DISKUSI DENGAN BUNG HATTA TENTANG KAPITALISME DAN KOPERASI
Oleh : Suroto
(Penulis Buku ” Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme “)
Siang ini akan jadi pertemuan hebat dengan seseorang, bertemu Bung Hatta!!!. Idola saya selama ini. Awalnya dari acara seminar tentang sistem ekonomi di Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dua minggu lalu. Bung Hatta kebetulan jadi salah satu pematerinya. Saya hanya menyimak di bangku belakang sebagai peserta.
Bung Hatta terlihat berjalan pelan menuju podium menyampaikan materi seminar. Usianya sudah lanjut tapi suaranya masih terdengar jelas dan tegas. Gaya bicaranya terdengar berat dan mantap. Soal isi tidak usah ditanyakan lagi. Sudah pasti mendalam dengan pembicaraan thema berat.
Begitu sesi seminar selesai dan mau keluar ruangan didampingi Ketua MPR dan Sekjend, saya langsung nyelonong ketemu dan menyalaminya. Lalu saya tunjukkan wajah antusias untuk membuka pembicaraan soal isi seminar. Bung Hatta terlihat antusias dan menatap saya dengan tajam. Lalu berikan saya kartu nama dan minta saya bertelepon.
Itu dua minggu lalu, sekarang ini saya benar benar akan bertemu langsung sendirian di kediamanya di Jalan Pegangsaan Timur 56. Rasanya sangat kikuk seperti fans akan bertemu idola.
” Selamat siang Bung Hatta, apakabar? “, sapa saya ketika diantar ketemu beliau oleh putrinya Halida Hatta ke ruang kerjanya.
” Halo Bung Suroto, kesini masuk, kita ngobrol disini saja”.
Langkah kaki saya gemeteran masuk ke ruanganya. Ruang kerja yang tidak terlalu luas. Namun terasa sangat magis penuh wibawa. Ruangan 3 kali 5 meter itu diisi penuh satu meja kerja dan rak rak yang penuh buku. Tapi yang agak aneh adalah asbak di meja kerja. Ada asbak. Saya pikir selama ini Bung Hatta tidak merokok.
” Anda merokok?”, tanyanya.
” Ehmm…iya”, jawab saya malu malu.
” Silahkan merokok kalau mau merokok, tapi saya tidak merokok”, jawabnya.
Saya kira Bung Hatta tidak merokok memang, tapi asbak kayu yang besar itu ternyata memang disediakan untuk tamu tamunya.
Bung Hatta terlihat sangat tenang duduk di kursi kerjanya. Dia terlihat rileks dan sangat sehat.
” Bagaimana kabar anda? saya dengar anda ini aktif kembangkan koperasi ya?. Bagaimana perkembangan koperasinya?” , tanya Bung Hatta.
Saya sangat kaget, ternyata Bung Hatta sudah mengetahui latar belakang saya soal keaktifan saya kembangkan koperasi. Bahagia sekali rasanya bisa melaporkan perkembangan koperasi saya kepadanya.
” Ehmm…ya semua berjalan lancar Bung. Masih kecil, baru mulai. Belum dapat dikatakan berhasil karena masih berproses”, jawabku.
” Tidak usah gusar, membangun koperasi itu memang harus dimulai dari hal hal sederhana dan aktifitas kecil kecilan. Asal cita citanya jangan dikerdilkan. Sebab koperasi itu memang harus dibangun dengan kesadaran penuh dari anggotanya. Dibangun dari kesadaran anghgotanya. Pendek kata dapat dikatakan bahwa koperasi itu adalah sebuah institusi pendidikan penting bagi rakyat. Bagaimana rakyat agar isyaf bahwa dialah yang pemegang kedaulatan atas negara ini, bukan dinasti atau yang lain. Agar suatu kedaulatan rakyat itu dapat diraih senyatanya ya melalui gerakan koperasi sejati seperti itu”, kata Bung Hatta.
Perkataanya seperti yang saya duga sebelumnya. Akan selalu bicara substansi dan penuh filosofi yang berat.
Bung Hatta sembari membolak balik satu buku tebal di mejanya. Buku itu seperti buku lama. Hard covernya terlihat sudah lusuh, tebal dan terlapisi kain. Seperti buku buku lama yang sering saya temukan di pasar Beringharjo, Jogja, ketika masih kuliah dulu.
” Suroto, lihatlah ini. Ini buku ditulis oleh Peter Warbasse, tokoh koperasi dari Amerika Serikat dan memimpin organisasi gerakan koperasi disana. Judulnya demokrasi koperasi. Peter mengatakan bahwa perubahan yang dilakukan koperasi itu dimulai dengan cara sederhana, dimulai dari kecil dan kemudian baru setelah memiliki prasyarat kuat lalu dieskalasi dan buat sebuah perubahan riil, fundamental”, kata Bung Hatta.
Saya mencoba memahaminya dengan baik. Di otak saya yang tidak memiliki kecepatan mencerna sesuatu dengan cepat ini harus diimbangi dengan mengeryitkan kening.
“Koperasi itu memang harus dibangun dari prakarsa masyarakat. Dimulai dengan menjawab kebutuhan kebutuhan riil namun diletakkan dalam satu cita cita yang tinggi, ciptakan sistem yang berkeadilan. Kualiteit itu juga lebih penting daripada kuantitiet”, tambah Bung Hatta.
Dalam hati saya setuju dengan Bung Hatta. Dulu sekali, waktu masih baru baru masuk kuliah, segala perubahan itu menurutku harus disegerakan. Keadilan harus didesakkan dengan cepat dan kekuasaan yang autokratif harus segera dijatuhkan dan digantikan dengan prmimpin yang baru. Perubahan itu harus revolusioner…harus disegerakan…pemimpin pemimpinnya harus segera dijatuhkan dan digantikan. Emosiku meledak ledak memang pada waktu itu. Tapi saya tidak setuju semua itu sekarang. Perubahan yang fundamental itu tidak bisa dilakukan dengan tiba tiba.
Perkataan Bung Hatta sangat saya pahami. Bahwa perubahan yang fundamental, hal hal yang mendasar itu memang tidak bisa dilakukan dengan tiba tiba. Perubahan ke arah hal yang baik itu juga dipersyarakatan perlunya pikiran dan orang orang yang baik. Hal ini tidak dapat terjadi secara sekonyong konyong.
” Bung Suroto, koperasi itu walaupun cita citanya sama dengan para revolusioner, tapi musti dilakukan dengan cara cara yang evolusioner. Pendek kata dapat saya katakan revolusi dengan huruf r kecil”, Bung Hatta kembali membuat dahiku bertambah menumpuk jadi dua.
” Koperasi itu lawan tanding kapitalisme secara fundamental. Tempatkan peranan daripada manusia itu lebih tinggi daripada kuasa berdasakan kapital”, kata beliau menambahkan.
Bung Hatta kemudian tiba tiba terlihat berdiri, membuka jendela ruangan. Saya buru buru mematikan rokok yang sudah mengepul terus dari mulut. Malu juga rasanya. Orang besar ini semakin menujukkan padaku wibawanya yang besar. Perasaan toleransinya sangat besar kepada orang lain.
” Bung Hatta, mohon penjelasanya kenapa koperasi itu dikatakan sebagai lawan tanding kapitalisme secara fundamental? “, tanyaku penuh antusias.
Bung Hatta kembali ke tempat duduknya. Lalu menghela nafas dalam dalam. Mungkin sedang pikirkan cara yang tepat untuk menjelaskan kepada anak yang masih ingusan ini.
” Begini Bung Suroto, koperasi itu dari sejak mula pertama dikembangkan sebagai organisasi modern yang dideklarasikan oleh para buruh itu semangatnya adalah untuk menciptakan suatu pengakuan atas persamaan derajat manusia. Anda tahu, koperasi itu bukan hanyalah suatu cara untuk mendapatkan nilai suatu manfaat ekonomi, tapi pokok daripada tujuannya yang utama itu adalah bagaimana meletakkan kesetaraan dari setiap orang untuk dapat turut mengambil keputusan dan membangun jiwa manusia yang merdeka dan berkeinsyafan penuh”, jelasnya.
Kernyitan keningku semakin terasa menebal. Harus menambah lebih banyak fokus. Mungkin Bung Hatta mempersilahkan saya dari awal untuk merokok sudah ada maksud, orang orang yang sudah kecanduan rokok akan sulit berkonsentrasi ketika bahas hal hal serius.
” Ehmm…begini Bung Suroto, kenapa koperasi itu saya sebut sebagai lawan tanding kapitalisme secara fundamental karena sistem kapitalisme yang letakkan peranan daripada modal sebagai dasar penentu utama keputusan ekonomi, penentu keputusan menyangkut urusan mati hidupnya rakyat sehati hati. Hal ini berbeda dengan koperasi yang akui kesetaraan manusia dalam tentukan keputusan ekonomi”, jelas Bung Hatta.
” Oh berarti kenapa proses pengambilan keputusan di koperasi itu menganut pemberian hak suara yang sama bagi setiap orang itu maksudnya untuk terjemahkan hal tersebut ya Bung? “, tanyaku menimpali.
” Benar, jadi substansinya bukan pada soal keputusanya, tapi bagaimana sebuah keputusan itu dilaksanakan dengan dasar cara yang benar. Itu kenapa saya kemarin tegaskan dalam seminar yang lalu tentang makna demokrasi itu sesungguhnya. Bahwa demokrasi kita itu adalah demokrasi cap rakyat, bukan cap ningkrat atau cap intelektuil. Suara rakyat itu harus sungguh sungguh termanifestasikan dalam keseharian. Untuk itu kenapa organisasi koperasi itu sangat penting. Demokrasi yang berkedaulatan rakyat itu harus mampu menghubungkan soal keputusan keputusan penting yang berdampak pada nasib rakyat banyak dengan keputusan politik kenegaraan. Itulah makna dari undang undang dasar 1945 itu sesungguhnya. Itu kenapa perkataan koperasi itu disebut dalam dua penjelasan, yaitu di pasal 2 dan pasal 33,” jelasnya lebih jauh.
Pikiran saya berkejar kejaran dengan perkataan Bung Hatta yang terasa berat untuk lagi lagi saya cerna. Tapi saya bisa pahami kenapa Bung Hatta juga katakan bahwa demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi itu hanya akan lahirkan suatu sistem autokrasi. Ya…seperti sekarang ini, autokrasi itu mungkin maksudnya demokrasi yang dirampok oleh oligarki. Bahkan mulai mengarah ke arah kuasa dinasti dimana mana. Di daerah bahkan di tingkat nasional..
” Bung Hatta, lalu bagaimana caranya membangun demokrasi itu sesungguhnya? orang sering mensyaratkan bahwa demokrasi politik dilaksanakan dulu baru demokrasi ekonomi dapat dikembangkan”, tanya saya.
” Begini, orang yang terbius oleh pikirannya yang salah maka mereka itu akan hasilkan tindakan yang salah. Demokrasi politik itu dapat disusun dalam dasar masyarakat yang setara kedudukannya, sebagai suadara, bratherhood kata Bung Sri Edi Swasono. Sebab kalau tidak sudah pastilah kuasa itu jatuh ke tangan orang seorang” jawabnya.
Lagi lagi saya mengeryitkan kening. Tapi saya berusaha menangkap apa maknanya. Mungkin yang dimaksud adalah sistem demokrasi politik ala Anglo Amerika yang dipraktekkan di Indonesia saat ini. Adalah demokrasi politik yang minus demokrasi ekonomi. Demokrasi yang berubah jadi demokrasi voting, demokrasi prosedural, demokrasi yang minus substansi.
” Berarti demokrasi politik itu intinya dapat diraih jika sistem demokrasi ekonomi itu dapat dijalankan secara pararel ya Bung?”.
” Betul. Jadi itu kenapa kelembagaan koperasi itu sangat penting. Sebab koperasi itu mendorong agar sistem pengambilan keputusan ekonomi, menyangkut keputusan kepentingan keseharian masyarakat itu dilaksanakan dengan hak setara setiap orang sama. Bukan ditentukan oleh segelintir orang. Koperasi juga kan bisa dijalankan oleh rakyat tanpa harus menunggu komando. Kalau berkembang pesat maka koperasi anda itu juga akan mampu mendorong perubahan politkk”, jawab Bung Hatta singkat dan tegas.
” Oh baik Bung. Itu maknanya. Kenapa koperasi itu anda sematkan di Undang Undang Dasar 1945 sebagai hal penting”, jawab saya menegaskan.
” Ya, dan dalam makna yang lebih luas itu kenapa saya letakkan perkataan perekenomian itu disusun…disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan…dan yang saya maksud asas kekeluargaan itu ialah koperasi”, tegas Bung Hatta.
Pikiranku melayang layang ke apa yang ditulis oleh Jhon Rawl, dia katakan bahwa suatu sistem yang adil itu harus disusun supaya menjadi adil. Rupanya ketemu relevansinya secara epistemologis disitu dengan pandangan Bung Hatta. Dalam hatiku Bung Hatta ini memang luar biasa. Bukan ahli ekonomi biasa tapi sudah seorang filsuf memang.
Saya sudah hentikan merokok sejak Bung Hatta buka jendela. Tapi segelas kopi di meja membuat pikiranku menjadi lebih tenang untuk mencerna kalimat kalimat Bung Hatta yang samgat mendalam.
—
” Kringgggg……….kringggg…….tiba tiba suara jam beker di flatku berbunyi sangat keras. Saya langsung tersadar. Ini jam 4.30 pagi hari. Saya ternyata hanya mimpi. Perlahan turun dari tempat tidur. Setelah membasuh muka saya buat teh dan sembari duduk di kursi saya coba renungi semua mimpi ketemu Bung Hatta. Sebuah mimpi yang ternyata isinya jauh dari realita praktek banal, praktek brutal demokrasi kita hari ini. Huft!
Jakarta, 3 Oktober 2023