Debat Capres 2024 masih menghangat dibincangkan. Disana ada persoalan masa depan bangsa yang bukan semata hari ini tapi masa depan bangsa akan datang. Era ini akan berubah atau berlanjut, tapi yang mengklaim kepuasan publik tinggi pada masa ini tetap ada.
Debat Capres adalah gambaran kasat yang terjadi, publik kini makin cerdas dan kuat melihat realitas yang ada. Tapi kisah kekuasaan mengelajut dan bergulir di debat itu, dan soal HAM juga tentang kisah aneh soal masa dukungan masa lalu yang sangat jadi kekanak-kanakan diungkap seperti sebuah paradok tak mau saat siakp tak mau jadi oposisi. Seperti ada sindir minta jasa masa lalu atas balas budi.
Dalam debat itu tak terlihat rasa ingin agar kita kembali dengan cara yang santun, hanya satu yang terlihat cakap dengan penuh retorika dan karena kecakapan cara penuturan. Debat Capres adalah penanta siapa yang dipercaya dengan cara bertutur yang arif dan bijak. Bagusnya debat capres itu tukar pikiran dan konsep masa depan bangsa yang sudah makin super-super krisis harus segera dijembatani.
JIka Syahganda menyentuk debat capres tidak mampu mengungkapkan dalamnya sosok, pikiran, keyakinan, ideologi dan kemunafikan, jika ada, sosok capres yang ada. Mungkin tafsir tidak juga menemukan yang penting agar kita sebagai rakyat tidak tertipu (lagi) ke depan dalam memilih pemimpin.
Kita berharap sinar baru untuk bangsa ini ada yang memiliki pandangannya lebih jauh lagi menginginkan agar penggunaan pasal-pasal karet yang digunakan melalui UU ITE dan pasal 14-15 UU Pidana 1946 ditiadakan. Ini cara cerdas dan menukik. Pisau bedah Syanganda adalah cara yang baik karena dia mengalai kasus UU ITE.
***
Namun jelang debat Capres ada kasus Korupsi yang diungkap soal Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan yang melayangkan gugatan terhadap perusahaan akuntansi PT PricewaterhouseCoopers Consulting (PwC) Indonesia ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Gugatan ini kaitannya dengan kasus korupsi yang menjerat Karen. Seperti kita tahu status tersangka Karen yang oleh Aparat Penegak Hukum (APH) harus memperhatikan unsur Hak Asasi Manusia (HAM).
“Karena (aturan) HAM ini statusnya lebih tinggi daripada (aturan) penetapan tersangka itu sendiri,” ujar Chudry saat menjadi saksi ahli dari pihak pemohon Karen Agustiawan dalam sidang gugatan praperadilan melawan KPK terkait status penetapan tersangkanya, pada keterangan tertulisnya, Jumat (27/10/2023) di PN Jakarta Selatan dilansir EnergyWorldIndonesia.
Chudry menambahkan berkenaan dengan HAM telah diatur dalam konstitusi, Ahli Hukum Pidana dari Universitas Indonesia, Dr. Chudry Sitompul, SH. MH menjelaskan bahwa dalam menetapkan status tersangka, Aparat Penegak Hukum (APH) harus memperhatikan unsur Hak Asasi Manusia (HAM).
“Karena (aturan) HAM ini statusnya lebih tinggi daripada (aturan) penetapan tersangka itu sendiri,” ujar Chudry saat menjadi saksi ahli dari pihak pemohon Karen Agustiawan dalam sidang gugatan praperadilan melawan KPK terkait status penetapan tersangkanya, pada keterangan tertulisnya, Jumat (27/10/2023) di PN Jakarta Selatan.
Chudry menambahkan berkenaan dengan HAM telah diatur dalam konstitusi negara kita yakni UUD 1945, sedangkan penetapan tersangka diatur dalam KUHAP.
“Sehingga dalam menetapkan seorang sebagai tersangka APH harus menggunakan minimal 2 alat bukti yang memiliki kualitas. Tidak hanya mengejar untuk sekedar memenuhi kuantitas,” tambah Chudry.
Begitupun kata Chudry, terkait jumlah besaran kerugian keuangan negara dalam pentersangkaan Karen Agustiawan oleh KPK. Adanya kerugian keuangan negara haruslah jelas dan pasti. “Jika bukti yang digunakan KPK ini penghitungannya tidak jelas dan pasti, maka penetapan status tersangka (Karen Agustiawan) itu bisa mengakibatkan pelanggaran HAM terhadap seseorang,” ungkapnya.
Masih kata Chudry tidak enak bagi seseorang menyandang status tersangka. “Tidak hanya dirinya, tetapi seluruh anggota keluarganya juga akan merasakan dampak sosial.”
Oleh karenanya jelas Chudry, supaya penegakan hukum di negara kita semakin membaik, maka standar kualitas dalam mengumpulkan alat bukti juga harus dijaga. Kasus mantan orang nomor 1 di Oil gas plat merah ini kini berlanjut dimana Karen kini juga ke PT PricewaterhouseCoppers Consulting Indonesia.
Mantan Direktur Utama (Dirut) Pertamina Karen Agustiawan menggugat PwC Indonesia ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Gugatan ini berkaitan dengan dirinya yang dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi pembelian liquefied natural gas (LNG). Informasi gugatan itu telah dikonfirmasi oleh Juru Bicara PN Jakarta Selatan Djuyamto, bahwa benar adanya gugatan tersebut. PN Jakarta Selatan juga telah menjadwalkan persidangan pertama pada 12 Desember 2023 mendatang. “Benar.. 12 Desember sidang pertama,” kata dia kepada detikcom saat dikonfirmasi, Selasa (5/12/2023). “Terkait pemberitaan bahwa PT PricewaterhouseCoopers Consulting Indonesia menerima gugatan dari Ibu Karen Agustiawan (mantan CEO Pertamina), saat ini kami sedang bekerja sama dengan kuasa hukum kami dan belum bisa berkomentar lebih lanjut,” kata perwakilan PwC Indonesia kepada detikcom, Senin (11/12/2023).
Gugatan atas nama Galaila Karen Kardinah alias Karen Agutiawan, Hari Karyuliarto dan Djohardi Angga Kusumah. Kemudian tergugatnya adalah PWC. Dalam petitum yang dikirimkan PN Jaksel, PWC atau tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum atas laporan terkait investigasi pengelolaan bisnis LNG.
“Menyatakan Laporan Investigasi Pengelolaan Bisnis Portofolio LNG Pertamina (Persero) Laporan Final tanggal 23 Desember 2020 yang dibuat Tergugat batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tulis petitum tersebut.
Kini Karen dan lainnya menggugat PWC atas kerugian yang telah dialami sebesar Rp 12 miliar. Pihaknya menggugat ganti rugi sebesar US$ 78 juta atau Rp 1,2 triliun. “Menghukum Tergugat untuk mengganti kerugian kepada Penggugat secara tunai, seketika dan sekaligus yaitu: Kerugian Materiil yang dialami Karen Agustiawan dan Hari Karyuliarto total sebesar Rp 12.096.000.000. Kerugian Immateril yaitu sebesar US$ 78.000.000 atau setara dengan Rp 1.216.800.000.000,” terang petitum tersebut.
Meski kisah debat capres ini bedah kulit praktik-praktik korupsi di tanh air ini nyaris soal korupsi pertamina ini hilang padahal Korupsi di Indonesia sudah terlalu besar dan keterlaluan. Indeks persepsi korupsi yang sangat rendah di era Jokowi, IPK 34, serta ketua KPK, Wakil Menteri Hukum HAM adalah hasil revisi UU KPK era Jokowi, yang dijadikan tersangka pemerasan, menunjukkan kebutuhan pemecahan masalah ini harus lebih dalam.
Diharapakan Debat Capres dan yang hangat memang harus mengungkapkan cara yang pola pikiran dan keinginan capres kedepan bukan soal kemunafikannya, kata Syahganda dan memang harusnya dibedah secara tajam bukan tumpul keatas dan tajam ke bawah yang kata Abnies dalam debat itu. Bukan begitu Bang Ganda? Tabik…!!!
(aen)