“GADIS KRITIK”
Selamat Tinggal, Ludrukan ‘Jokowati’

Agung Marsudi
Duri Institute

ADA 4 hal yang selalu terpatri dalam ingatan saya. 1,2,3,4. Gak ada isinya kan. Ya sama, seperti janji penguasa.

Meracik tembakau adalah sebuah seni. Dan rasa tembakau juga tidak bisa dimanipulasi, seperti hukum di negeri ini.

Melinting dan memotong tembakau juga terasa asik, asal jangan diam-diam, memotong anggaran dengan alasan yang klasik….”

Itulah potongan monolog ‘Gadis Kritik’ Rina Nose, sindir penguasa dengan cara tak biasa di ultah ke-13 Mata Najwa (19/11).

Di tengah suhu politik yang panas, dengan kemelut politik gagasan, politik kekuasaan yang beradu dengan politik perasaan, kritikan ‘si ratu impersonate’ boleh jadi renyah, karena disuguhkan langsung di hadapan ketiga capres-cawapres.

Kali ini tak ada yang marah. Pipi ketiga pasang capres-cawapres nampak memerah. Layar kaca Mata Najwa, seperti membuka mata, inilah panggung demokrasi, bukan panggung drama. Politik Drama Indonesia(PDI) saatnya diakhiri.

Selamat tinggal, ludrukan ‘Jokowati’. Cermin retak di dinding politik dan suksesi nasional. Di awal pemerintahan Jokowi, dipuja-puji. Kini menjelang akhir masa jabatannya ia justru dibenci, oleh partainya sendiri (di kandang sendiri). Serentak berpura-pura jadi “opponents” Jokowi.

Jangan aduk-aduk hati rakyat dengan ‘drama’ pengkhianatan dan merasa dizalimi. Rakyat tidak bodoh. Para petugas pemilu yang meninggal dunia, empat tahun lalu, hampir seribu orang, tak cukup hanya diberi batu nisan.

Kini teknologi sudah canggih. Presiden ada di genggaman. Di bahasa tubuh para capres-cawapres, rakyat sudah bisa mencium ‘aroma-aroma’.

Pilpres itu urusan suka, tidak suka. Itulah demokrasi kira. Masih mana suka siaran niaga.

Solo, 22 November 2023