REVOLUSI KEMBALI MENJADI BANGSA INDONESIA 

19

REVOLUSI KEMBALI MENJADI BANGSA INDONESIA 

Sebuah Catatan Metafisika ( Bagian pertama dari 3 tulisan )
Oleh : Habib Jansen Boediantono / Penasehat Front Pergerakan Nasional

Apabila sekonyong – konyong ada yang bertanya tentang bangsa, apakah yang berkelebat dibenak kita ?? Dua tanda tanya tersebut memberikan peluang pada dua jawaban yang terlintas dipikiran. Pertama, menunjuk pada kelompok manusia yang mendiami sebuah tempat tertentu dengan ciri – ciri khas tersendiri, sedangkan kedua melukiskan adanya tujuan yang terdapat pada kelompok tersebut. Maka ditengah hiruk pikuk persoalan – persoalan yang menyerang dari segala arah, skala dan kompleksitas kerumitan pemecahan jangka panjang untuk menjaga kelangsungan hidup bangsa Indonesia ditanah kelahirannya semakin sulit diabaikan. Bisa dikatakan sebuah kemustahilan bila kita ingin membuat jalan setapak menembus bayang – bayang suram masa depan bangsa tanpa memperhitungkan keragaman budaya, prespektif teologi, filsafat sampai pada unsur mesianis untuk kemudian menata kembali hubungan bangsa dan negara dalam kaitannya dengan Tuhan, alam maupun manusia itu sendiri.

Catatan ini merupakan upaya penyelamatan bangsa Indonesia ditanah kelahirannya dengan membuka tabir ‘ kasyf al-mahjub ’, melihat hal – hal yang luput dari perhatian banyak orang, yang terdapat dibalik sesuatu yang tampak, keluar dari dunia empiris dan bergerak terus mencari kebijaksanaan dengan cara inovatif, reflektif dan revolusioner. Dengan demikian yang ditawarkan sebuah ‘ada dalam kemungkinan’, yaitu sesuatu yang dalam realitas belum ada tapi secara potensial dapat diwujudkan. Agar ada dalam kemungkinan benar – benar bisa terwujud, metafisika kebangsaan akan mengikuti prinsip – prinsip keteraturan semesta untuk mengantarkan perjalanan bangsa indonesia selamat sampai tujuan. Pola berpikir deduktif ini memberi isyarat adanya Kebenaran relatif yang didekatkan pada kebenaran absolut sehingga diharapkan menghasilkan pemikiran kebangsaan yang pasti, tetap dan dapat diterima semua pihak

Bangsa sebagai kumpulan manusia – demikian Suhrawardi al-Maqtul menyimpulkan – baik jasad maupun ruhnya merupakan produk dari proses illuminasi Tuhan yang disebut sebagai isyraq. Paham isyraq ini menyatakan bahwa alam berwujud melalui penyinaran illuminasi. Kemudian menurutnya kosmos terdiri dari susunan bertingkat – tingkat berupa pancaran cahaya. Cahaya tertinggi sebagai sumber segala cahaya atau Nur al-Anwar. Dia adalah Tuhan yang azali. Manusia berasal dari nur al-anwar yang mewujud melalui pancaran cahaya dengan proses yang relatif sama dengan pelimpahan ( emanasi ). Oleh karena itu antara Tuhan dengan Manusia memiliki relasi ontologis substanstif yang bersifat dialektik. Ada hubungan dari atas kebawah ( proses tanazzul ) dan dari bawah keatas ( proses taraqi ) untuk kembali pada ‘sangkan paraning dhumadi’. Implikasi teologis dari paham ini adalah, perjalanan bangsa sesungguhnya adalah pergerakan dari nol kembali kepada nol sebagai bentuk keseimbangan dan pemaknaan hidup sebuah bangsa adalah nilai yang yang lahir dari pergerakan angka satu sampai sembilan sebagai bentuk kesempurnaan. Keseimbangan dan kesempurnaan merupakan kesadaran mengikuti hukum – hukum kesemestaan seperti yang ditetapkan allah sebagai sunatullah, agar mengenal diri sendiri. Dan dengan mengenal diri sendiri, sebuah bangsa akan mengenal penciptanya sebagai sumber dari segala macam sumber cahaya

Keseimbangan dan kesempurnaan ini akan saya bagi dalam empat ruang yang berjalan mengikuti hukum – hukum kesemestaan dengan berputar melawan arah jarum jam ( gerakkan thawaf ). Ruang I proses kelahiran bangsa, Ruang II Lumbung / sehat jasmani dan rohani, Ruang III negara, Ruang IV kapital / masyarakat adil dan sejahtera

REVOLUSI KEMBALI MENJADI BANGSA INDONESIA AGAR TAK TERPERANGKAP DALAM KEADAAN ‘MERUGI’

Perasaan senasib akibat penindasan yang dialami dan keinginan untuk hidup lebih baik dimasa depan inilah yang mendorong kaum terjajah, pada tanggal 28 oktober 1928 menyatakan dirinya sebagai Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia pun lahir setelah sebelumnya dihinakan dan dibuat frustasi oleh dominasi kolonial dengan satu tujuan “ mengangkat harkat dan martabat KAUM PRIBUMI “. Inilah Ruang I proses kelahiran bangsa indonesia.

Persoalan pun muncul, setelah bangsa ini lahir ternyata tak pernah membangun lumbung yang merupakan kearifan budaya dan koherensi manusia dengan alam, sekaligus merefleksikan kedaulatan rakyat dalam membangun diri dan lingkungan, tetapi langsung mendirikan negara. Terjadi loncatan yang menyimpang dimana ruang I langsung menuju Ruang III. Akibatnya, negara tidak tegak berdiri diatas kedaulatan rakyat dan dibangun berdasarkan nafsu kekuasaan belaka. Inilah awal penyimpangan bangsa indonesia untuk pertama kali dalam perjalanan sejarah : negara yang dibentuk tidak dapat menjadi organisasi yang mengimplementasikan nilai – nilai kebijaksanaan sebuah bangsa sebagai suatu sistem nilai tetap dan terintegrasi, yang mampu mendorong adanya etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

KAUM PRIBUMI sengaja ditulis dengan huruf besar karena istilah tersebut menunjukan sarkasme sebuah bangsa akibat penyimpangan loncatan diatas, yang kemudian secara psikologis melahirkan keinginan penguasaan atas tanah tempat manusia hidup serta menciptakan sifat eksploitatif pada sumber – sumber kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Akibatnya, istilah kaum pribumi ini membuat diskrepansi antara keinginan mengangkat harkat martabat hidup dengan ketidak adilan dan ketidak sejahteraan dari adanya sifat eksploitatif dan manipulatif dalam ‘penguasaan hak atas tanah’.

Kondisi ini bertambah parah dengan adanya pergantian dari UUD’45 menjadi konstitusi RIS, kemudian berlanjut menjadi UUDS 50 yang akhirnya berganti nama menjadi ‘ Amandemen UUD’45 ‘. UUD’45 yang dibangun dari filsafat, budaya dan spritualitas bangsa digantikan oleh konstitusi yang berisi semangat kapitalisme. Bangsa indonesia pun masuk dalam jaring – jaring kapitalisme yang serba materi dengan lingkaran setan kebutuhan untuk membutuhkan. Negara direduksi sedemikian rupa sehingga terjebak dalam drainase kapitalisme untuk menguasai sumber daya alam yang ada. Dan elit politik berubah menjadi ‘ leviathan ‘ dengan kekuasaan begitu besar sehingga memiliki wewenang menentukan hukum – hukumnya sendiri. Kapitalisme yang melahirkan sikap hidup serba materialistis, kompetitif , pragmatis yang dilengkapi dengan kerakusan, tentu saja berseberangan jalan dengan sifat asli bangsa indonesia yang welas asih, nrimo ing pandum, sepi ing pamrih meski rame ing gawe juga. Jadilah Indonesia sebuah bangsa yang asing dengan dirinya sendiri. Kelihatannya aneh dan lucu, di ruang III antara bangsa indonesia dengan negara berdiri berhadapan sambil masing – masing pihak memalingkan muka. Perjalanan bangsa pun stagnan karena negara tak mampu menjadi jembatan yang mampu mengantarkan bangsa indonesia pada masyarakat adil dan sejahtera.

Suatu penilaian lain yang dramatis dalam ruang III mengenai negara indonesia dengan kapitalisme sebagai kiblatnya, menampilkan banyak wajah yang tidak sesuai dengan gambaran budaya bangsa indonesia itu sendiri. Dalam konteks uraian hegemoni kapitalis terjadilah situasi yang manipulatif, keadilan berarti ketidaksamaan, akal berarti pemenuhan kepentingan pribadi, kemerdekaan berati keserakahan. Impian tentang masyarakat yang ‘ gemah ripah loh jinawi ‘ meskipun masuk akal untuk diwujudkan, sayangnya tidak dapat menjadi tujuan ideologis negara dan hanya menjadi sekedar retorika belaka. Kondisi ini menjadi semakin parah dengan adanya praktek – praktek kapitalisme yang direstui negara untuk menerapkan ukuran – ukuran ‘ demi kemanusiaan ‘, bersandiwara seolah – olah mematahkan ujung pisau tajam persaingan bebas agar bisa menjadi topeng yang menyembunyikan wajah buruk mereka dari bangsa indonesia.

Dari perjalanan bangsa yang terjadi dari mulai lahir sampai saat ini, dari ruang I sampai ruang lainnya, kita melihat bangsa indonesia mengalami ketidak keseimbangan karena tidak ada ekuivalensi antara keinginan untuk mengangkat harkat dan martabat dengan keadilan dan kesejahteraan dalam realitasnya. Disamping itu, bangsa ini pun mengalami ketidak sempurnaan karena bergerak hanya diwilayah materi, mengabaikan sumber – sumber rohani dalam memberikan makna hidupnya. Bangsa ini telah mengalami ketidak seimbangan dan ketidak sempurnaan, maka “ demi waktu “, sesungguhnya bangsa indonesia dalam keadaan merugi bila situasi dan kondisi ini diteruskan “

Situasi dan kondisi inilah yang melahirkan sebuah gerakan baru pada segelintir anak – anak bangsa untuk menggali sumber – sumber pemikiran yang ada pada tradisi, filsafat dan religiuisitas bangsa indonesia sebagai upaya menjaga keberlangsungan hidup bangsa indonesia dalam sebuah tema “ Revolusi Kembali Menjadi Bangsa Indonesia “.

Bentuk khas gerakan ini adalah kesadaran untuk menggali secara mendalam akar budaya pada ruang konkret yang menjadi simbol suatu cara pemahaman, pola berpikir yang bergerak mengikuti hukum – hukum kesemestaan, cara hidup serta pandangan dunia yang filantrofis. Gerakan ini merujuk pada akar budaya untuk mendapat pengetahuan tentang potensi manusia dan kekuatan alam dimana manusia hidup, bahkan batas antara manusia dengan alam seringkali menjadi samar karena adanya timbal balik dan saling menerima budaya dan alam yang merangsang keinginan untuk menata kembali cara berpikir, bertindak , termasuk pola – pola hidup yang biasa dilakukan

Aspek lain tak kalah penting pada gerakan ini adalah kesadaran pada keharmonisan didalam interaksi sosial, keselarasan dalam keragaman tradisi, persaudaraan ditengah begitu banyak perbedaan, sehingga ikatan – ikatan primodial terjalin sebagai konstiitutif dari keberadaan sebuah bangsa Ini merupakan upaya menunjukan karakteristik asli bangsa Indonesia : sikap hormat pada yang transenden, bukan kepemilikan atas alam dalam pandangan dunia. Kesetiakawanan sosial dalam jalinan komunikasi dialogis, bukan persaingan dalam hubungan antar manusia. Pengenalan jatidiri, bukan keterasingan dalam pengalaman hidupnya. Bila kemajuan material yang menjadi tujuan negara telah merusak karakteristik bangsa Indonesia mulai dipertanyakan, kesadaran untuk kembali menjadi bangsa indonesia dapat menjadi angin segar yang membawa harapan baru bagi bangsa Indonesia menyelamatkan diri dari keadaannya yang merugi

Bersambung