalan korupsi politik seperti ini tidak begitu seksi untuk dipahami oleh para elit politik, yang konon mengagungkan demokrasi namun tidak tau bagaimana cara merawat demokrasi. Tapi apa iya korupsi politik sebagai penyebab kehancuran demokrasi dan juga perekonomian suatu negara ?!*