Dibuat dengan AI ∙ 11 Januari 2024 pukul 10.15 PM | WAW
Dibuat dengan AI ∙ 11 Januari 2024 pukul 10.15 PM | WAW

Habis Gemoy Terbitlah Gemoysian

Oleh: WA Wicaksono
Analis Iklan dan Pencitraan

“Bahasa itu hidup dan berkembang dalam dinamika kebudayaan dan politik dalam setiap generasi”

Bahasa, sebagai sarana komunikasi utama manusia, tidak pernah lepas dari dinamika kehidupan sehari-hari. Setiap generasi membawa ciri khasnya sendiri. Hal ini tercermin dalam perkembangan bahasa yang senantiasa mengalami evolusi seiring berjalannya waktu.
Fenomena “Habis Gemoy Terbitlah Gemoysian” yang saat ini tengah mengemuka merupakan sebuah kisah menarik tentang bagaimana bahasa mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kebudayaan dan gaya hidup masyarakat, khususnya dalam konteks Pemilihan Presiden Indonesia (Pilpres) 2024 sekarang.
Istilah “gemoy” adalah istilah gaul yang muncul dalam generasi milenial dan zelenial sekarang sebagai plesetan kreatif dari kata gemas atau menggemaskan. Di dalam dinamika politik yang aktual, istilah “gemoy” pun kembali muncul sebagai bentuk kreativitas dari tim sukses yang ingin menyasar generasi muda Indonesia.
Konon terinspirasi oleh penampilan sang kandidat yang gemuk menggemaskan, maka istilah ini dilekatkan pada salah satu kotestan calon presiden yang berlaga. Istilah gemoy segera menjadi pusat perbincangan di media sosial dan menjadi ciri khas kampanye sang kandidat capres tersebut.
Istilah gemoy segera menjadi identitas andalan yang mewakili karakter sang kandidat. Namun, bahasa tidak pernah berhenti berkembang, apalagi ketika mendapatkan momen-momen kuat yang memicu percikan dan letupan kreativitas baru dari pengguna bahasa itu sendiri.
Akhirnya puncak letupan itu terjadi saat perhelatan debat calon presiden yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU), di mana kandidat yang digambarkan sebagai sosok yang gemoy tersebut menunjukkan reaksi emosional ketika dihadapkan pada pertanyaan yang menggelitik kredibilitasnya. Duaaarrrr… sontak hal itu menjadi momen kunci yang segera memicu lahirnya istilah atau kata plesetan yang baru yaitu “Gemoysian.”
Gemoysian ini adalah neologisme yang merupakan penggabungan dari diksi “gemoy” dengan diksi “emosional.” Diksi plesetan baru ini dianggap mencerminkan perubahan dalam persepsi terhadap sang calon presiden yang awalnya dianggap menggemaskan, namun nyatanya justru gampang tersulut emosinya dalam menghadapi situasi-situasi yang dianggap memojokkan dirinya. Dari sinilah istilah “gemoyisan” itu dilahirkan, yang mebuktikan bahwa bahasa, sebagai cermin realitas sosial dan politik, yang secara langsung menggambarkan peristiwa yang tengah terjadi.
Kasus “Habis Gemoy Terbitlah Gemoysian” ini, menggambarkan bahwa bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi semata, tetapi juga menjadi cermin kehidupan serta gambaran peristiwa sekitarnya. Bahasa mencerminkan dinamika sosial, perubahan sikap, dan respons terhadap peristiwa politik yang terjadi di masyarakat. Dengan adanya istilah-istilah baru seperti gemoysian ini, menunjukkan bahwa bahasa terus berfungsi sebagai medium untuk menyampaikan makna yang sesuai dengan konteksnya.
Fenomena munculnya diksi “gemoysian” sebagai modifikasi dari diksi “gemoy” yang sudah eksis sebelumnya merupakan cermin dari kemampuan bahasa untuk hidup dan berkembang sejalan dengan perubahan kebudayaan dan peristiwa politik. Membuktikan bahwa bahasa bukanlah entitas statis, melainkan entitas yang dinamis dan mampu mengikuti perkembangan yang bergolak. Akan selalu saja muncul istilah/diksi baru sebagai pembuktian bahwa bahasa akan terus menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman dan generasinya masing-masing, menciptakan narasi baru yang merefleksikan realitas yang tengah berkembang. Tabik.