Ilustrasi AI | WAW
Ilustrasi AI | WAW
Gak Masalah Jika Kalah, Menjadi Panjang Jika Menang
Oleh: WA Wicaksono
Storyteller, Analis Iklan dan Pencitraan
Jelang hari H pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengeluarkan keputusan yang sangat mengejutkan. DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari dan enam anggotanya, karena menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden sebagai peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024.
Keputusan penjatuhan sanksi tersebut dibacakan oleh Ketua DKPP RI Heddy Lugito dalam sidang 135-PKE-DKPP/XXI/2023, 136-PKE-DKPP/XXI/2023, 137-PKE-DKPP/XXI/2024, dan 141-PKE-DKPP/XXI/2023 yang kesemua perkara tersebut mempersoalkan pendaftaran Gibran sebagai cawapres.
“Menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim Asy’ari selaku teradu satu, selaku ketua merangkap Anggota Komisi Pemilihan Umum berlaku sejak keputusan ini dibacakan,” kata Heddy di Jakarta, Senin (5/2/2024).
DKPP menyatakan Ketua KPU dan enam anggotanya, yaitu Yulianto Sudrajat, August Mellaz, Betty Epsilon Idroos, Idham Holik, Muhammad Afifuddin, dan Parsadaan Harahap telah melanggar beberapa pasal dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2027 tentang Kode Etik dan Pedoman Penyelenggara Pemilu.
Lalu apakah keputusan dari DKPP tersebut berpengaruh terhadap pencawapresan Gibran Rakabuming Raka yang telah terjadi? Apakah dengan keluarnya keputusan DKPP tersebut pencawapresan Gibran bisa Didiskualifikasi?
Sayangnya seperti halnya kasus keputusan MKMK yang memutuskan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman  melakukan pelanggaran kode etik berat dan diberhentikan dari jabatan Ketua MK, keputusan tersebut tidak mempengaruhi pencalonan Gibran.
Lagi-lagi pelanggaran etik berat yang dilakukan MK dan KPU ini tidak berimplikasi terhadap hukum. Etik dianggap tak terkait dan dikesampingkan dari hukum. Alhasil para pengusung Gibran sebagai cawapres pada Pilpres 2024 in tetap ngotot mengusung Gibran dan terus merasa tidak menyalahi hukum sama sekali. Tak ada revisi, tak ada pembatalan, dan tak ada diskualifikasi. Gibran tetap maju berlaga di Pilpres 2024 dengan ringan dan inocent saja.
Berlindung pada jargon “atas nama rakyat” para pengusung Gibran dengan jumawa mengatakan biarlah rakyat yang menentukan sikap. Kalau memang dianggap tidak benar, tentunya rakyat tak akan mendukung dan memilih mereka. Toh buktinya sampai saat ini, berdasarkan polling berbagai lembaga survei, pasangan Prabowo dan Gibran mengantongi elektabilitas yang paling tinggi. Berbekal hasil survei inilah mereka berkilah bahwa rakyat tidak memandang mereka salah.
Jargon “terserah rakyat” telah menjadi alibi yang kuat untuk melanjutkan hajat yang secara etik dianggap sudah sesat. Apalagi budaya pragmatisme yang masih kuat di masyarakat, menjadikan rakyat gampang dipikat untuk tersesat. Obral janji manis, pemberian fasilitas gratis, dan tentu saja bingkisan manis dalam beragam bentuknya seperti bantuan sosial (bansos), serangan fajar, dan lain-lainnya berpotensi untuk menjerumuskan dukungan rakyat. Bansos yang sebenarnya merupakan kewajiban negara dan hak rakyat mampu dikemas seolah-olah itu adalah bantuan pribadi yang terkait dengan eksistensi kandidat tertentu.
Yang jelas pencalonan Gibran tak terusik sama sekali. Baik oleh keputusan MKMK maupun DKPP, keduanya tak berpengaruh pada Pilpres yang segera dijalankan pada tanggal 14 Februari nanti. Bagaimana hasilnya nanti? Tentu saja kita hanya bisa menunggu sampai pelaksanaannya terjadi nanti.
Namun bisa jadi Pilpres 2024 ini berpeluang menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja, setelah keluarnya hasil penghitungan suara nanti. Pasalnya ada peserta laga yang dianggap bermasalah dan juga wasit yaitu KPU yang juga bermasalah karena keduanya telah diputuskan melanggar etik.
Sepertinya tak akan menjadi masalah jika akhirnya Gibran dan pasangannya kalah. Toh akhirnya yang melanggar dan berbuat salah tersebut telah mendapatkan ganjarannya yang sepantasnya. Kekalahan yang terjadi, tentunya akan dianggap sebagai hukuman yang memang layak mereka terima. Dan dengan kekalahan yang terjadi berarti berakhir juga biang masalah yang menciderai Pipres kali ini.
Permasalahan akan muncul dan berpeluang menjadi pergolakan yang panjang jika Gibran berhasil menang. Residu-residu pelanggaran etik yang dilakukannya akan menjadi ganjalan serius yang menggerus legitimasi Pilpres yang telah berlangsung.
Jika Prabowo-Gibran kalah maka kasus ini akan menjadi pelajaran bagi khalayak dan semua pihak atas begitu tabunya pelanggaran etik dan pengkhianatan konstitusi yang tidak boleh terulang lagi.
Namun jika mereka menang, mau tak mau akan banyak pihak yang bergerak dan tergerak karena jika dibiarkan hal itu akan menjadi preseden buruk yang akan terus berulang di masa depan. Gelombang kritik dari para guru besar dan civitas akademika berbagai kampus ternama menjelang pelaksanaan pelaksaaan Pilpres yang semakin dekat merupakan alarm bahaya yang tak bisa diabaikan begitu saja. Kritik mereka adalah pemantik bagi nyala kesadaran seluruh rakyat yang sebelumnya sempat terpadamkan oleh iming-iming materi yang melenakan.
Semoga saja berkobarnya nyala kesadaran seluruh atau setidaknya mayoritas rakyat tersebut tidak membakar negeri ini dalam pergolakan yang mematikan. Tabik.