Suroto | IST
Suroto | IST

Krisis Partai Politik

Oleh : Suroto
Ketua AKSES ( Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis)

Menurut Mahatma Gandhi, salah satu dosa sosial adalah berpolitik tanpa prinsip. Artinya berpolitik tanpa dasar nilai yang dipegang teguh. Sebut saja nilai keadilan, kemanusiaan, kejujuran, dan lain sebagainya.

Jenis manusia seperti itu dalam politik tidak layak disebut sebagai manusia politik, manusia yang berkearifan atau berkebajikan. Mereka itu hanya layak disebut sebagai politikus, yaitu mereka yang berpolitik hanya untuk mempolitisir keadaan demi kepentingan dirinya, keluarganya, atau kelompoknya semata. Hanya demi kepentingan kekuasaan semata mata.

Berbeda halnya dengan manusia politik ( zoon politicon) atau politisi, manusia politik atau politisi sejati adalah mereka yang berpolitik dengan landasan platform nilai dan dipraktekkan sebagai prinsip. Nilai nilai itu diakui lalu diinternalisasi dalam dirinya sebagai katalis penting untuk mencapai kebajikan umum. Untuk tujuan penting bagi pencapaian kepentingan bersama ( bonum commune). Sebut misalnya cita cita keadilan dan kemakmuran bagi rakyat Indonesia.

Dalam konteks kehidupan politik praktis,politik elektoral kita, jenis politikus ini rupanya lebih mendominasi ketimbang politisi sejati. Mereka tidak lagi pentingkan apakah platform dari partai itu, apakah cita cita ideologi dari partai yang akan diperjuangkan.

Bagi mereka partai adalah hanya semata dianggap ssbagai kendaraan politik untuk mengantarkanya dalam meraih kekuasaan. Berpindah partai atau menbangun koalisi antar partai untuk tujuan kepentingan meraih kekuasaan dianggap lebih penting daripada kepentingan bagi cita cita partai dalam kontek perjuangan ideologis.

Dalam saat tertentu, atau untuk kepentingan kampanye dalam proses politik elektrolal, jargon jargon politik diproduksi. Mereka bisa saja berpidato berbuih buih soal nasionalisme, keadilan, demokrasi, kemandirian, kesejahteraan. Tapi semua itu berkebalikan dengan isi hatinya, dan juga tindakkanya. Semua tuna makna.

Dampak dari semua itu adalah, ketika kekuasaan berada ditangan individu seperti politikus semacam itu maka rakyat adalah hanya jadi perkakas, jadi alat bagi kepentingan pelanggengan kekuasaannya. Kekuasaan yang ada di tanganya berubah menjadi kepentingan bagi dirinya. Penderitaan dan kesengsaraan rakyat hanyalah hitungan statistik belaka.

Kepentingan umum, kepentingan rakyat banyak itu hanya jadi kamuflase dari kepentingan besar bagi diri, keluarga dan kelompoknya. Di dasar hatinya yang paling dalam, baginya adalah bagaimana menjadikan anak anaknya, sanak familinya menjadi bagian dari pelanggengan kekuasaan.

Demokrasi, keadilan, pengakuan atas persamaan kesempatan, tidak penting. Mereka, manusia seperti ini juga tidak memiliki nilai nilai ethis seperti kejujuran, juga kepedulian pada kemanusiaan. Baginya kekuasaan dan hal hal yang bersifat material lainya adalah hal penting dan jadi tujuan.

Awal muasal kondisi tersebut muncul karena satu hal : partai partai politik itu memang telah mengalami krisis ideologi. Krisis ideologi ini muncul karena memang partai partai itu hanya diisi oleh orang orang yang minus ideologi. Didominasi oleh mereka yang hanya memiliki popularitas dan hal hal artifisial lainya seperti dasar kekayaan, keturunan dan simbol simbol feodaalisme lainya.

Dari krisis ideologi tersebut maka lahirlah krisis kepemimpinan. Partai partai politik yang dibangun itu tak mampu lahirkan kader kader handal yang memiliki basis komitmen ideologi yang kuat dan jelas. Lalu yang dilakukan partai partai politik itu adalah memperbanyak figur figur populis, mereka yang diharapkan memiliki basis elektrolal yang tinggi karena iklan dan pencitraan. Bukan karena wibawa ideologi yang melekat dalam platform partai.

Orang orang oportunis yang mendominasi partai itu akan terus menjadi pengkhianat ideologi partai, menjadi penggerogot marwah partai, menjadi perusak citra partai. Pada akhirnya partai politik itu akan kehilangan hal yang paling penting ; kepercayaan dari basis konstituennya.

Jakarta, 22 Oktober 2023