Populeritas Capres dan Citra Semu
Oleh Sobirin Malian
Dosen Magister Hukum Universitas Ahmad Dahlan (Yogyakarta)
Sejak reformasi 1998, Presiden Jokowi adalah Presiden ke-7 yang tercatat dalam sejarah setelah Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi. Kini bangsa Indonesia sedang menyiapkan Pilpres yang ke-8, tentu suasananya sangat hiruk pikuk karena juga berbarengan dengan pemilihan umum anggota legislatif. Penting dicatat, setelah sekitar 20 tahun lebih reformasi, tuntutan reformasi itu rasanya belum terwujud. Tegaknya pemerintahan yang bersih dan adil bagi mayoritas rakyat Indonesia cenderung “masuk angin” dan hanya sebatas retorika para elit politik. Apa yang salah dari negeri ini?
Saat ini, media cetak dan media sosial, perusahaan jasa iklan sedang kebanjiran order dalam perburuan populeritas. Tokoh, mantan jenderal, aktivis, politikus, seniman, akademikus, artis hingga pengusaha saling berebut tiket ingin jadi anggota legislatif. Tiga (3) pasang calon Presiden dan wakil presiden juga sudah berlomba memasang berbagai baliho, rontek, iklan dan tentu berkampanye guna mendapat simpati maksimal dan mampu mendongkrak popularitas dari calon pemilih. Berbagai lembaga survei dan konsultan pembangun citra dan penata kepribadian pun kewalahan menyeleksi pesanan. Tentu dana yang digelontorkan untuk itu semua tidak sedikit. Yang menjadi pertanyaan masih belum jelas apa resep mereka menata bangsa ini agar lebih baik.
Gemerlap Lampu
Adalah hak setiap warga negara untuk bermimpi menjadi anggota legislatif atau menjadi Presiden. Juga bukan hal salah dengan all-out mencari populeritas karena memang ini adalah saatnya, bahkan berburu populeritas adalah konsekuensi logis dari format pemilihan langsung (baik Presiden/Wakil Presiden, Kepala Daerah dan anggota legislatif). Problem dasarnya adalah, populeritas tak selalu berbamding lurus dengan kapasitas/kapabilitas; apalagi jika dikaitkan dengan kemampuan mengelola pemerintahan secara cerdas, bijak, berintegritas, tegas…atau dalam bahasa Rasulullah Sidik (jujur), Amanah (dapat dipercaya), Fathonah (cerdas) dan Tabligh (menyampaikan amanah dengan baik, santun).
Populeritas masa kampanye ibarat lampu gemerlap kota yang tiba-tiba menyinari dengan kemilau kemewahannya, namun tiba-tiba lenyap. Dimasa sekarang pemilih sering mendasari pilihannya karena popularitas seseorang. Apakah salah? Jelas tidak. Hanya tidak semua orang yang punya popularitas itu punya integritas dan kualitas dalam mengemban jabatan politik. Sebab popularitas bisa dikondisikan, direkayasa, dilatih, diwariskan (misalnya tokoh, anak orang kaya, anak pejabat- anak Presiden) dan lain-lain. Popularitas bisa didapat karena banyak uang, ganteng, tampan, cantik dan pencitraan. Atas dasar itulah, populeritas belum tentu berurusan dengan rekam jejak, moralitas atau mutu komitmen seseorang bagi perbaikan kehidupan kolektif.
Dalam suasana kampanye tak mengherankan jika seseorang yang sepanjang hidupnya tak pernah merasakan penderitaan petani tiba-tiba tampak begitu peduli pada nasib petani padi, misalnya, yang kesulitan mencari pupuk, harga bibit yang mahal tetapi begitu panen harga jual padinya begitu murah. Seseorang yang tadinya tidak peduli lalu digambarkan sangat peduli tadi, oleh Edmud Burke dikatakan sebagai sebuah citra. Citra adalah dunia yang hidup. Ia mengalami perkembangan, perubahan, dan transformasi. Citra mempunyai sejarahnya sendiri. Ia mengalami kelahiran, puncak kehidupan, kematian dan kelahiran kembali. Perkembangan teknologi informasilah yang telah mengubah pandangan dan citra itu sendiri. Citra telah menyatu dengan teknologi pembentuk citra itu sendiri. Di dalam era citra dewasa ini berkembang sebuah ilmu baru yang disebut imagologi (imagology).
Imagology (imago=imaji, citra+logos=ilmu) adalah ilmu tentang citra atau imaji, serta peran teknologi pencitraan dalam membentuknya (Yasraf Amir Piliang,2004:85). Imagologi berkaitan dengan perkembangan teknologi pencitraan mutakhir, seperti televisi, video, internet, youtube, surveillance, satelit, realitas virtual yang menciptakan sebuah dunia yang didalamnya esksitensi setiap orang sangat bergantung pada dunia pencitraan. Ini mungkin dapat yang dapat disebut ontology citraan (ontology of images). Imagogi adalah penggunaan citra-citra tertentu dalam rangka menciptakan sebuah imaji tentang realitas, yang pada titik tertentu ia dianggap merupakan realitas itu sendiri, padahal semuanya tak lebih dari sebuah fatamorgana.
Di dalam dunia hiperrealitas, seperti yang dinarasikan Baudrillard (1981), citra mempunyai peranan yang sangat sentral dalam mendefinisikan apa yang disebut realitas. Dengan perkataan lain, citra itu sendiri kini yang disebut realitas, yang mendefinisikan eksistensi. Di dalam dunia hiperealitas, manusia dihadapkan pada sebuah kompleksitas citra, yang di dalam pembiakannya yang seakan tanpa batas, terjadi hubungan pertukaran, persilangan, perkawinan silang (hibridity), intertekstualitas, pemangsaan, atau perang yang sangat kompleks. Di dalam kompleks ontology citraan yang membentuk dunia hiperealitas, berkembang tipologi citra, yang diantaranya dapat diuraikan sebagai berikut (Yasraf Amir Piliang: ibid):
Pertama, citra fatamorgana (image). Fatamorgana adalah ssebuah ontology citraan dan semiotika, yang dibangun oleh penanda (signifier), yang berdasarkan persepsi orang yang melihatnya dikaitkan dengan sebuah penanda (signified) yaitu konsep atau makna dibaliknya: oasis, pohon manga, sungai, laut, dan sebagainya. Akan tetapi, fatamorgana sebenarnya adalah sebuah tanda dusta (false sign). Fatamorgana adalah citra sejati (pure image), yang penampakan visualnya telah menggiring seseorang pada sebuah (atau beberapa) konsep, yang sesungguhnya hanya ada secara ontologis di dalam pikiran seseorang, tetapi tidak memiliki wujud (entity) yang konkret (berdasarkan hukum alam). Ada fatamorgana adalah ada halusinasi. Tidak ada wujud oasis, yang ada hanya image atau halusinasi oasis. Secara semiotis, fatamorgana adalah sebuah penanda yang hampa (empty signifier), yang penandanya tidak mempunyai referensi pada realitas ia hanyalah wujud halusinasi_halu bahasa sekarang. Fartamorgana di dalam berbagai ruang hiperealitas, seperti televisi dan khususnya cyberspace. Bahkan, cyberspace, didefinisikan sepenuhnya, misalnya oleh William Gibson, sebagai ruang halusinasi yang tercipta oleh bit-bit di dalam jaringan komputer.
Kedua, citra hantu (demon image). Hantu adalah roh tak bertubuh atau spirit tak berwujud, akan tetapi mampu menampakkan dirinya di dunia realitas dalam wujud image, seakan-akan seperti sesuatu yang hidup. Ia mampu menciptakan efek-efek di dalam dunia nyata (ketakutan, trauma, bahkan kematian), akan tetapi ia tidak dapat dibuktikan secara ontologis. Hantu dapat menghilang, membuat dirinya tak tampak atau menjadikan dirinya tampak ada, tetapi tidak dapat disentuh. Ia adalah citra sejati (pure signified) yang tidak ada wujud realitasnya. Seperti fatamorgana, ia adalah murni halusinasi, tetapi halusinasi yang bukan tercipta disebabkan oleh proses fisika seperti fatamorgana. Hantu mampu menampakkan makna tertentu (signified), akan tetapi ia tidak mempunyai referensi nyata pada realitas ia tidak mempunyai rujukan realitas (referent). Hantu dapat melakukan berbagai bentuk tindakan (kejahatan, pembunuhan), akan tetapi mampu menghapus jejak-jejak tindakannya, sehingga ia tidak pernah tersentuh. Artinya, ia mampu, secara semiotis, memutus tanda-tanda tindakan (action) dari referensinya pada realitas (kebenaran yang sesungguhnya), sehingga tindakan tidak pernah terungkap kebenarannya. Ia ahli dalam menghapus tanda-tanda indeks (indexical signs) dari sebuah tidakan, sehingga jejak-jejak tindakannya tidak dapat lagi ditelusuri. Seakan-akan tindakan itu ada, tetapi tidak pernah ada bekas-bekas jejaknya, tidak pernah ada wujud atau tubuh-tubuh pelakunya. Hantu lihai dalam mengganti jejak-jejak tindakan (misalnya kejahatan) dengan jejak-jejak lain yang salah (false index), sehingga menggiring pada pelaku palsu. Di dalam dunia hiperealitas (media, internet, film) citra hantu digunakan sebagai sebuah metafora. Artinya, tidak ada hantu di dalam dunia hiperealitas, akan tetapi ada berjuta prinsip hantu didalamnya. Inilah fenomena manipulasi informasi dalam media, fenomena penampilan citra sebuah peristiwa (teror, perang, skandal) yang menggiring pada pelaku yang salah, fenomena hiperealitas pemberitaan perang.
Ketiga, citra kamuflase (camouflage image). Kamuflase adalah kemampuan dalam menyembunyikan diri dengan cara mengganti citra luar sesuai dengan lingkungan. Inilah kemampuan binatang bunglon. Bunglon adalah binatang yang ahli dalam menggunakan topeng citra untuk melakukan penyamaran. Dalam penyamarannya, bunglon menggunakan tanda-tanda dusta (false sign) atau tanda-tanda palsu (false sifnified). Ia adalah tanda yang berpretensi (pretension), yang sebagai aktor memainkan peran (role model) tertentu Populeritas Capres dan Citra Semu inilah bunglon sosial. Disebabkan sifat pretensi dan kepura-puraannya, apa yang selalu diproduksi di dalam dunia kamuflase semiotik adalah tanda-tanda pervensi (pervensive signs), yaitu tanda yang menciptakan kemenduaan, kekaburan informasi dan makna___semacam enigma semiotik (semiotic enigma). Orang akan selalu digiring pada petanda yang salah, disebabkan penanda menampikan dirinya secara salah. Apa yang berganti-ganti dalam kamuflase semiotik adalah permukaan tanda atau kulit luar (form), akan tetapi substansi dibaliknya (content) tetap sama. Yang berganti-ganti dalam kamuflase adalah penanda (signifier), yang memang dapat menggiring orang pada sebuah petanda, misalnya, konsep tentang pohon. Akan tetapi, petanda tersebut adalah petanda dusta (false signified), yang menggiring orang pada konsep yang salah mengenai sesuatu. Dalam hal ini, tanda kini digunakan sebagai sarana untuk mengelabui, untuk menyamar, untuk bertindak seolah-olah__inilah tanda kamuflase (camouflage signs). Citra-citra kamuflase adalah citra-citra yang kini merupakan dunia sehari-hari didalam hiperealitas (media, internet, komiditi), yang didalamnya tanda-tanda digunakan sebagai sarana untuk menyamar dan menyembunyikan identitas asli dirinya.
Keempat, citra nomad (nomad image). Nomad adalah orang (kelompok orang) yang berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ia adalah orang-orang yang tidak pernah hidup menetap (sedentarity), akan tetapi selalu berpindah pindah wilayah dan territorial, sesuai dengan kebutuhan. Dalam konteks sosial yang lebih luas termasuk komunikasi dan semiotika__Deleuze dan Guattari menyebut nomad sebagai skizofrenik (schizophrenic), yaitu orang yang berpindah-pindah untuk segala hal: berpindah identitas, berganti-ganti keyakinan, bertukar-tukar ideologi, berpindah-pindah konsep diri (self), belum habis masa jabatan yang satu ikut konstatasi jabatan lain, tanpa henti (Deleuze dan Guattari, 1986). Ia tanpa henti berpindah dari satu sistem tanda ke sistem tanda lainnya, yang satu sama lainnya bersifat diskontinyu (discontinue). Seorang nomad seolah tak memiliki komitmen. Ia tidak pernah berada pada sebuah ketetapan ada (being), melainkan ia selalu dalam proses menjadi (becoming), yaitu menjadi apa saja yang ia inginkan. Ia tidak pernah berada pada sebuah ketetap[an teritorial, melaankan selalu menempatkan dirinya di dalam proses deteritorialisasi (deterritorialization). Artinya,ia tidak pernah memiliki diri dan teritorial, tetapi selalu berada pada ruang antara berbagai konsep diri dan teritorial. Ia selalu berada di daerah antara (in-between). Bagi nomad, yang dipentingkan adalah perpindahan dalam skala ruang secara horizontal demi perbedaan (difference), bukan kemajuan atau perubahan. Proses perpindahan, transmutasi, transposisi, deformasi, dan metamorphosis, dalam nomadologi juga berlaku pada tingkat semiotik (tanda, kode, makna). Akibat oleh sifat perpindahan terus menerus ini, nomadologi tidak pernah menggiring tanda dan pertandaan pada sebuah ketetapan sistem (system) atau langue, sebagaimana dikatakan de Saussure. Nomadologi justru antisystem, antifondasi (fondation), dan antipenetapan (sendentariness), dia hanya meneruskan apa yang ada.
Demikianlah pencitraan. Wajah dan penampilan buruk, tutur kata tak komunikatif, gaya bicara kurang berwibawa, emosional, atau tata busana tak sesuai dengan mode mutakhir bisa dikemas sesuai dengan keinginan pasar. Melalui industri pencitraan, seseorang yang memiliki kemampuan pas-pasan secara intelektual bisa didorong dengan kecanggihan teknologi sehingga nampak hebat, pintar dan bercitra luar biasa, padahal semuanya hanyalah semu.
Kegagalan Parpol dan Pendidikan Kader
Sejatinya, salah satu pendorong “potong kompas” gencarnya perburuan popularitas dan pencitraan adalah kagagalan partai-partai politik melakukan kaderisasi dan seleksi kepemimpinan. Tercermin dari kandidat Presiden dan wakil Presiden atau dalam pilkada. Alih-alih menyiapkan kader calon pemimpin di tingkat nasional atau daerah, parpol terjebak pada komersialisasi politik yang menjadikan para caleg atau calon kepala daerah hanya menjadi “kendaraan politik” terutama bagi mereka yang memiliki uang dan berminat menjadi gubernur, walikota atau bupati. Akibatnya,kompetensi, rekam jejak, komitmen dan integritas terhadap kepentingan (warga) bangsa dan negara acapkali terabaikan.
Rekrutmen kader parpol tidak boleh dilakukan dengan tiba saat, tiba akal, tetapi harus dimulai dengan perencanaan yang matang dan harus didasarkan pada kebutuhan organisasi. Parpol harus menjadikan organisasinya sebagai wadah sekolah politik bagi anggota-anggotanya yang proses pendidikannya harus melewati tahapan rekrutmen yang jelas, pola ujian dan seleksi yang profesional yang pada akhirnya perlu dilakukan promosi anggota untuk jabatan-jabatan publik yang dianggap lulus dalam proses pendidikan politik. Sebagai wadah sekolah politik, parpol harus melewati proses belajar dan mengajar tentang kepemimpinan, etika politik, konflik dan konsensus, pengambilan keputusan dan teknik-teknik berorganisasi lainnya bagi anggota-anggotanya. Agar kelak ketika anggota parpol tersebut terpilih sebagai pejabat publik, mereka telah memiliki bekal kepemimpinan yang dapat bermanfaat bagi banyak orang.
Selain mengakibatkan masyarakat tidak memilih akibat ketidapercayaan pada partai politik dan calon, ketidakpercayaan masyarakat juga ternyata menjadi penyebab tingginya modus transaksasi atau pemberian hadiah dari calon kepada pemilih.
Oleh sebab itulah persyaratan keanggotaan parpol sangat penting sebagai persyaratan menjadi caleg. Perlu kiranya diusulkan bahwa syarat keanggotaan parpol bagi caleg harus sudah pernah menjadi anggota minimal lima tahun keanggotaan. Masa 5 tahun tersebut harus diisi oleh proses pendidikan politik yang panjang dengan diakhiri sertifikat sebagai bukti keikutsertaan dalam proses pendidikan tersebut. Syarat keanggotaan 5 tahun ini akan membatasi masyarakat yang tiba-tiba menjadi anggota parpol karena ingin memenuhi persyaratan menjadi caleg, sekaligus mengurangi “kutu loncat”. Kemudian mengantisipasi pula fenomena eksodus masyarakat dari partai satu ke partai lain saat menjelang pemilu.
Kelemahan lain, faktor dibalik gencarnya perburuan popularitas dan pencitraan adalah meredupnya ideologi dalam kehidupan partai-partai yang ada. Banyaknya jumlah partai tidak berbanding lurus dengan ideologi yang ditawarkan. Kalau pun partai memiliki ideologi, ia berhenti hanya sebatas dokumen tertulis AD/ART partai, itu pun sekadar menggugurkan persyaratan undang-undang. Atas dasar itu, tak heran kita sulit membedakan program-program partai yang satu dengan yang lainnya kendati mengaku berasas nasionalis, islamis, sosialis, kapitalis atau Pancasila. Nampak semua partai ingin menyejahterakan rakyat, meratakan pembangunan, mengikis kesenjangan, tetapi karena tak ada komitmen ideologis yang jelas terarah, program partai politik yang diusung akhirnya hanya menjadi “lips service”. Menjadi gincu untuk membungkus “ideologi” baru: kekuasaan dan uang.
Penutup
Akhirnya, kualitas pemilu akan sangat ditentukan pula oleh kualitas pemilih itu sendiri. Semakin bagus kualitas pemilih maka proses dan hasil pemilu akan semakin berkualitas pula. Pengalaman selama ini bahwa sikap pemilih tidak terpengaruh dengan dengan visi, misi maupun program dari kandidat kepala daerah. Sikap pemilih dalam menentukan pilhan dipengaruhi oleh faktor transaksi, kesamaan kepercayaan, dan kesamaan etnik. Pemilih tidak peduli dengan apa yang dijanjikan kandidat, tetapi tertarik pada aspek finansial dan kekerabatan dengan kandidat.