Dibuat dengan AI ∙ 8 Januari 2024
Dibuat dengan AI ∙ 8 Januari 2024

JALAN TERANG YANG TIDAK MENEMUKAN JALAN

Oleh: Radhar Tribaskoro

 

Tulisan disampaikan pada acara Refleksi Awal Tahun 2024 Mengenang Rahman Tolleng Meneguhkan Politik Nilai

Rachman Tolleng, tokoh utama pergerakan mahasiswa 1966 berpulang pada 29 Januari 2019. Kepulangannya menyesakkan dada karena ia telah memompakan begitu banyak akal sehat, dan sekarang semua itu stuck. Macet.
Dalam kesempatan ini saya ingin memperingati 5 tahun wafatnya beliau dengan menguraikan salahsatu jalan terang yang ia tawarkan kepada bangsa ini. Sayangnya, jalan terang itu tertolak, ia tidak menemukan jalan.
Konkurensi Pemikiran Politik
Selepas kejatuhan Orde Lama muncul persoalan sistem politik apa yang akan kita jalankan. Dua pusat kekuatan yang dominan pada saat itu adalah Jakarta dan Bandung. Keduanya tidak bisa dibandingkan sebenarnya, sebab Jakarta adalah pusat kekuatan politik, keuangan dan militer. Sementara Bandung adalah pusat kekuatan pemikiran yang mendapat dukungan kuat dari Kodam III Siliwangi. Dua tokoh pemikir yang dominan di Bandung kala itu adalah Rachman Tolleng, seorang tokoh mahasiswa dan jurnalis pemikir, dan HR Dharsono, panglima Kodam III Siliwangi.
Namun tampak jelas bahwa Jakarta dan Bandung menjadi pusat pergolakan pemikiran yang konkuren ketika itu. Di satu sisi Kelompok Bandung menyuarakan sistem dua partai atau sistem distrik, sementara Kelompok Jakarta, dibawah kendali Wakil Ketua BAKIN Ali Moertopo mempromosikan Sistem Tiga Partai. Dengan kekuatan politiknya mudah saja Ali Moertopo mengalahkan Kelompok Bandung. Tahun 1970 HR Dharsono dimutasikan menjadi Dubes di Thailand. Pascapemilu 1973 agenda Sistem Tiga Partai dituntaskan melalui parlemen yang didominasi oleh Golkar.
Mengapa kekalahan pemikiran Kelompok Bandung saya anggap sebagai jalan terang yang tidak menemukan jalan akan daya terangkan di bawah ini.
Fusi Partai Politik
Fusi Partai Politik atau penyederhanaan (penggabungan) partai pada tahun 1973 merupakan kebijakan yang dibuat oleh Presiden Soeharto. Tujuan Fusi Partai Politik atau Fusi Parpol adalah untuk menciptakan stabilitas politik kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebijakan Fusi Parpol dianggap sebagai syarat utama untuk mencapai pembangunan ekonomi Indonesia.
Kebijakan ini dimulai pada era Demokrasi Terpimpin. Presiden Soekarno melakukan Fusi Parpol berdasarkan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960. Kedua aturan itu mengatur tentang pengakuan, pengawasan, dan pembubaran partai politik. Pada tanggal 14 Mei 1960, diumumkan bahwa hanya ada 10 partai politik yang mendapat pengakuan dari pemerintah. Sejak saat itu, kebijakan Fusi Parpol terus berlangsung sampai Presiden Soekarno melepas jabatannya dan digantikan oleh Soeharto. Presiden Soeharto mengeluarkan kebijakan Fusi Partai Politik atau penggabungan partai politik tahun 1973, menandai dengan signifikan era Orde Baru.
Awalnya, gagasan Fusi Parpol diterima dengan baik oleh berbagai partai, seperti Partai Nasional Indonesia dan partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Setelah itu, Ketua Partai Muslimin Indonesia Djarnawi Hadikusumo juga menyatakan bahwa kebijakan Fusi Parpol sesuai dengan rencana yang dibuat Kongres Umat Islam 1969. Sikap kontra hanya diperlihatkan oleh Partai Kristen Indonesia dan Partai Katolik. Mereka menolak untuk dimasukkan dalam golongan spirituil dan lebih memilih untuk bergabung dalam golongan nasionalis.
Fusi parpol baru tuntas setelah Pemilu 1973. Golkar menguasai dua pertiga kursi DPR. Sementara itu MPR, yang terdiri dari anggota DPR yang dipilih dan Utusan Daerah serta Wakil Golongan yang ditunjuk, menyatakan bahwa pada Pemilu 1977 hanya akan ada tiga peserta saja. Setelah itu, tanggal 5 Januari 1973, partai-partai Islam seperti NU, PSII, dan Perti membentuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Lima hari setelahnya, 10 Januari 1973, Kelompok Demokrasi Pembangunan memfusikan diri ke dalam satu partai bernama Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Meskipun partai-partai telah memfusikan diri, partai-partai tersebut tetap tidak bisa bebas bergerak leluasa. Pemerintah Orde Baru menyusun UU RI No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya di mana parpol tidak dapat menjalankan fungsi mereka sebagaimana mestinya.
Direktorat Sospol TNI AD dan Kementerian Dalam Negeri menyetir kebijakan dan kepemimpinan PPP dan PDI. Namun, apakah dengan cara itu partai politik akan stabil?
Fusi Parpol justru menciptakan konflik dalam tubuh partai politik baik secara intern maupun ekstern. Pada tahun 1986 pecah konflik di PPP antara HJ Naro melawan Hamzah Haz dan Zainudin MZ. Keduanya membikin kepengurusan sendiri dan pada akhirnya pemerintah mendukung Hamzah Haz dan Zainudin MZ. Sepuluh tahun kemudian, konflik pecah di PDI. Pemerintah mendukung Soeryadi, sementara Megawati harus tersingkir. Namun dari kedua peristiwa tersebut muncul pelajaran bahwa kesewenang-wenangan pemerintahan otokratis semakin lama justru makin memperkuat oposisi. Hanya dua tahun setelah Megawati digusur, 1998, kekuatan oposisi melawan Soeharto menjadi cukup besar dan matang untuk menggulingkan Soeharto.
Sistem Tirani Mayoritas
Skema Sistem Tiga Partai telah berakhir dengan jatuhnya Orde Baru. Fusi Parpol ternyata hanya dijadikan langkah awal Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya. Skema itu tidak stabil sebab pada dasarnya adalah Sistem Satu Partai.
Namun hal itu tidak mendorong Sistem Dua Partai mengisi kekosongan. Sebaliknya sistem politik Orde Reformasi kembali ke era Orde Lama. Puluhan partai-partai baru bermunculan dan puluhan diantaranya berhasil menjadi peserta pemilu. Pada tahun 2004 terdapat 24 partai politik peserta pemilu. Jumlah itu meningkat menjadi 38 pada tahun 2009, anjlok jadi 12 tahun 2014 dan 16 tahun 2019.
Fluktuasi partai politik peserta pemilu tidak berpengaruh terhadap jumlah partai di DPR. Partai yang lolos parliamentary threshold stabil pada 9-10 partai politik saja. Diantaranya terdapat 7 partai yang konsisten mengisi DPR, yaitu PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKS, PAN, PKB dan Demokrat. Sejak 2009 Gerindra menjadi partai ke-8. Dan Nasdem partai konsisten ke-9 sejak pemilu 2014.
Namun Sistem Sembilan Partai ini juga tidak stabil. Dorongan menjadi otokratis tidak surut, malah menguat pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pada masa ini partai-partai politik dibungkam dengan jabatan dan uang sehingga banyak undang-undang lolos begitu saja tanpa diskusi dan debat substantif. UU KPK, UU Cipta Kerja, UU IKN misalnya, langsung saja disahkan dalam 1 kali persidangan.
Awan gelap otokrasi sudah menyelimuti sejak Jokowi berkuasa, namun menjadi sangat gelap saat memasuki Pilpres 2024. Jokowi merancang anaknya Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi cawapres Prabowo, walau harus merusak kode etik Mahkamah Konstitusi dan mengukuhkan politik dinasti. Prabowo sendiri tidak diragukan akan melanjutkan otokrasi itu ditiandai oleh kesediaannya menerima Gibran sebagai cawapres, kebiasaannya menyelesaikan masalah politik dengan kekerasan (seperti ia buktikan dengan penculikan mahasiswa oposisi di era Orde Baru), dan praktek kepemimpinannya di Gerindra yang melarang pemilihan di semua tingkatan kepengurusan. Prabowo adalah figur despot di Gerindra. Bila Prabowo memenangkan Pilpres 2024 tidak diragukan ia akan menjadikan dirinya sebagai figur despot di Indonesia.
Masa Reformasi dua dasawarsa terakhir memperlihatkan bagaimana Sistem Sembilan Partai telah bertansformasi menjadi Sistem Tirani Mayoritas. Partai koalisi pemerintah yang menguasai 83% kursi DPR merasa tidak perlu lagi memperhitungkan aspirasi partai non-pemerintah. Mereka juga tidak peduli kepada aspirasi buruh, masyarakat adat, suara masyarakat sipil, kelompok minoritas lain ketika membuat undang-undang. Tirani mayoritas, despotisme Prabowo adalah sama sebadan dengan otokrasi Soeharto. Bila Prabowo memenangkan Pilpres 2024 saya tidak yakin politik akan stabil. Perlawanan akan menjalar dan meluas ke seluruh negeri.
Sistem Dua Partai
Apakah Sistem Dua Partai (SDP)? Dapatkah sistem itu menstabilkan politik Indonesia? Sistem Dua Partai atau pada waktu itu disebut Sistem Distrik adalah buah pemikiran Kelompok Bandung dibawah pimpinan Rachman Tolleng. Gagasan itu menyeruak ke ruang publik pada Seminar Angkatan Darat tahun 1966. Seminar yang menghadirkan Nasution, Maraden Pangabean, Mayjen Soewarto, Prof.Sarbini dan Prof. Emil Salim meluncurkan narasi koreksi total atas pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Atas dasar itu Seminar juga meluncurkan nama Orde Baru untuk menandai era pasca-Soekarno.
Sistem Distrik mengusulkan sistem politik terdiri dari dua partai saja, yaitu partai pemerintah dan partai oposisi. Waktu itu Golkar diusulkan untuk menjadi partai pemerintah, dan partai oposisi menggabungkan semua partai politik di luar Golkar.
Sistem Dua Partai ini mendapat sambutan positif dari Nasution. Menurut jenderal yang hampir saja menjadi korban G39S/PKI itu SDP akan memudahkan pemerintahan yang stabil dan efektif, serta menghindari fragmentasi dan konflik antar-partai. Sistem ini juga lebih cocok dengan semangat Pancasila dan UUD 1945.
Setelah Semunar AD itu HR Dharsono berkampanye untuk mempopulerkan Sistem Distrik. Ia membikin kesepakatan dengan Gubernur Jawa Barat dan DPRD Kabupaten/Kota untuk mendukung gagasan itu. Dharsono bahkan menyelenggarakan rapat-rapat massa untuk mendapatkan dukungan.
Langkahnya berhenti setelah ia diberhentikan sebagai Panglima Divisi VI Siliwangi. Sistem Distrik diyakini dapat menciptakan kestabilan politik. Kegagalan Sistem Sembilan Partai bersumber kepada mahalnya biaya pemilu. Sistem pemilihan langsung yang menyebabkan seorang caleg berebut suara pemilih. Ia harus berkampanye di wilayah yang sangat luas. DPR mengatur daerah pemilihan untuk menyediakan rata-rata 7-8 kursi. Dengan 1 kurai bernilai 300.000 suara maka luasan dapil mencakup 2-3 juta pemilih. Jumlah pemilih sebanyak itu dapat meliput berpuluh-puluh kecamatan. Pemilu menjadi sangat mahal akibat luasnya daerah pemilihan.
Akibatnya caleg menempuh jalan pintas. Mereka beli suara saja. Rekan-rekannya merasa dicurangi lalu melawan dengan cara yang sama. Mereka membujuk siapa saja, termasuk penyelenggara pemilu untuk menambah atau melindungi suaranya. Di sanalah awal malapetaka.
Mahalnya biaya pemilu berdampak ganda. Pertama, partai berlomba-lomba mengejar kedudukan di pemerintahan. Kedudukan itu membuat mereka bisa mengakses dana. Kedua, anggota-anggota partai kehilangan kepercayaan kepada ideologi, program dan gagasan. Mereka hanya percaya satu hal: uang. Imperasi uang menjadikan partai politik rentan terhadap penetrasi oligarki. Oligarki sekarang bisa mendiktekan keinginannya atas produk kebijakan maupun perundangan. Namun mereka ingin lebih maju lagi. Pengusaha sekarang juga ingin menjadi penguasa. Mereka adalah Peng-Peng, kata almarhum Rizal Ramli.
Pada gilirannya Tirani Mayoritas yang terbentuk di era Sistem Sembilan Partai ini memunculkan produk sampingan yang baru: Politik Dinasti.
Politik dinasti adalah karpet merah. Dalam demokrasi kita tidak bisa melarang seseorang terjun ke dunia politik mengikuti jejak orangtuanya yang seorang tokoh politik. Kita menolak politik dinasti bila hal itu memencengkan kompetisi. Demikrasi tidak bisa menerima seorang anak atau kerabat penguasa memperoleh jabatan-jabatan tanpa usaha yang signifikan. Seorang demokrat tidak bisa menerima anak Jokowi yang baru dua tahun terjun ke politik sudah menjadi cawapres, betapapun cerdasnya dia.
Politik dinasti yang dipraktekan oleh seorang Presiden, tidak bisa tidak, harus ditolak mati-matian. Apa yang terjadi bila Gibran menang? Negara ini akan hancur sehancurnya. Semua penguasa di semua tingkatan akan menganggap dinasti adalah normal. Siapa nanti bissa mencegah seorang cagub mengangkat anak atau istrinya sendiri menjadi cawagub? Siapa bisa mencegah Gubernur menunjuk anaknya menjadi direktur perusahaan daerah? Semua perusahaan dan lembaga yang menguasai sumberdaya negara akan habis dibagi-bagi untuk keluarga sendiri. Negara ini akan hancur sehancur-hncurnya.
Sistem Dua Partai menawarkan obat untuk mengatasi semua itu. Proposisinya sederhana: karena hanya ada dua partai maka pemilu hanya menyediakan satu kursi setiap dapil. Dengan demikian bila sekarang rata-rata seorang caleh harus berkampanye di 80 kecamatan, di bawah Sistem Dua Partai ia cukup kampanye di 12 kecamatan. Itu cukup kecil. Di Bandung seorang caleg DPR RI berkampanye di seperlima kota. Dalam dua bulan ia bisa berkeliling dan mengetuk semua pintu. Bayangkan seberapa dekat anggota dewan dengan pemilihnya.
Tapi yang paling penting: pemilu menjadi murah. Modal sosial dan modal politik menjadi murah. Peng-peng tidak bisa menang dengan mudah. Bagaimana dengan representasi? Sistem Distrik tidak dengan sendirinya mengabaikan suara mereka yang kalah di suatu dapil. Indonesia mengenal mekanisme yang disebut Stembus Accord. Suara-suara yang kalah di suatu dapil dapat diangkat ke tingkat nasional. Suara-suara itu bisa dipersaingkan lagi untuk menjadi kurai-kursi.
Menurut hemat saya gagasan Sistem Distrik Rachman Tolleng yang diadvokasi oleh HR Dharsono, perlu mendapat jalan. Gagasan itu adalah jalan terang yang lama tersimpan dalam khasanah intelektual kita.***