Dr Gede Moenanto Soekowati,M.I.Kom, *) Analis Senior Pusat Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI)/ist

Dinasti politik mewabah di Indonesia

OLEH Dr Gede Moenanto Soekowati, M.I.Kom
Faktor anak Joko Widodo (Jokowi) yang memasuki kancah Pemilihan Presiden (Pilpres) 2023 perlu mendapatkan garis bawah.
Persoalannya bukan hanya terkait pasangan Prabowo Subianto sebagai calon wakil presiden (cawapres), Gibran Rakabuming Raka.
Bahkan, sejumlah partai politik (parpol) utama di antaranya Partai Demokrat dan PDIP menjadi contoh dinasti.
Bahkan, PDIP dikenal memberikan keistimewaan pada sosok Megawati Soekarnoputri dengan hak prerogatif.
Dengan hak prerogatif, praktis di setiap kongres PDIP tidak akan mungkin ada lawan atau pesaing untuk sekadar menjadi calon ketua umum.
Dengan keistimewaan itu, Megawati Soekarnoputri juga bisa menentukan siapa yang menjadi kepala daerah di daerah-daerah.
Selain itu, Megawati Soekarnoputri juga bisa menjadikan kandidat yang dipilihnya sebagai calon kepala negara dan wakilnya.
Hal tersebut sudah terjadi di saat dirinya mempunyai hak penuh untuk memilih Ganjar Pranowo sebagai capres dan Mahfud MD sebagai cawapres.
Sementara itu, anak kandungnya, Prananda dan Puan Maharani tidak ditunjuk untuk menempati peluang sebagai capres atau cawapres.
Meski demikian, dipastikan untuk ketua umum PDIP kelak, maka hanya kemungkinan diberikan pada sosok Puan Maharani.
Sementara itu, Gibran di sisi Jokowi bisa menjadi cawapres untuk menjadi pendamping Prabowo Subianto karena dirinya adalah berpengalaman sebagai kepala daerah meski baru setingkat wali kota di Solo.
Padahal, putusan MK hanya membolehkan di tingkat provinsi atau pernah menjadi gubernur.
Sementara di sisi lainnya, hanya tiga hakim menyetujui penambahan kata atau di pasal terkait minimal berumur 40 tahun.
Asal berpengalaman sebagai kepala daerah hanya tiga hakim termasuk pamannya Gibran, Anwar Usman yang menyetujui setingkat daerah tingkat II atau kota dan kabupaten, dua hakim setuju asal setingkat provinsi atau gubernur.
Sementara itu, empat hakim MK menolak pasal tersebut diubah.
Posisi Gibran menjadi pelik karena kasus putusan hakim MK itu digugat di Mahkamah Kehormatan (MK) MK.
Dengan demikian, jika putusan MKMK akhirnya menemukan kesalahan dan pelanggaran, ada peluang Gibran kandas dan diganti dengan pasangan lain meski dia sudah mendaftar karena KPU juga baru menerima pendaftaran capres dan cawapres.
Terlepas dari itu semua, kemungkinan besar peserta Pilpres terdiri dari tiga pasangan calon dan potensial menjadi dua putaran Pilpres karena tidak ada kandidat yang mendapatkan suara di atas 50 persen suara.
Bahkan, sebuah survei Pilpres yang dilakukan oleh PolMark milik Eep Saefullah Fatah menunjukkan masih 48 persen suara pemilih belum menentukan pilihan capres dan cawapres, sehingga hanya 52 persen suara saja yang terdistribusi untuk tiga pasangan kandidat.
Dari jumlah 52 persen suara itu masih terdistribusi pada tiga pasangan kandidat dengan selisih yang tidak terlalu ketat. ***
*) Analis Senior Pusat Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI)