Sajak Selingkar Gerhana
Oleh Taufan S. Chandranegara, praktisi seni-penulis
“Ini sajak anti korupsi untuk cintaku kepada, NKRI Pancasila.”
Lantas apa kata bunga. Pecah jambangannya. Dia bilang itu bagian dari hobi, termasuk parodi kerinduan politisasi kuitansi kanibalisasi.
Ada-ada saja; itu jawaban impian untuk bersiasat dalam titik koma. Tetap hedonis sekalipun mampu menghantui kata berjuta makna. Wow!
Wahai kepura-puraan, ngapain ngumpet di ruang gelap. Sengaja pula mematikan pelita sukma. Lupa ya cahaya bukan milikmu. Berani banget menantang abstraksi.
Penonton: Hah!
Kisah perang tanding dari zaman baratayuda peradaban sejarah lampau; kemodernan heran, ternyata telah bermetafora menggelar perang tapi bisik-bisik. Loh.
Gono gini kalau begini. Kalau begitu jadi anu. Santuy atau tidak bodok amat, kala birahi usaha ha ha ha maka berebutan jadi zombie.
Syair berkata, sejak lama si iblis gemar menghitung konflik antar makhluk pandir pemuja hipokrisi akibat penyakit impotensi berkala tekno adidaya.
Penonton: Hah!
Pestapora pemuja iblis barbarik atas nama berhala mesin made in tekno neraka arak-arakan akuisisi ha ha ha. Lantas datang berjuta burung gagak berhura-hura.
Mastodon saling melahap sesamanya. Kaum setan ngakak jingkrak-jingkrak jungkir balik seolah-olah menang lotre. Hura! Tralala, si iblis terpingkal-pingkal.
Wahai materialisme. Apakah masih banyak punya anekdot alibi sosial bisnis, berkedok fosil antropologis. Hati-hati masuk neraka ya.
Penonton: Hah!
***
Jakarta Satu, Desember 23, 2023.
Kalau cinta NKRI Pancasila. Berhentilah korupsi.