Dendam Elektoral. Deja vu. Piye jal?
Agung Marsudi
Duri Institute
MAKIN ke sini, makin ke sana. Anies, Prabowo, Ganjar, bisa apa, apa bisa?
Rakyat selalu sabar di kapal harapan-harapan, tapi mereka butuh nahkoda yang memberi kepastian ketika gelombang pasang datang. Kapan janji kesejahteraan tidak dibayar dengan utang. Rakyat sudah biasa menderita, bahkan mereka butuh kerja tidak untuk kaya. Sebab kerja adalah simbol wibawa keluarga. “Ora obah, ora mamah”.
Kerja, kerja, kerja, disebutnya tiga kali oleh pak Jokowi. Sementara rakyat hanya butuh satu saja, “kerjaaa!”
Kerja itu amal baik, kerja itu harga diri. Negara yang rakyatnya tidak bekerja berarti negara itu tidak memiliki harga diri.
Bagaimana dengan kerja-kerja politik yang padat logistik, sarat intrik, sering diikuti dengan adu otot di akar rumput. Relawan, buzzer yang tak henti berdengung. Plus emosi yang melahirkan konflik dan polarisasi. ‘Banteng Ketaton’ lama untuk disembuhkan. ‘Obat merah’ tak sanggup menghilangkan perih. Sebab Megawati-Jokowi tak setali, meski sama-sama kepingin nyebrang kali. (Kalimantan, negeri impian).
Sudah 25 tahun politik kekuasaan reformasi, tak sehat jika selalu menyalahkan masa lalu Indonesia. Reformasi kemana saja, ketika Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Kapitalisme politik, binalitas dan banalitas korupsi justru menjadi-jadi. Jasad reformasi tergeletak di meja-meja makan atas nama demokrasi. Ruhnya telah lama pergi bersama nostalgia api.
Reformasi menjadi arogan, jumawa, tapi gagap, gugup, bisu menjawab kemiskinan dan ketidakadilan.
Siapa sejatinya yang merobek agenda-agenda reformasi? Hanya untuk menang, lalu menyimpan dendam elektoral berkepanjangan. Deja vu? “Piye jal?”
Pilpres 2024 akan menjadi batu nisan orde reformasi.
Solo, 12 Desember 2023