Jokowi Berada Dalam Suasana Psikologis “To Kill or To Be Killed”
Oleh Asyari Usman
Jokowi sedang terdesak. Masa jabatannya tinggal satu tahun lagi. Banyak proyek ambisi pribadi yang belum tuntas. Banyak dugaan pelanggaran hukum yang mengancam diri dan keluarganya.
Publik sejak lama membicarakan dugaan korupsi yang dilakukan oleh anggota kekuarga Jokowi. Bahkan ada dugaan korupsi yang melibatkan Jokowi langsung maupun tidak langsung.
Ada lagi desakan “unfinished businesses” alias urusan yang belum tuntas. Misalnya, misi pribadi Jokowi untuk menuntaskan Ibu Kota Nusantara (IKN) masih sangat jauh. Plus berbagai proyek mercusuar lainnya yang memakan biaya sangat-sangat besar.
Desakan lainnya termasuk pohon dinasti yang belum kuat mengakar. Pohon dinasti Jokowi terancam tumbang. Batang dan akar pohon dinasti masih perlu pupuk yang terbaik. Pupuk yang terbaik itu adalah keberlanjutan kekuasaan Jokowi.
Celakanya, kekuasaan Jokowi akan segera berakhir. Dia panik. Semua orang memusuhinya. Bahkan orang-orang yang selama ini sangat loyal sebagai gerombolan penjilatnya pun menghardik.
Tapi, di tengah keterdesakan itu apakah Jokowi akan surut? Akan mundur. Tidak akan. Kalau dia punya pilihan surut pasti sudah dia lakukan sejak dulu. Jadi, jangan bermimpi Jokowi akan menyerah.
Sebaliknya, dia akan menghadapi siapa saja yang berada di depannya. Sebagai penguasa tertinggi, Jokowi memiliki segala jenis senjata untuk menghabisi lawan-lawannya.
Jokowi sadar betul bahwa lawan-lawannya pun punya senjata dahsyat untuk melumpuhkan dirinya. Ada dua senjata yang mematikan di pihak lawan. Yaitu pelanggaran konstitusi dan nepotisme oleh Jokowi serta juga dugaan korupsi.
Jokowi sudah berkali-kali melanggar konstitusi atas nama efisiensi. Dia memaksakan UU Omnibus Law yang kemudian dinyatakan inkonstitusional. Dia diduga mengendalikan Mahkamah Konstitusi —yang dijukuki publik sebagai Mahkamah Keluarga— untuk kepentingan diri dan keluarganya.
Jokowi melanggar asas dan kewajiban netral seorang presiden dalam proses pilpres. Dia melakukan cawe-cawe dengan sengaja. Bahkan menantang rakyat dengan menyatakan secara terang-terangan bahwa tidak tidak akan netral dalam pilpres. Pernyataan ini dibuktikan oleh Jokowi.
Tumpukan pelanggaran konstitusi ini memicu kemarahan publik. Macam-macam teriakan rakyat. Ada yang menyarankan agar dia dimakzulkan (impeachment) dan bahkan banyak yang menuntut agar dilakukan gerakan rakyat atau “people power”.
Semua ini akhirnya bergumpal menjadi perlawanan terhadap Jokowi. Namun dia tidak gentar meskipun sebenarnya dia dirundung ketakutan. Takut dimakzulkan, takut digulingkan, dan sangat takut kehilangan kekuasaan.
Pilpres 2024 ini adalah kesempatan terbaik bagi Jokowi untuk tetap berkuasa. Yaitu lewat tangan anaknya, Gibran Rakabuming, yang dia pasangkan dengan Prabowo. Kabarnya Prabowo tidak mau, tetapi dipaksa oleh Jokowi.
Jadi, pilpres 2024 praktis menjadi milik Jokowi. Jangan ada yang coba-coba mendekat. Jangan ada yang berani menyentuh pilpres hidup-mati ini. Ini pilpres untuk Gibran.
Jokowi sudah kokang senjata sambil bergumam: “aku atau kalian”. Dia tidak akan melepas pilpres ini kepada siapa pun. Ini pilpres Gibran.
Jokowi benar-benar terdesak. Dia sedang berada dalam suasana psikologis film-film thriller: “to kill or to be killed” —menghabisi atau akan dihabisi.[]
29 Oktober 2024
(Jurnalis Senior Freedom News)