Bahlil Lahadalia/ist

Bahlil Melukai Hati
Insan Perguruan Tinggi

BAHLIL mendadak tengil. Pernyataannya yang menilai ada skenario di balik kritisi dari kampus perguruan tinggi. Semata ingin unjuk membela sang majikan. Sialnya, tak menjelaskan skenario apa yang dimaksud.
Mirip “lempar batu sembunyi tangan”. Tak jelas arah. Cenderung membiarkan menggelinding di ruang publik dan membiarkan persepsi khalayak. Respons tak bijak. Apalagi dia mengaku mantan aktivis, yang mestinya faham akan “suara kebenaran” insan perguruan tinggi.
“Skenario ini, kita sudah paham sebagai mantan aktivis. Ini ‘penciuman’ saya sebagai mantan Ketua BEM, ngerti betul barang ini,” kata Bahlil. Bila “ngerti betul”, mestinya ngerti dalam arti yang sebenarnya. Bahwa suara kampus seperti itu sudah jamak. Lain halnya, bila frasa “ngerti betul” dijungkirbalik arti dan maknanya — semata untuk kepentingan kekuasaan. Kritisi dari civitas akademika kampus, hakikatnya implementasi Tri Darma Perguruan Tinggi.
Bahlil Lahadalia dalam kapasitas menteri investasi boleh saja “pasang badan”. Tapi dia praktis sebagai bagian timses salah satu paslon. Malah mirip lelucon. Justru itulah pangkalnya, saat Jokowi menyatakan — “presiden hingga menteri boleh berkampanye dan memihak”. Pernyataan itu pula yang meresahkan, tak kecuali insan sangat terpelajar dari sejumlah perguruan tinggi. Pada gilirannya civitas akademika sejumlah perguruan tinggi ternama di Indonesia tak rela diam berkepanjangan. Saling bersahutan, bersamaan dan bergiliran wajib bersuara lantang.
Sederet petisi dialamatkan kepada Presiden Jokowi selaku kepala negara, sekaligus kepala pemerintahan. Pada pokoknya, mengoreksi sikap dan perbuatan yang berpotensi merusak tatanan demokrasi. Hendaknya patuh dan taat akan aturan netralitas yang bersifat menyeluruh, meliputi semua aparat negara. Berbagai narasi petisi yang tertuju pada agenda Pilpres 2024.
Presiden Jokowi tak cuma cawe-cawe yang sebelum ini kerap disanggahnya hingga kemudian, dilakukan secara terbuka. Berlanjut dukungan terhadap bacapres tertentu hingga pernyataan berpihak. Tak cukup dengan skenario putusan Mahkamah Konstitusi dan lainnya yang dapat diklasifikasi sebagai inkonstitusional.
Petisi kampus yang bertubi, sejatinya hendak menjawab — siapa pun presiden yang “nyeleneh” — ya perlu dijewer alias diingatkan. Hal yang mestinya dilakukan oleh DPR. Justru lantaran lembaga perwakilan rakyat itu tak kunjung bunyi, maka kampuslah dituntut bersuara. Bahkan para guru besar mempelopori naik mimbar, bersama dosen, mahasiswa dan alumni — untuk dan atasnama civitas akademika. Resmi bertindak secara kelembagaan, yang mestinya dihormati.
Sulit membayangkan adanya skenario (politik) di balik petisi-petisi itu, seperti spekulasi Bahlil. Entah memungut dari tong sampah mana, hingga Bahlil menemukan frasa “ada skenario”?. Respons nyaris gamblang itu malah menorehkan luka hati insan terpelajar perguruan tinggi. Utamanya para guru besar yang lazim kita junjung tinggi keilmuannya. Bahlil kadung mencederai marwah perguruan tinggi. Kampus yang dipercaya melahirkan para ahli nan piawai berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta keahlian lainnya. Hal yang seharusnya difahami secara mendasar oleh produk perguruan tinggi, sekelas Bahlil. Sang menteri yang bagai tengah mabuk kekuasaan.
Siapa pun pemimpin, hendaknya siap dengan saran, bahkan kritik. Terlebih, bila ia menggunakan berbagai instrumen dengan menabrak aturan. Wajar, bila publik curiga — termasuk peran lembaga survei di dalamnya. Maka skeptis Bahlil perlu diluruskan. Menjernihkan pernyataannya yang cenderung mendegradasi eksistensi perguruan tinggi. Atau (mungkin) hendak menjawab ikhwal “ada skenario” di balik petisi?!***
– imam wahyudi
jurnalis senior di bandung