Jokowi Plays with Instinct
Agung Marsudi
Duri Institute
DISKUSI angkringan di pojok kampung malam hari, tak melulu membahas urusan umplung dan sarung. Kadang-kadang serius otak-atik politik. Kadang-kadang juga nyrempet bahaya (vivere pericoloso). Petruk Dadi Ratu itu dalam memimpin, memakai insting.
Hasilnya 3 hal yang dilekatkan pada presiden asal Solo ini yaitu “blusukan, sepeda, cawe-cawe”. Tiga kata itu yang kemudian berjam-jam dibolak-balik sampai ‘gosong’. Hingga tak terasa, jam sudah menunjuk angka 04.00 Waktu Indonesia Begadang.
Penjual angkringan mas Moel asal Tegal, tak keberatan tempatnya kami pakai belajar berdialektika, seperti orang-orang kota. Meski di mata orang-orang desa, kota adalah tempat politik berpura-pura. Rebutan panggung “berdengung”.
Kalau di kota ada istilah influencer, di kampung kami ada istilah ‘tleser’ tukang ngerek padi. Orang-orang yang bermodal tenaga, untuk menghidupi keluarga. Bukan jualan konten, untuk sengaja menghasut sesama, apalagi menjelang suksesi 2024.
Dengan bantuan AI, kebencian diolah, diedit, divisualisasikan, dinarasikan, disebarluaskan, dan diulang-ulang sesuai pesanan. Politik gagasan atau politik perasaan menjadi sama kelasnya, sebab puncaknya adalah kemenangan suara (politik kekuasaan). Untuk itu, seorang matador kurus, tak mungkin punya nyali, berani berhadap-hadapan dengan banteng ketaton, tanpa insting yang tajam.
Kejadian diolah, opini diorkestrasi, uang diputar, pertandingan diatur. Itulah “Basic Instinct”.
Harta, tahta, meja makan istana.
Solo, 26 November 2023