Komunikasi, AI dan Literasi Politik: Peluang dan Tantangan

Media tidak bisa lepas dari agenda kekuatan politik karena media berhubungan langsung dengan publik. Media dipengaruhi oleh politik, politik pun membutuhkan media sebagai tempat untuk menyalurkan pesan-pesan dari agenda politik kepada publik.

Hal ini disampaikan Dr. Edison Hutapea, M.Si. pada diskusi daring bertajuk “Komunikasi, AI dan Literasi Politik: Peluang dan Tantangan” yang diselenggarakan oleh Paramadina Graduate School of Communication dimoderatori  Faris Budiman Annas, Sabtu (16/12/2023).

Menurut Edison media seharusnya bersifat independen, namun hal ini sulit untuk diwujudkan karena terdapat ideologi politik yang memengaruhi media-media di Indonesia. “Hal ini terjadi karena di balik media terdapat elite politik yang ‘menguasai’ media tersebut (contohnya Surya Paloh yang menguasai stasiun televisi MetroTV). Elite politik tersebut akan membuat media yang dikuasainya agar menyebarkan ideologi politik kepada publik.” ujarnya.

Ia juga menyinggung tentang Artificial intelligence (AI) yang dapat memberikan manfaat positif terhadap demokrasi. “AI bermanfaat untuk mencegah kecurangan, seperti meningkatkan literasi komunikasi politik pada pemberitaan hoax dan menangkal misinformasi dan disinformasi.” Tuturnya.

AI juga dapat dimanfaatkan oleh tim pengusung elite politik tertentu untuk menganalisis hal-hal yang disukai oleh para pemilih dimana pada Pemilu 2024, 60% pemilik suara merupakan pemuda.

“AI dapat digunakan untuk mencari tahu apa saja yang disukai oleh para pemuda saat ini untuk kemudian dijadikan gimmick oleh tim pengusung elite politik tertentu dan disebarkan melalui berbagai media. Maka dari itu, mahasiswa harus memiliki critical review karena media tidak bersifat netral dan politik tidak lagi mengutamakan wacana yang bersifat rasional, namun lebih mengedepankan hal-hal yang bersifat emosional.” Papar Edison.

Narasumber lainnya, Wahyutama, Ph.D. menyatakan bahwa dalam penggunaannya, AI memiliki kecenderungan untuk mengambil keputusan yang bersifat otomatis, dan hal ini salah satunya dapat digunakan untuk melakukan proses pengambilan kebijakan. AI juga dapat digunakan untuk menganalisis data dan mengambil kesimpulan berdasarkan data-data yang tersedia serta menganalisis dampak positif dan negatif dalam banyak hal.

Di sisi lain lanjut Wahyu, AI juga dapat mencederai demokrasi karena AI dapat mengambil data-data pribadi milik para pengguna media sosial. “Data-data tersebut diretas tanpa persetujuan pemiliknya dan digunakan untuk melakukan profiling kemudian dijual ke dalam dunia politik untuk hal-hal yang menguntungkan tim pendukung elite politik tertentu. Fenomena ini terjadi pada kasus pemilihan presiden di Amerika Serikat pada tahun 2016 yang pada akhirnya dimenangkan oleh Donald Trump.” Jelasnya.

Wahyu mencontohkan Tim pendukung Ferdinand Marcos, Jr. yang memanfaatkan AI untuk membuat propaganda-propaganda politik yang bertujuan untuk menaikkan citra diri Marcos, Jr.. Mereka seperti menulis ulang sejarah, memperlihatkan seolah-olah Ferdinand Marcos, Sr. adalah seorang pahlawan, dan propaganda tersebut diperlihatkan kepada generasi muda di Filipina.

“Pada akhirnya, di media sosial TikTok, bermunculan tren yang menunjukkan dukungan para generasi muda Filipina terhadap Ferdinand Marcos, Jr., seperti konten-konten berupa jinglememe, dan dance challenge. Fenomena ini bisa terjadi karena generasi muda di Filipina tidak mengetahui fakta sejarah bahwa ayah dari sosok yang mereka dukung merupakan seorang diktator. Mereka termakan oleh propaganda politik yang disebarkan oleh tim pendukung Ferdinand Marcos, Jr.” tutur Wahyu. (rls/jaksat)