MENAKAR “KASUS GINANJAR 98” JIKA MAHFUD MD MUNDUR DARI KABINET JOKOWI
MN LAPONG
(PRESEDIUM PRRI)
Beberapa Minggu terakhir, issu publik disibukkan dengan kabar mundurnya beberapa menteri dari kabinet Jokowi. Faisal Basri tokoh ekonom Indonesia yang berbicara di Forum Malari, 15 Januari lalu di Taman Ismail Marzuki, menjelaskan dan mengulangi kembali himbauan moralnya kepada Sri Mulyani Menteri Keuangan RI untuk mundur dari Jabatannya bersama Menteri PUPR RI Basuki Hadimulyono, dalam Kabinet Menteri Jokowi.
Faisal Basri menilai Jokowi telah terang terangan memihak pasangan capres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming dalam Pemilu 2024 mendatang. Gencarnya publik mengeritik politik dinasti keluarga Jokowi sejak Cawe Cawe politiknya hingga kemudian keluarnya putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, yang berakhir dengan dipecatnya Anwar Usman dari Jabatannya sebagai Ketua MK akibat (Paman Gibran) melakukan pelanggaran Kode Etik berat sebagai Hakim dalam kasus Putusan MK tersebut.
Kejanggalan atas Putusan MK yang dinilai Publik sebagai Putusan Mahkamah Keluarga, dan Kecurangan yang dipertontonkan secara vulgar dalam berbagai pelaksanaan Pemilu, mulai dari intimidasi serta penggunaan aparat pada Paslon 2 pada kontestasi Copras Capres 2024, ternyata telah membuat gerah TIM Kampanye pasangan Capres Cawapres Paslon lainnya, khususnya Paslon 3 (Ganjar Mahfud).
Dalam komentar Mahfud MD yang ditangkap publik mengungkapkan, siap mundur dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam).
“Pada saat yang tepat nanti pasti akan mengajukan pengunduran diri secara baik-baik,” ujarnya.
Menurut Mahfud, ia berupaya memberikan contoh agar pejabat negara tidak menyalahgunakan jabatan dan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye.
“Pihak lain nampak menggunakan jabatan, bahkan menteri-menteri yang tak ada kaitannya dengan politik malah ikut tim sukses.”
Kabar panasnya situasi Kabinet Indonesia Maju (KIM) Presiden Joko Widodo dengan issu menteri menteri kabinet mundur dalam beberapa waktu belakangan ini, mengingatkan kita pada situasi menjelang jatuhnya Presiden Suharto ditahun 1998, dimana gerakan atau desakan kelompok kelompok massa terhadap Suharto mundur atau dimakzulkan kembali menjadi menu berita di media – sosial saat ini di era pemerintahan Jokowi yang kembali mengulangi praktek praktek KKN dalam idiom POLITIK DINASTI JOKOWI pada kontestasi Pemilu-Pilpres 2024 yang sedang berlangsung.
Apakah besok dengan mundurnya Mahfud MD dari jabatan Menkopolhukam akan memberi efek domino kepada mundurnya menteri menteri Joko Widodo?
Sejarah tahun 1998 silam kembali diuji dalam tahun politik 2024, seperti terjadinya efek “Ginanjar Kartasasmita” yang memimpin mundur ramai-ramai dalam Kabinet Suharto Hasil Pemilu beberapa bulan sebelumnya.
Maraknya issu Pemilu tanpa Jokowi, Boikot Pemilu, tolak hasil pemilu, dan pemilu ulang tanpa Jokowi, telah menjadi wacana di tengah masyarakat yang tidak puas melihat situasi pelaksanaan Pemilu-Pilpres yang curang yang dikomando ke Paslon 2.
Apalagi setelah Presiden dengan nyata-nyata menegaskan kalau dirinya selaku kepala negara boleh berkampanye dan berpihak dalam Pemilihan Umum 2024. Penegasan itu disampaikan Jokowi kepada wartawan di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1/2024). “Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. Boleh. Kita ini pejabat publik sekaligus pejabat politik, boleh menteri juga boleh,” lanjutnya.
Hal ini menurut PERLUDEM (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) dalam rilisnya menanggapi pernyataan Presiden Jokowi tersebut, adalah “berpotensi jadi pembenar kecurangan Pemilu oleh Pejabat dan Aparatur Negara.”
Sebab, di dalam UU No. 7 Tahun 2017, khsusnya di dalam Pasal 282 UU No. 7 Tahun 2017 terdapat larangan kepada “pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye”. Dalam konteks ini, Presiden Jokowi dan seluruh menterinya jelas adalah pejabat negara. Sehingga ada batasan bagi Presiden
dan Pejabat Negara lain, termasuk Menteri untuk tidak melakukan tindakan atau
membuat keputusan yang menguntungkan peserta pemilu tertentu, apalagi dilakukan di dalam masa kampanye.
Tentu Kekuatiran Mahfud MD sebagai peserta Cawapres dan Tim Paslon 3, mirip kekuatiran Faisal Basri di atas dan oleh berbagai pihak kelompok/golongan masyarakat Civil Sociaty peduli Pemilu Jurdil atas kemungkinan akan terjadinya kecurangan TSM terhadap situasi pelaksanaan Pemilu-Pilpres, mengingat kasus yang terjadi di MK dan juga di KPU yang oleh kawan kawan TPDI sedang digugat di DKPP BAWASLU telah melanggar Kode Etik.
Apakah Kasus “Ginanjar” Tahun 98 Berulang?
Konstelasi politik pemilu-pilpres 2024 beserta peristiwa peristiwa politik yang ikut cawe cawe mengintai, bisa saja terjadi kapan waktu. Potensi chaos- politik seperti yg di prediksi Hendro Priyono, baik dalam pelaksanaannya maupun pasca Pemilu-Pilpres akibat ketidak netralan pemerintah sehingga kecurangan TSM terjadi tentu akan menuai perlawanan yang berpotensi rusuh, yang sudah sejak awal publik tidak percaya pemilu akan berlangsung fair mengaca pada Kasus MK, jika selama Jokowi ayah Gibran Rakabuming Raka masih menjadi Presiden dalam priode pelaksanaan Pemilu-Pilpres 2024.
Tendensi politik Pemilu-Pilpres yang begitu tinggi dan panas, dan besarnya kekuatan oposisi masyarakat yang semakin meningkat akhir-akhir ini karena kecewa atas menurunnya mutu kehidupan rakyat yang semakin timpang dan sulit karena banyaknya kebijakan Jokowi yang condong kepada selera segelintir elite ekonomi/politik (para oligarkhi), ditambah maraknya KKN dan Politik Dinasti dalam pemerintahan Jokowi.
Membuat situasi politik menjadi tidak stabil dan meruncing, apapun pemicunya bisa menjadi pilihan bagi setiap orang untuk melakukan aksi pembangkangan Politik, baik dilakukan oleh masyarakat sipil, dan tentunya pula oleh pejabat publik dalam hal ini para menteri menteri, baik menteri yang diduga “disandera” oleh Jokowi, maupun menteri menteri karena partainya menjadi lawan dalam pilpres 2024.
Dan perlu diketahui kekuatan lawan politik Non pendukung Paslon 2 yang terang benderang diusung dinasti politik Jokowi, dalam hal ini (Koalisi Anies dan Ganjar) diparlemen komposisi kursinya lebih besar jumlahnya yakni 54,60% (PDIP, PPP, Nasdem, PKB, dan PKS). Sehingga tidak menutup kemungkinan ide Pemakzulan bisa bergulir sewaktu oleh kebuntuan dan kebutuhan kepentingan elit politik yang menjadi lawan Jokowi dalam Pilpres 2024.
Kasus “Ginanjar 98” sebagai efek domino dari mundurnya Mahfud MD dalam situasi politik seperti yang diprediksi di atas bisa saja terjadi.
Misalnya dimulai dari menteri menteri koalisi Paslon 3 dan 1 yang jumlahnya belasan orang mundur atau ditarik karena mereka menilai bakal dirugikan dalam pilpres, lantas situasi itu dinilai menjadi faktor berbahaya, kemudian dalam hitungan waktu terjadi Pembalikan dukungan Politik dari tangan Jokowi itu lepas, maka krisis politik akibat pembangkangan politik pun tak bisa dielakkan dari menteri menteri partai partai pendukung yang menilai situasi sudah tidak menguntungkan lagi bagi kepentingan mereka apalagi situasi politik sudah sulit dikendalikan.
Maka efek “Ginanjar” pun terhadap mundurnya Mahfud MD itu tidak bisa dihindarkan lagi, walaupun mungkin cara dan situasinya tentu tidak persis sama pada peristiwa tahun 1998 saat itu.
Toh bisa diduga bahwa Prilaku elit politik kita selama ini, hanya sebatas untuk berbagi kepentingan, bukan untuk berbagi kesulitan dalam menghadapi krisis politik.
Sehingga pembalikan dukungan politik dari kawan menjadi lawan oleh akumulasi politik dari ketidak puasan publik atas pemerintahan Jokowi selama ini, menyatu dengan kemuakan publik terhadap ambisi kekuasaan dari cawe cawe politik Jokowi dalam melanggengkan dinasti politiknya yang dinilai publik luas telah memberantakkan moral, etika dan itu kemudian memanipulasi tegaknya hukum dan demokrasi. Akibatnya Tatanan ekonomi, politik, hukum, dan sosial secara keseluruhan menjadi runyam dan porak poranda dalam kehidupan bernegara.
Said Didu salah satu Tokoh Tim pemenangan AMIN memberi gambaran sederhana atas situasi tersebut, yakni “akibat ulah satu keluarga, 270 juta rakyat Indonesia menderita.
Apakah kasus Ginanjar 1998 bisa menjadi efek domino dalam mundurnya Mahfud MD, meluas menjadi politik “Goro Goro” di penghujung kekuasaan Jokowi?
Menarik kita cermati dan kita tunggu apa yang akan terjadi kemudian.
Rorotan village, 23/1/23