Image By vecstock
Image By vecstock
Tidak Perlu Menunggu Aturan Main, Lembaga Survei Wajib Mengumumkan Pendanaan Survei Pilpres dan Pemilu
Oleh: Dr Gede Moenanto Soekowati M.I.Kom*
Sejumlah lembaga survei yang telah melaksanakan kegiatan sebenarnya tidak menyalahi aturan main, hanya saja ada beberapa catatan penting terkait dengan kegiatan lembaga survei yang juga sekaligus menjadi konsultan dari kandidat tertentu.
Apakah kandidat itu menjadi calon presiden dan wakil presiden atau menjadi calon anggota legislatif yang paling penting adalah nilai-nilai ilmiah dalam kegiatan survei bisa dipertanggungjawabkan terkait dengan populasi terkait dengan sampel ini adalah hal yang sangat penting untuk Jelaskan secara rinci populasinya itu siapa saja.
Kemudian, sampelnya diambil dari metode ilmiah terkait dengan pengambilan sampel itu sangat jelas aturannya, bukan sekadar jumlahnya 100 atau 1.200 responden, sehingga setiap survei itu biasanya mempunyai margin of error. Batas margin of error ini sebetulnya toleransinya hanya 1% bahkan sebaiknya di bawah 1% agar kegiatan survei yang dilakukan itu memang benar bisa dipertanggungjawabkan kalau margin of error-nya kecil. Artinya dengan menggunakan margin of error hingga 5% sedangkan angka yang diraih oleh setiap capres dan cawapres itu bahkan hanya satu suara saja bisa berpengaruh, maka pemberlakuan yang ketat terhadap margin of error ini sangat penting dan mutlak karena biasanya angka itu tidak mencapai selisih 2,5% bahkan ada yang mencapai 5%. Di sisi lainnya ada survei yang tidak jujur karena ternyata dari hasil survei yang dipublikasikan, ada lembaga survei yang menyatakan bahwa ada sekitar 40 persen responden yang belum memberikan pilihan dan bisa berubah pilihannya.
Seharusnya, angka margin of error itu kurang dari 1% bahkan bisa 0,000001% atau bahkan kurang dari angka itu karena satu suara pemilih itu nilainya sangat besar dan sangat menentukan. Nah, fenomena itu yang banyak tidak diungkap dan ditutupi oleh sejumlah lembaga survei yang melakukan kegiatannya. Meski sebenarnya kegiatan mereka adalah untuk kepentingan capres. Apalagi sebetulnya kegiatan mereka itu tidak lebih hanya untuk kepentingan elektabilitas atau popularitas kandidat yang sudah membayar kepada mereka. Jadi, mustahil ada makan siang yang gratis atau disebut sebagai no free lunch. Bahwa tidak mungkin survei dilakukan dengan gratis karena makan siang saja tidak ada yang gratis. Tentu ada hal yang sangat penting bahwa memang kegiatan survei itu tidak gratis apalagi kalau kita kaitkan dengan siapa saja lembaga survei yang melakukan kegiatan itu. Kemudian, siapa saja vendor yang melaksanakan kegiatannya di lapangan apa ini adalah pihak yang sama meski yang memberikan order adalah lembaga survei yang berbeda?
Walaupun lembaga survei yang melakukan kegiatan mereka itu berbeda-beda, tapi periset di lapangan adalah vendor yang sama. Itulah mengapa ada kecenderungan sepertinya terjadi kesamaan atau kemiripan hasil antara lembaga survei yang satu dengan lembaga survei yang lain atau ada kemungkinan penjiplakan atau plagiarisme. Padahal mereka melaksanakan riset dengan tujuan berbeda-beda. Nah ini kan satu hal yang juga akan menjadi perdebatan di tingkat akademis bahwa survei itu ternyata subjektif. Meski bukan berarti subjektivitas itu tidak boleh, tapi kalau kita kaitkan dengan betapa pentingnya obyektivitas itu dipegang teguh dalam pelaksanaan survei yang menggunakan angka atau survei kuantitatif. Karena lembaga survei itu memang mewakili kegiatan yang menggunakan patokan atau alat ukur yang ilmiah di mana indikatornya tidak bisa diubah-ubah.
Demikian pula dengan margin of error tadi, semakin kecil angka margin of error artinya toleransi itu memang tidak mungkin nanti atas 1% karena memang seharusnya angka margin of error itu harus di bawah 1%, seharusnya jauh di bawah angka 1%. Nah itu baru bisa dinyatakan hasil survei itu memenuhi kriteria sebagai kegiatan yang objektif. Hal itu juga satu hal yang berkaitan yang harus menjadi perhatian adalah indikator yang digunakan oleh setiap lembaga survei itu apa karena dengan populasi dan sampel yang sama, hasilnya berbeda-beda? Kemudian, ketika kita kaitkan dengan pertanyaan yang diajukan dan terkait dengan metodenya. Apakah survei dilakukan secara tatap muka atau melalui telepon? Siapa yang dijadikan sebagai responden dalam kegiatan survei yang dilakukan itu? Apakah responden memenuhi kriteria sebagai sampel karena hal ini juga berkaitan dengan kriteria responden, hal ini tidak bisa asal sesuai dengan kebutuhan, tapi harus dilandasi dengan patokan yang baku.

*) Dr. Gede Moenanto Soekowati, M.I.Kom. adalah Dewan penasehat CSI, pakar strategi dan analis politik komunikasi media