KESERAKAHAN DAN PEMILU

Oleh : Suroto

Saat ini kita masuk ke tahun politik, tahun penyelenggaraan Pemilu, sebuah pesta demokrasi, katanya pesta kekuasaan atau kedaulatan rakyat. Tapi sayangnya, rakyat sepertinya tetap tak berdaya dan hanya jadi kelas penggembira. Calon calon yang muncul saat ini baik untuk anggota parlemen maupun eksekutif sepertinya ya hanya berasal dari kelompok elit penguasa dan elit kaya di republik saat ini.

Spanduk berisi foto manis, sopan, alim dan penuh slogan dan janji janji dari Calon Presiden, Calon Wakil Presiden, Calon Gubernur, Calon Bupati, Calon Walikota dan Calon DPR yang ditempel di pohon, tiang listrik, pagar, isinya kalau bukan orang lama, mereka adalah anggota keluarga pemain lama. Mereka adalah suami, istri, anak, paman, bibi, keponakan, besan dari orang lama tersebut.

Mereka tak muncul begitu saja, tapi rekeyasa tingkat tinggi telah mereka lalukan jauh jauh hari sebelum Pemilu tiba. Agar dapat masuk dalam kontestasi Pemilu dan memampangkan foto foto itu mereka sudah kuasai semua cara agar mereka masuk dalam arena permainan dan kuasai seluruh permainan.

Jauh sebelum Pemilu mereka telah kuasai struktur organisasi masyarkat (Ormas), organisasi sayap partai, dan partai politiknya. Pengurus organisasi organisasi itu isinya adalah mereka dan keluarganya.
Bahkan baru baru ini kita lihat ada satu partai yang dipimpin oleh satu orang yang baru masuk jadi anggota partai sehari sebelumnya.

Bahkan secara brutal, hakim hakim Konstitusi bahkan rela melanggar kode etik untuk memutuskan perkara pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang ditengarai untuk meloloskan calon anak penguasa di republik ini.

Ibarat permainan sepak bola, proses rekruitmen pemain sampai dengan tanding semua telah dikuasai semua secara paripurna oleh mereka. Bahkan peraturan dibuat agar yang dekat dengan kekuasaan adalah yang diuntungkan oleh peraturan.

Rakyat jelata hanya jadi penggembira Pemilu. Riuh ramai yang terjadi sesungguhnya hanya berisi yang namanya pemilihan elit kaya dan keluarga mereka. Rakyat jelata sesungguhnya hanya jadi pelengkap penderita.

Akibatnya, kelompok elit politik dan elit kaya itu yang terus berkuasa.
Pemilu berulang terjadi, tapi nasib rakyat tetap menderita tak terperi. Sementara elit politik dan elit kaya yang berkuasa itu semakin leluasa menumpuk kekayaan dan kekuasanya. Rakyat itu dianggap hanya angka statistik manusia tak berdaya yang mereka manfaatkan untuk mengeruk keuntungan dan langgengkan kekuasaan bagi diri dan keluarganya.

Rakyat setelah berulang ulang mengikuti permainan pemilu hasilnya hanya sajikan kesenjangan ekonomi yang tinggi. Dari 4 anggota keluarga konglomerat kaya sama dengan kekayaan 100 juta rakyat Indonesia ( Oxfarm, 2022). Dari 270 juta rakyat Indonesia, 16,2 juta jiwa tidur dengan perut kosong(FAO, 2022).

Dunia seisinya ini tak akan pernah cukup untuk penuhi keserakahan. Jangankan untuk penuhi kemauan elit politik dan elit kaya, untuk satu orangpun, seluruh isi dunia ini tidak akan pernah cukup untuk penuhi keserakan mereka.

Jadi, apakah yang bisa kita perbuat? bagaimana cara menghentikanya? Jika anda tidak sanggup untuk tidak memilih, maka pilihan terbaiknya adalah pilihlah dari calon yang paling miskin secara harta. Tidak ada kaitanya dengan orang lama. Kalau masih ada, juga yang pernah membela kepentingan rakyat jelata secara nyata. Ini adalah pilihan terbaik dari yang terburuk.

Jakarta, 27 Desember 2023

Suroto
Penulis Buku ” Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme”