Ketika Politik Dinasti di Bangun Dengan Jalan Elit Politik Tersandera, Maka Terbangunlah Negara Adalah Aku…!!!
Oleh: Roy Fachraby Ginting
Dosen Universitas Sumatera Utara Medan
Bagi Jurgen Habermas, apa yang disebutnya sebagai Communication Action merupakan pembangun masyarakat kolektif dalam multikulturalisme era demokrasi.
Telaah kaum romantisisme, sebagaimana mengutip Henry Schamandt dalam The History of Political Philosophy (1990) menjelaskan adanya kesanggupan membiaskan realitas derita menjadi ilusi membangun kesenangan.
Romantisime memberikan argumentasi bahwa demokrasi sejatinya ruang terbaik bagi sistem politik sebuah negara, tetapi persoalan mendasar adalah apakah bangunan demokrasi tersebut ilusi atau realitas.
Sisi komunikatif dalam demokrasi selalu membawa kobaran api yang jauh berbeda dengan realitas.
Kemiskinan yang tampak secara kasat mata, dialihkan menjadi negara yang subur, melimpah ruah hasil alam, dan optimisme terhadap pembangunan rasional
Alam telah menempatkan manusia di bawah pemeritahan dua kekuasaan yang berdaulat: Penderitaan dan Kesenangan.
Alam telah menunjukan apa yang seharusnya kita lakukan, dan menentukan apa yang akan kita lakukan kemudian (Bentham, Introduction to the Principles of Morals and Legislation).
Dua kekuasaan yang berdaulat antara kesenangan dan penderitaan, perpaduan yang khas menunjukkan iklim pemerintahan demokrasi Indonesia saat ini.
Pemimpin Ideal adalah Pemimpin yang Bertanggung jawab dan hal ini artinya berani untuk menanggung efek dari segala keputusan yang timbul akibat tindakan yang telah dilaksanakan.
Selain cerdas dan berinisatif, seorang pemimpin yang ideal tentunya perlu memiliki sifat bertanggung jawab.
Kepemimpinan memang sangat berkaitan dengan term “politik”. Bahkan antara kepemimpinan dan politik ibarat dua sisi dalam satu mata uang.
Pada hakekatnya, ini menyangkut kekuasaan dan cara mengunakan kekuasaan yang dilakukan pemegang kekuasaan itu sendiri.
Ketika kepemimpinan dikaitkan dengan politik, maka sering orang beranggapan bahwa politik adalah kekuasaan yang cenderung kejam, radikal dan menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan.
Barangkali, anggapan seperti itu ada benarnya juga ketika politik atau kekuasaan tidak diimbangi dengan nilai-nilai moral dari pribadi seorang pemimpin, yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dalam mensejahterakan masyarakat.
Pemimpin adalah leader dalam menciptakan suatu organisasi yang kondusif, aman, dan tertatur.
Kondisi seperti ini akan tercipta ketika seorang pemimpin dibingkai dalam moralitas yang terpuji seperti, menghindari nafsu serakah duniawi yang cenderung ingin memperkaya diri.
Tampaknya, keserakahan dan keculasan ini sedang terjadi di negeri sebelah. Negara Indonusa. Masa jabatan presiden dua periode itu terasa masih kurang. Karena itu, para elit politik di Negara Indonusa itu berupaya keras untuk melakukan rekayasa hukum dan politik agar ia bisa tiga periode, atau paling tidak dapat tambahan masa jabatan perpanjangan dua tahun.
Masa jabatan Presiden di Negara Indonusa saat ini kehilangan dua tahun masa kekuasaannya karena mengalami pandemi Covid-19.
Mungkin karena nikmatnya kekuasaan, para pemimpin di Negara Indonusa sampai lupa bahwa kekuasaan itu memang harus dibatasi dua periode. Pemimpin sangat sering lupa dan kerap pula mengalami post power syndrome, maka dilakukanlah beberapa langkah politik agar anak dan menantu serta adek dan ipar bahkan mungkin cucu untuk ikut mendapatkan kekuasaan politik.
Awalnya semua langkah langkah serta strategi politik ini berjalan mulus dan tanpa ada riak dan gelombang penolakan dari rakyat. Rakyat tersihir serta terbuai dengan pencitraan yang di bangun oleh sang pemimpin.
Aman dan sukses mendudukkan anak dan menantu menjadi Walikota, maka langkah selanjutannya, menjelang Pemilu 2024 di Negara Indonusa di lakukan pula strategi dan rekayasa yang amat jitu untuk menjadikan putra Presiden walaupun secara hukum konstitusi belum cukup umur menjadi calon wakil presiden.
Maka untuk memuluskan program ini, maka di lakukanlah rekayasa hukum untuk mengubah persyaratan umur lewat Mahkamah Negara Indonusa dan kebetulan pula pimpinan di Mahkamah adalah paman Patih Sangkuni yang bisa di atur dengan aman dan rapi. Gerakan ini di sertai pula dengan rekayasa politik melalui partai-partai Koalisi Negara Indonusa Maju di bawah Komando Bung Prabu Seto, punggawa kepercayaan Presiden Negeri Indonusa.
Uniknya, semua ketua ketua partai di Negara Indonusa sangat mudah untuk di atur dan di kendalikan. Hal ini juga di sertai dengan bumbu dapur yang tidak sedap.
Ada kabar bahwa para ketua partai itu merasa tersandera akibat adanya kasus-kasus korupsi yang mendera diri dan anggota partai mereka. Maksudnya, jika mereka tidak tegak lurus dengan dengan Rezim Negara Indonusa saat ini maka kasus-kasus hukum akan diungkapkan ke publik atau dilaporkan ke Badan Penuntut Negara, Badan Kepolisian dan Komisi Penangkao Korupsi di Negara Indonusa
Kaum oposisi juga amat heran dan bingung melihat para ketua-ketua partai ini seakan kehilangan akal sehat untuk mendukung anak Presiden yang masih bocah dan belum memiliki pengalaman yang mumpuni sebagai pemimpin bangsa.
Banyak hal yang aneh pada proses pengajuan itu. Para ketua partai mengorbankan diri dan kader politik mereka yang sudah bertahun tahun bekerja keras di dalam partai agar suatu saat mereka dapat naik kelas menjadi cawapres.
Merit system dihilangkan. Rekrutmen anggota dan kepemimpinan seakan dilenyapkan demi sang anak Presiden Negeri Indonusa.
Publik juga bingung melihat prilaku Presiden Negeri Indonusa yang tentu dengan informasi dari Intelijen sangat tahu bahwa ada menteri menterinya yang melakukan tindak pidana korupsi, mengapa pengungkapan itu tidak dilakukan jauh-jauh hari sebelum tahun politik di lakukan…???
Jika hal ini di biarkan dengan sengaja, tentu hal ini dapat dianggap bahwa Presiden telah lalai dalam tugasnya untuk mencegah tindak pidana korupsi itu terjadi, atau membiarkan hal itu terjadi di dalam kabinetnya.
Apakah pengungkapan kasus-kasus korupsi ini di lakukan sebagian besar menjelang pemilu agar pimpinan partai politik takut kepadanya dan akhirnya para ketua ini bisa diatur dan di garing sedemikian rupa.
Presiden Negara Indonusa bukanlah penguasa absolut seperti Raja Louis XIV. Negara Indonusa juga bukan negara kerajaan, tapi sebuah negara kesatuan yang berbentuk republik.
Namun, kini Presiden Negara Indonusa sedang menikmati kekuasaannya yang berlebih. Ibarat raja Prancis masa lalu, kekuasaannya bulat dan tidak terbagi-bagi. Tidak ada matahari kembar. Tidak ada yang berani menentang dan mengkritiknya, kecuali kelompok masyarakat yang terdiri dari kaum akademis, masyarakat yang masih berfikir waras dan rindu dengan keadilan dan kebenaran.
Negara adalah aku yang dalam Bahasa Prancis (L’État, c’est moi) adalah sebuah kutipan apokrifa yang sering kali dikaitkan dengan Raja Louis XIV dari Prancis yang dinyatakan pernah diucapkan pada tanggal 13 April 1655 di depan anggota Parlemen Paris.
Kalimat ini diucapkan dalam konteks menggambarkan keadaan kerajaan mutlak atas penolakan yang disampaikan parlemen setelah deklarasi lit de justice pada 20 Maret 1655 dalam rangka pengumuman 14 dekrit fiskal darinya.
Louis XIV merupakan penguasa absolut yang menganggap dialah penguasa tunggal yang harus dipatuhi.
Pernyataan tersebut menyulut gerakan perlawanan rakyat terhadap sang raja yang absolut dan menimbulkan Revolusi Prancis dengan semboyan liberte, egalite, dan fraternite (kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan).
Tampaknya Presiden Negara Indonusa ini sedang mengalami psikologi politik, betapa independennya dia dari parlemen, ketua umum partainya, lembaga yudikatif, dan eksekutif. Dia sedang merasa di atas lembaga trias politika yang ada.
Presiden Negara Indonusa sedang mengalami situasi seperti di Eropa pada masa lalu, yakni court-politics. Ciri-ciri dari court-politics ialah, pertama, ucapannya merupakan hukum itu sendiri (sabda pandita ratu).
Presiden Negara Indonusa bisa mengatur hukum sesuai dengan keinginannya seperti yang terjadi dengan keputusan Mahkamah Negara Indonusa yang mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.
Kedua, para pejabat tidak berani menentang atau memperingatkannya karena mereka takut di-reshuffle atau digeser.
Ketiga, tidak ada pejabat yang berani menggalang kekuatan untuk menyainginya karena takut ada pejabat lain yang melaporkannya kepada sang penguasa.
Keempat, para pejabat bersaing untuk dekat kepadanya agar jabatan mereka aman atau mendapatkan kekuasaan tambahan darinya.
Kelima, pengambilan keputusan yang dibuatnya tidak lagi atas dasar dialog atau diskusi dengan orang-orang dekatnya, baik di kabinet maupun pejabat sipil-militer lainnya, tetapi bergantung pada siapa yang ia dengar.
Pembisik itu belum tentu pejabat yang dekat dengannya, melainkan orang-orang yang tidak memiliki jabatan resmi.
Semua peristiwa politik di Negara Indonusa ini tentu sangat tidak baik bagi pendidikan politik dan menjadi contoh yang sangat buruk bagi generasi milenial dan generasi Z.
Hal ini tentu pada akhirnya membangun satu pemikiran bahwa jika ingin menduduki jabatan politik dengan mudah, Anda harus jadi anak atau menantu presiden atau elite politik lainnya.
Hanya demi kepentingan anak presiden maka berbagai tradisi rekrutmen dan pengaderan politik dihancurkan. Hanya demi menjadikan anak presiden menjadi calon wakil presiden.
Negara Indonusa harus putar balik 180 derajat ke era sebelum reformasi dan yang lebih menyedihkan lagi, ini terjadi setelah 25 tahun reformasi dan dilakukan oleh seorang presiden yang dulu menjadi idola para pemilihnya dengan semboyan Presiden Negara Indonusa Adalah Kita.
Kini, presiden Negeri Indonusa yang dulu amat merakyat itu ingin membangun dinasti politik dan dengan itu dia membangun sistem politik sandera dengan menyandera elit politik yang yang sudah tercatat sebagai pencuri duit rakyat atau elit koruptor yang tinggal di masukkan dalam penjara bila tidak patuh dan manut.
Tindakan dan strategi politik dengan menghalalkan segala cara ini tentu di lakukan tanpa memandang apakah itu etis atau tidak, bermoral. Koalisi politik yang di bangun ini di lakukan dengan nafsu serta syahwat politik dan kekuasaan untuk membangun kekuatan dan kekuasaan yang tidak terputus menjadi pemimpin di negara Indonusa. Negara Republik tapi di jalankan dengan sistem kerajaan atau monarki.
Presiden Negara Indonusa yang impiannya untuk membangun dinasti politik sudah tidak terbendung dan tidak tertahankan lagi. Kini dia bisa berkata dengan bebas dan santai, Negara adalah Aku, Negara adalah saya dan semua bisa saya atur dan kuasai.
Apa yang terjadi saat ini di negara Indonusa bukan saja tragedi demokrasi di negara itu. Kini rakyat dan para elit politik harus kembali lagi ke arah otoriterisme seperti pada era Orde Baru Negara Indonusa.
Kini Politik Dinasti itu akan melahirkan Negara Indonusa dengan sistem tirani dan tentu akan ada biaya politik dan ekonomi dari praktik politik yang oleh Olle Tornquist disebut sebagai ‘demokrasi kaum penjahat yang menguasai segala lini kehidupan rakyat dengan cara membangun Oligarki, Dinasty serta Tirani atas nama demokrasi.
Demokrasi di bangun dengan kekuatan kaum mayoritas untuk membangun dan menjalankan kekuasaan atas sistem demokrasi dinasti maka terbentuklah tirani dan sistem bahwa Negara adalah aku, negara adalah saya untuk menciptakan oligarki yang tentunya akan berdagang dan mengeruk keuntungan dari rakyat.
Semoga negara kita akan jauh dan tidak akan meniru apa yang terjadi di Negara Indonusa ini.
JAKARTASATU.COM- Politisi PKS Mulyanto menyatakan tidak cukup hanya disetop dan disegel pagar laut di perairan Tangeran, Banten oleh KKP, kemarin.
“Tapi, tidak cukup kalau sekedar...
APPKSI Mendukung Program Perluasan Kelapa Sawit Presiden Prabowo Subianto
JAKARTASATU.COM-- Presiden Prabowo Subianto berencana untuk memperkuat industri sawit di Indonesia yang merupakan kebijakan perluasan strategi...
JAKARTASATU.COM- Ucapan selamat ulang tahun (ultah) ke isteri pejabat di ruang publik oleh kementerian dikritik Titi Anggraini, aktivis sekaligus Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan...
Muslim Arbi: KPK Jadi "LBH" Jokowi dan Keluarganya?
JAKARTASATU.COM-- Direktur Gerakan Perubahan Muslim Arbi mengatakan KPK dibentuk oleh Jokowi di sisa masa jabatannya sebagai...