Etika Politik “Endasmu Etik”

(Dr. Syahganda Nainggolan, Syahganda Nainggolan)

Persoalan etika politik ataupun etika dalam politik menjadi sorotan tajam berbagai elit politik dan pembahasan berbagai media belakang ini. Masalah etika ini muncul dalam Debat Capres pertama lalu, di mana Anies menanyakan perasaan Prabowo terkait pelanggaran etik yang terjadi dalam penentuan pasangan cawapresnya, Gibran. Masalah isu etik ini, dalam konteks debat, bukan konteks isu politik dinasti, sebenarnya sudah mulai terlupakan publik. Namun, hal ini mencuat lagi karena terbongkar video pidato internal Prabowo dikalangan Gerindra yang “mengejek” Anies dengan istilah “Ndasmu Etik”, istilah yang kasar.

Sebenarnya, dalam Debat Capres, Prabowo sudah menjawab Anies bahwa dia berpegang pada ahli-ahli hukum dalam timnya. Ahli-ahli hukum tentunya memberikan nasihat hukum bukan nasihat etika pada Prabowo. Menurut Prabowo, keputusan hukum MK sudah mengikat. Namun, dalam kesempatan itu Prabowo tidak menjelaskan perasaannya secara pasti soal etik. Dia hanya merespon Anies agar dewasa alias sama-sama “mengerti” sajalah.

Etika Politik

Etika politik dalam kajian filosofi diartikan sebagai sekumpulan nilai-nilai moral (set of moral judgement) dalam melakukan tindakan. Pertama dikaitkan dengan birokrasi dan kedua dikaitkan dengan kebijakan. (Lihat: Political Ethics, Britannica Encyclopedia).

Sebenarnya dari era Plato dan Aristoteles, soal etik dan politik ini sudah menjadi bahasan. Aristoteles misalnya memisahkan keduanya. Menurutnya, etik adalah urusan personal. Sedangkan politik adalah urusan negara dan masyarakat. Namun, ketika keduanya disatukan, dalam isu etik di dalam politik, maka bahasan pemahaman moral atau filosofi seseorang terhadap moralitas menjadi unsur penting baginya dalam mengambil keputusan.

Seseorang yang lebih berorientasi pada tujuan, sering sekali mengutamakan prinsip pencapaian sukses ketimbang etika. Prabowo, sebagaimana laporan sidang-sidang dewan kehormatan yang dihadapinya tahun 1998, terungkap lebih mementingkan tujuan daripada etika. Sehingga dalam laporan tersebut terungkap bahwa Prabowo melanggar etika perwira dan etika profesionalnya. (Lihat: “Pengamat Mesti Tahu Mengapa Prabowo Diberhentikan dari ABRI/TNI”, Kompas Online,, 13/6/2014 dan ” Ini Alasan Prabowo Dipecat Sebagai Perwira “, Tempo Online, 10/6/2014). Tentu saja Prabowo yakin tentang pilihannya ketika itu, yakni sedang menyelamatkan bangsa.

Etika Politik dan Etika dalam Politik

“Political Ethics” dan “Ethics in Politics” kadangkala harus dibedakan dalam mendalami posisi Prabowo dalam urusan Gibran. Soal “Political Ethics” adalah tanggung jawab bersama. Prabowo dalam sebuah wawancara, telah mengungkapkan kekejaman kekuasaan tanpa moral dan etik selama 20 tahun dia di luar kekuasaan. Bisnisnya hancur berantakan, karena kekuasaan yang ada selama itu tidak ingin Prabowo bangkit. Sesungguhnya, disamping Prabowo, hampir semua orang-orang di luar kekuasaan, selama ini, mengalami penyingkiran perdata, namun Prabowo termasuk yang paling korban, seperti harus “exile” di Yordania selama bertahun-tahun.

Latarbelakang itu mempengaruhi Prabowo melihat politik yang ada sebagai realitas. Dalam pendekatan realisme ini, sebuah pilihan adalah sebuah respon atas situasi atau lingkungan yang ada. Manusia dikendalikan lingkungannya. Maka ketika Prabowo dalam debat berujar “mengertilah” Pak Anies, dapat diartikan sebagai bagian pemahaman kolektif atas realitas yang ada. Dan tentunya Prabowo mengetahui apa yang juga Anies ketahui, dan sebaliknya. Lebih jauh lagi, Prabowo pasti yakin Anies juga melakukan respon yang sama, jika situasinya sama.

Selanjutnya, soal etika di dalam politik, ini lebih bersifat psikologi seseorang, sebagai sumber bahasan atau persoalan. Hasto PDIP dalam menanggapi “ndasmu etik” lebih melihat itu sebagai persoalan psikologi Prabowo. Dalam rilisnya ke media, kemarin, Hasto mengatakan itulah karakter Prabowo, emosional, pemarah, yang menurut para psikolog, sebagai bukti Prabowo bukan pemimpin yang baik ( lihat: Soal Ucapan Prabowo Ndasmu Etik Yang Bocor di Rakornas Hasto Pdip: Bukan Karakter Pemimpin Yang Baik”, Tempo Online, 17/12/23).

Kembali kepada urusan “Political Ethics” dan “Ndasmu Ethics”, bangsa ini perlu merenung ulang standar moral kita dalam mengurus negara. Hasto PDIP, misalnya, yang terganggu dengan keputusan MK terkait Gibran, yang dianggapnya merusak tatanan bernegara, seharusnya melakukan refleksi kenapa jauh-jauh hari PDIP tidak mempermasalahkan pamannya Gibran menjadi ketua MK? Bukankah sudah diketahui sejak awal bahwa ada persoalan etik yang muncul ketika ketua lembaga negara dan presiden mempunyai hubungan saudara ipar?

Soal MK hanyalah sebagian kecil soal etik yang ada dalam kekuasaan Jokowi. Urusan “Governance” dalam penunjukan jabatan publik seringkali dipertanyakan selama ini. Bahkan, penunjukan seorang menteri terjadi pada saat menteri tersebut diduga terkait dalam pemeriksaan kejaksaan agung soal korupsi BTS, misalnya. Saat ini persoalan etik semakin meningkat lagi dengan isu “fairness” dalam pemilu. PPATK merilis ada triliunan uang ilegal masuk untuk pemilu tanpa pertanggung jawaban. Etika apa yang mau ditampilkan pemenangan yang curang? Inilah situasi dan fakta kerusakan etik berat dalam bernegara, akhirnya harus diakui sebagai persoalan bersama.

Kenapa persoalan bersama? Kenapa tanggungjawab bersama? Sebab, mayoritas elit politik hanya “tutup mata” selama ini, dan dijadikan “bargaining” politik “dagang sapi” diantara mereka. Jadi, sesungguhnya mereka membentuk kartel untuk menikmati kekuasaan sekedar beredar diantara mereka saja. Mau sampai kapan?

Selanjutnya, terkait isu “Ndasmu Etik”, dapat ditafsirkan bahwa Prabowo memang tidak ingin merubah realitas politik busuk yang ada. Ini sungguh berbahaya. Seharusnya, meski argumentasi Prabowo bahwa ini situasi busuk di luar kekuasaan dirinya, namun kita butuh pemimpin ke depan yang sungguh berniat untuk memperbaiki negara dan bangsa ini. Seorang pemimpin harus berjanji bahwa kelak dia akan memperbaiki moralitas politik alias etik paska rezim Jokowi. Bukan malah diam atau meneruskannya. Untuk itu, Prabowo sendiri perlu merespon soal ini.

Penutup

Politik di Indonesia adalah politik tanpa etik. Etika politik merupakan standar moral kolektif. Selama ini kehidupan bernegara memang lebih dikendalikan hawa nafsu berkuasa dan menjalankan kekuasaan untuk kepentingan segelintir orang. Di sinilah letaknya persoalan etika politik kita.

Etika politik yang mengejek “endasmu etik” seharusnya tidak terjadi. Sebab, meskipun soal etika politik menjadi tanggung jawab bersama, namun seorang pemimpin harus memastikan bahwa kepemimpinannya ke depan akan merubah standar moral busuk yang ada, bukan mendiamkan atau mau meneruskan. Jadi, di sini masalah Prabowo dalam melihat isu yang dimunculkan Anies dalam debat. Harusnya Prabowo mengapresiasi isu ini, bukan mengolok-olok.

Siapapun yang memimpin bangsa kita ke depan harus memastikan etika politik harus berubah. Negara harus mempunyai standar moral yang baik dalam mengarahkan berbagai kebijakan nasional ke depan.