Kurusetra
By Eko S Dananjaya.
(Penulis adalah Aktivis mahasiswa 80 an,
Penasehat pada relawan AB Ningrat Yogyakarta Dan penasehat pada FPN: Front Pergerakan Nasional Jakarta. Anies Muhaimin for Presiden.)
Dalam cerita wayang, Kurusetra adalah tempat pertempuran antara kelompok Pandawa dengan bani Kurawa. Sebagaimana orang Jawa pahami, bahwa Pandawa dan Kurawa itu ibarat kutub utara dengan kutub selatan. Ada sekat atau pembeda yang menjelaskan sifat baik atau buruk.
Sifat baik atau buruk menjadi pelajaran dan tolok ukur pada manusia untuk menentukan adab atau etika. Sedang logika menerangkan pada manusia yang berkait dengan pikiran. Logika digunakan sebagai pisau analisis yang tidak akan dapat dipisahkan dalam proses mencari sebuah kebenaran atau kesahihan. https://www.gramedia.com>logika.
Sejak awal kita paham sebagaimana orang yang sudah dewasa, tentu dapat membedakan perbuatan baik atau tercela. Tak hanya pada cerita manusia saja. Demikian halnya terjadi pula pada cerita dalam dunia pewayangan. Kita kenal kelompok wangsa Pandawa dan bani Kurawa.
Wangsa Pandawa berdiri pada posisi yang sudah pakem. Diletakan atau di jejer disebelah kanan dalang. Sebaliknya bani Kurawa, di jejer dan berbaris berada di posisi kiri dalang. Wangsa Pandawa berciri memiliki wajah yang menarik. Wajah dengan ekspresi menyenangkan, menyejukan, tidak membosankan, tidak menyebalkan, tidak menyeramkan. Boleh dikata, wangsa Pandawa memiliki jiwa yang damai, sejuk dan mengayomi.
Sebaliknya bani Kurawa diilustrasikan memiliki wajah yang seram, menakutkan, culas, licik, fitnah, bengis, suka berpura- pura, dan pandai menipu. Tak satupun wajah bani Kurawa itu mensifatkan kebaikan. Epos antara Pandawa dengan Kurawa dalam konteks kehidupan nyata manusia, di kemas dalam bentuk cerita cinta serta kepahlawanan. Wiracarita yang di petik dari filosofi epik seperti cerita Ramayana, Mahabarata, illiad, Odysseus dan Penelope, lha canson de Roland, La Galigo, Hikayat Hangtuah dll. (Wikipedia). Itu semua berdasar cerita tentang kesetiaan, idealis serta kepahlawanan.
Demikian pula dalam kehidupan manusia. Tidak dapat dipisahkan dengan epos tentang kesetian dan cerita heroisme. Karena itu, isi kehidupan manusia adalah cerita atau dongeng tentang apa yang sedang ia jalani. Dongeng akan kesetiaan atau pengkhianatan. Dongeng kesetiaan Odysseilus kepada Penelope dengan penuh perjuangan hidup mereka. Demikian pula kesetiaan atau cerita Hangtuah yang berani melawan kejahatan dan kemunafikan. Atau Rama Sinta dengan Rahwana yang licik sekaligus culas dan penuh tipu daya. Dari isi cerita bermuat pada peradaban maupun perjalanan sejarah. Sejarah manusia merupakan produk aktifitas yang selalu mengandung siasat. Yang lahir dari sebuah karakter yang terus menerus berproses sesuai tingkat kenalarannya dan kebudayaannya. Kita percaya bahwa manusia itu sudah diprinted oleh yang Maha Agung pemilik jagad raya Sang Hyang Widhi. Demikian proses hidup, terus menerus memproduksi sejarah cerita pada manusia. Dan sejarah akan selalu berjalan kemudian berlalu. Sejarah lama akan ditinggalkan, sedang sejarah baru akan hadir sebagai peradaban yang sedang dijalani. Itulah kontinuitas. Baik dalam kehidupan rumah tangga, bercinta, bernegara , berkuasa. Setiap manusia akan mendapat giliran, apakah akan menjadi subyek atau obyek dalam sejarah. Dan pada gilirannya akan tergantung pada senyawa dan energi seseorang yang berada di badan serta pikirannya. Demikian pula dalam simbiosis cerita pada Wayang.
Bahwa hidup sejatinya menggambarkan hitam putih. Disubyekan sebagai kelas atas, menengah atau bawah. Disinilah manusia di hadapkan pada sekat sosial dalam hidupnya. Demikian pula alur cerita yang terdapat di lakon pewayangan. Mereka adalah para antonim yang mengandung unsur perbedaan kelas sosial maupun kepentingan. Kelas sosial yang diperebutkan oleh wangsa Pandawa dengan bani Kurawa itu senyatanya kekuasaan. Yakni batas- batas etika kekuasaan. Hukum dan aturan main ketatanegaraan. Wangsa Pandawa akan turun gunung manakala kekuasaan diselewengkan. Kekuasaan di korupsi oleh bani Kurawa. Dengan berlawanan kepentingan tersebut maka kedua belah pihak kerap kali terjadi keributan. Keributan muncul karena terjadi perbedaan persepsi antara kedua belah pihak. Benar menurut kurawa belum tentu benar menurut Pandawa. Karena benar dalam terjemahan wangsa Pandawa itu adalah hakiki. Benar menurut kaidah hukum yang sudah disepakati bersama sebagai state regulations. Sesuatu yang bersifat kebenaran tidak dapat dibelokan atau di rekayasa. Sedang bani Kurawa merasa dirinya selalu benar walau sebenarnya salah. Dan salah pun masih saja di carikan dalil- dalil hukumnya untuk pembenaran. Sehingga sesuatu yang mengandung kebenaran bisa dibuatnya salah. Hukum menjadi kacau balau. Karena sifat bani Kurawa itu merasa dirinya benar. Disinilah kemudian memunculkan amuk masa dan memancing Pandawa untuk mrantasi atau menyelesaikan dengan cara perwira dan satria. Dari sinilah maka terjadi adu argumen sehingga dapat melibatkan satu marga bertengkar seadanya- adanya. Kurawa sering memanipulasi hukum dan aturan main.
Dalam perang tanding. Wayang Pandawa selalu menang di akhir cerita. Itu sudah menjadi pakem lakon yang secara alami terjadi dalam kasunyatan. Bagi orang Jawa, perang tanding akan menjadi sasmita dalam melihat kosmologi hidup. Sebab dalam kocap kacarita, orang Jawa memerlukan waktu untuk menyusun siasat. Dengan gelagat perhitungan serta penjajakan taktik strategi untuk melumpuhkan lawan. Orang Jawa yang memiliki kedigdayaan ( kekuasaan ) terkadang menafikan unsur aturan main. Dia lupa bahwa kekuasaan yang ia pegang itu justru akan menghancurkan dan mengelincirkannya. Karena dirinya merasa kuasa dengan penuh confident digdaya dalam segalanya.
Oleh sebab itu, tingkah laku kekuasaan orang Jawa terkadang sulit untuk di epistemologikan dengan pendekatan teori moderen. Sebab pakem- nya kekuasaan Jawa itu berbeda. Penguasa Jawa memiliki unsur yang bersifat liat, ulet, halus, terselubung, mengecoh, menjebak, dan tentu saja unpredictable politic.
Dalam realitas penguasa Jawa, dapat kita lihat dari satu persatu sosok yang ada di dalam cerita pewayangan. Kedigdayaan orang Jawa, khususnya yang memiliki kekuasaan, ia tidak akan lepas dan jauh dari perilaku wayang.
Sejak adanya budaya Wayang. Manusia Jawa mengalami formasi transenden yang tidak dimiliki oleh suku- suku di Nusantara. Orang Jawa yang belum pernah asimilasi dengan orang di luar suku Jawa. Sifat- sifatnya ada dalam cerita wayang itu. Transformasi kebudayaan pada kekuasaan suku Jawa secara harfiah akan dapat dirasakan oleh manusia Jawa itu sendiri. Karena itu sering pada umumnya orang tidak paham akan sejarah bahwa wayang diciptakan khusus hanya untuk orang Jawa. Dengan kuncian- kuncian dan penuh liku dalam kesadaran hidup manusia. Orang Jawalah yang hanya bisa merasakan secara metamor.
Cerita tentang Wayang dan orang Jawa hanya dapat di pahami oleh segelintir orang yang benar-benar memiliki kultur dan rasa. Dengan demikian untuk membedah problematika sosial dan kehidupan manusia, orang jawa kadang memakai pendekatan filosofi Wayang. Itu sebab gonjang ganjing situasi seperti saat ini tidak lepas dari pertengkaran di medan Kurusetra sebagai perhelatan antara Pandawa dengan Kurawa, demikian biasanya. Tapi uniknya sekarang ini, Kurusetra justru dijadikan medan perlawanan antara bani Kurawa itu sendiri.
Ini sebuah fenomena dimana bani Kurawa saking serakahnya pada kekuasaan. Diantara mereka timbul rasa iri, dengki dan saling mengumpat, kemudian diantaranya saling berkhianat. Bongkar membongkar aib. Saling melaporkan dan tuding terlibat korupsi. Saling menjegal dan saling mengerahkan bani buzer. Akibatnya dunia menjadi awut- awutan, menjadi gelap diantaranya menjadi bengis karena saling berebut sumber daya negara. Pesta kekuasaan inginya dijalankan terus menerus akibat ketamakan diri. Hidupnya tidak akan pernah puas walau gunung emas telah di kuras untuk ditimbun sebagai harta karunnya. Karena bani Kurawa sejatinya tidak pernah mengenal kedamaian apalagi ketentraman dalam mengenggam kekuasaan. Padang kurusetra akan menjadi damai dan hidup selayaknya manakala para Pandawa turun dari singgasana untuk melawan bani Kurawa yang dipimpin oleh Dursasana di negri Banjarjungut. Wangsa Pandawa akan menyelesaikan tugasnya di negri yang terasa sumuk dan gaduh sepanjang hari akibat kerakusan pemimpin yang menyerupai sifat Dursasana. Maka rakyat yang terlanjur hanyut oleh ilusi yang selama ini disirep oleh kaum Kurawa. Kini dengan semangat atas kesadarannya rakyat Astinapura ikut partisipasi untuk mengalahkan Dursasana yang despostisme, sebagai salah satu Raja yang lalim, dolim dan tak beradab. Rakyat Astinapura rupanya mendambakan perubahan. karena selama ini negri banyak diisi oleh Kurawa dan rupanya rakyat rindu akan hadirnya kehidupan yang lebih baik. Negri akan menjadi baik, damai, tentram tentu saja negri yang dicita-citakan banyak orang. Yakni negri yang gemah ripah loh jinawi. Bukan negri yang pemimpinya menebar janji dan ilusi.