Perang Tanding
By Eko S Dananjaya
Penulis Aktivis dan Mahasiwa Angkatan 80
Membedah politik dengan perspektif pewayangan tampak lebih koheren dan mendekati kesempurnaan. Filosofi masyarakat Jawa dalam berkebudayaan dan berpolitik, sulit untuk dapat diprediksi oleh kawan maupun lawan. Orang Jawa memiliki kultur politik elastis, mulur mengkret, oportunistik, liat dan susah di tebak dengan nalar.
Soeharto misalnya. Ia tidak disangka dapat meyingkirkan Soekarno. Dan kemudian dirinya menjadi Presiden. Sejarah kehidupan Soeharto sejak kecil tidak banyak orang tahu. Orang baru kenal Soeharto ketika dirinya mendapat mandat surat sebelas maret dari Soekarno. Dibarengi Soeharto berhasil menumpas Partai Komunis Indonesia ( PKI ) peristiwa 1965.
Dengan taktik dan strategi keamanan yang dijalankan Soeharto, yang kemudian menjadikannya sebagai Presiden ke dua Republik Indonesia. Saat dalam dinas kemiliteran, Soeharto tidak masuk radar lingkar kekuasaan. Namun demikian, ada faktor x yang tidak semua orang bisa memprediksi, bahwa Soeharto itu punya kemampuan menjadi pemimpin negara.
Demikian pula Joko Widodo. Dia menjadi Presiden berawal ketika ia menjadi kepala daerah di kota Solo. Sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang tidak banyak tantangan dan dinamika dalam menata kota Solo. Tapi mengapa Jokowi kemudian dapat lepas landas menuju Istana Negara ?
Lagi-lagi Jokowi memiliki faktor x ( keberuntungan), yang tidak dipunyai oleh orang kebanyakan.
Habibie, Gusdur, Megawati adalah tokoh transisi yang dihadapkan pada dinamika dan perubahan sosial yang sangat keras. Sedang Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY ) menjadi kepala Negara karena suasana transisi sudah reda, dianggap cukup oleh masyarakat dalam menjalani masa reformasi. Masyarakat kemudian membutuhkan pembangunan yang baik dan stabilitas politik. Walau di akhir kekuasaan, SBY dihadapkan pada persoalan pelik . Korupsi jumbo di internal partai Demokrat, kasus Bank century, dan SBY meninggalkan proyek mangkrak. Yang endingnya ketua partai Demokrat dan jajarannya di penjara karena skandal korupsi proyek Hambalang dll.
Perubahan politik dari Soeharto ke Habibie adalah jembatan menuju demokratisasi. Perubahan kultur dalam bernegara, sistem hukum ketatanegaraan di era Habibie sedikit banyak berubah. Kekuasaan yang tadinya di era Soeharto otoriter, ketika Habibie menggantikan berubah menjadi negara demokrasi. Presiden Habibie diakui sebagai peletak dasar demokrasi pertama dari kekuasaan otoristik menuju peradaban sosial yang humanis.
Dari Habibie kita melompat ke Joko Widodo. Salah satu tokoh fenomenal yang dipercaya oleh sebagian masyarakat Indonesia. Yakni Jokowi adalah sosok yang dapat dijadikan sandaran dan harapan untuk merubah keadaan. Sebagian Masyarakat berharap ada iklim demokrasi yang lebih baik ketika Jokowi memimpin bangsa ini.
Harapan itu ternyata kandas. Ketika ambisi Jokowi tampak dominan ketimbang bekerja untuk pembangunan kemajuan bangsa dan negara. Jokowi lebih banyak menghamburkan tenaga buat memecah belah bangsa. Selama berkuasa sembilan tahun, tidak ada karya besar yang bisa di tunjukkan pada rakyat. Yang terjadi adalah pembelahan masyarakat. Masyarakat menjadi terpecah belah dan saling curiga. Sembilan tahun pikiran dan energi anak bangsa tersedot hanya untuk bertengkar yang tidak ada ujungnya.
Siasat Jokowi untuk merusak persatuan bangsa tidak lain untuk menguasai Sumber Daya Alam. SDA di kuras dan diberikan pada asing dengan kompensasi kelanggengan kekuasaan. Apapun cara dipakai oleh Jokowi. Ia tidak memikirkan bagaimana dampak pembelahan masyarakat. Seakan di sirep ,dibius selama sembilan tahun yang mengakibatkan kerusakan sosial yang sangat parah. Mentalitas bangsa dijadikan budak asing. Yang jelas- jelas menghina martabat bangsa Indonesia. Itu semua akibat Jokowi lebih mementingkan kelanggengan kekuasaannya dengan barter investasi pengelolaan SDA. Padahal ini sebuah penjajahan baru dengan intrumen investasi sebagai cara masuk untuk menguasai dan menjajah bangsa Indonesia. Hal itu memang disengaja dan terjadi pembiaran oleh Jokowi. Bangunan infrastruktur yang dikejar oleh Jokowi menjadi proyek rugi. Dan akhirnya rakyat menanggung beban dengan harus membayar hutang- hutang Jokowi yang dipakai buat membangun infrastruktur.
Sekarang Jokowi meninggalkan koleganya yang dulu pernah membesarkan. PDIP yang sejak awal melahirkan Jokowi dalam rahim politik. Kini di dijauhi, ditinggalkan bahkan boleh dikata dilepeh. Bahkan “ibu kandung politik” Yang memberi jalan kepadanya turut ditekan dan dianiaya secara politik.
Bukan itu saja dampak yang ditimbulkan oleh taktik konyol Jokowi. Kaum oposisi di tangkapi dan di penjara. Dengan dalih Undang-undang IT, Jokowi melenggang menjalankan kekuasaan dengan menunggangi Demokrasi sebagai alat kekuasaan.
Demokrasi sengaja dipakai alat untuk menutupi keburukannya. Demokrasi dijadikan mesin cuci kerusakan dalam bertata negara. Aturan hukum ditabrak, bahkan untuk mengol- kan proyek- proyek Jokowi memakai instrumen hukum untuk dijadikan legitimasi, agar masyarakat tidak bisa menyentuh dan mengugat pemerintah. Kelicikan itu tampak dan dirasakan oleh masyarakat ketika lahirnya Undang-undang Unibuslaw, diperjelas dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi untuk memuluskan Gibran menjadi calon wakil Presiden. Semua intrumen hukum dipakai dan diakalinya. Inilah wajah pemerintahan yang seolah menjalankan demokrasi tapi prakteknya dinasti.
Akal sehat dan kewarasan rakyat dikangkangi, dilecehkan oleh Jokowi hanya demi membela anaknya. Agar kekuasaa nya tidak jatuh atau pindah ke orang lain. Kekuasaan di pegang erat- erat. Karena takut harta yang di tumpuk akan terbaca dan bocor ke masyarakat. Ada rasa ketidaknyamanan ketika Jokowi lengser dari kepala Negara. Inilah yang kemudian menimbulkan bencana politik dinegara ini.
Perang tanding antara Jokowi dengan kaum Oposisi / perubahan kini memasuki babak pertengahan. Endingnya nanti ketika pemilu mendekati keberlangsungan. Perang tanding ini serasa akan habis- habisan karena rakyat sudah mual dengan bualan dan tipuan yang selama ini ia lakukan. Apa rakyat masih percaya jika presiden Jokowi menghimbau agar pemilu menjadi damai, jujur ?. Bukankah itu siasat ambifalen Jokowi buat mengelabuhi terus menerus pada rakyat. Rakyat sudah tidak percaya pada omongan Jokowi karena saben pidato adalah bentuk framing pembohongan publik.
Rakyat akan lakukan perang tanding peda penguasa yang selalu membodohi masyarakat. Perang tanding dalam bentuk melawan konspirasi instrumen negara yang dipakai oleh Jokowi untuk pemenangan pemilu. Pemilu akan disebut curang ketika Presiden turut cawe-cawe sejak awal ikut terlibat dalam kontestasi pemenangan anaknya. Ini sebuah pelanggaran etika dalam bernegara karena selain anak yang dipromosikan, yakni aparatur negara diseret tidak lagi netral menjadi abdi negara. Rakyat akan berbaris di setiap alun- alun kota dan depan Istana untuk menghadang pemilu yang curang dan sistematis.
Penulis adalah aktivis Mahasiswa 80 an.