KECURANGAN PEMILU AKAN DORONG REVOLUSI MAHASISWA 2024
Drama Tumbangnya Suharto dalam Tempo 20 Hari
Ir S. Indro Tjahyono (Eksponen 77/78)
Sampai saat ini sudah hampir 100 Perguruan Tinggi yang para guru besarnya mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang lakukan pelanggaran etika dan moral terkait manipulasi konstitusi dan penyimpangan tugas presiden sebagai Kepala Negara. Namun Jokowi memberi reson yang sumir atas apa yang disuarakan para guru besar: “Ya, itu hak demokrasi”. Ketidakpedulian Jokowi terhadap substansi yang disuarakan para guru besar itu merupakan penghinaan atas kedudukan perguruan tinggi yang selama ini menjadi garda terakhir dari nilai-nilai luhur bangsa.
Menyusul deklarasi para Guru Besar tersebut, mahasiswa sebagai bagian dari Civitas Academica melakukan berbagai aksi untuk ikut memperjuangkan suara kampus mereka. Aksi-aksi mahasiswa tersebut dilakukan di Istana Kepresidenan , Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan di depan gerbang DPR/MPR RI. Kondisi ini sama seperti yang terjadi menjelang dan sesudah diumumkannya hasil Pemilu 1997.
Kerusuhan Masa Kampanye Pemilu 1997
Walaupun berbagai kerusuhan pada Pemilu 1997 hanya terjadi antara massa partai peserta pemilu (PDI dan PPP) dengan massa Golkar (Golongan Karya) atau pemerintah daerah, tetapi hal itu mencerminkan adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap Suharto. Praktek KKN ,kebobrokan birokrasi, dan kendali pemerintah yang kuat atas panitia pemilihan umum menjadi pencetus terjadinya aksi di sejumlah daerah.
Kerusuhan pertama terjadi di Pekalongan tatkala pemerintah daerah dengan dalih penertiban melakukan atribut Partai Persatuan Pembangnan (PPP) saat ada kunjungan dewan pimpinan Golkar ke daerah tersebut. Kerusuhan kedua, terjadi di Jakarta akibat arogansi massa Golkar yang melakukan konvoi sambil mencabuti atribut PPP sepanjang jalur yang mereka lewati. Akibatnya masyarakat menyerang massa Golkar dan melakukan pembakaran toko-toko di sepanjang jalan yang dilewati konvoi Golkar.
Pada tanggal 23 Mei 1997 terjadi kerusuhan besar di Banjarmasin yang berawal dari konvoi massa Golkar yang bising melewati Masjid Annur saat masyarakat sedang melakukan sholat Jumat. Usai sholat Jumat masyarakat menyerang rombongan konvoi tersebut dengan mengajak massa dari daerah lain, sehingga kerusuhan makin parah dan meluas. Kerusuhan ini merupakan kerusuhan terbesar dalam pelaksanaan Pemilu 1997 yang meibatkan 40.000-50.000 warga, sehingga 113 orang terluka dan 123 orang meninggal dunia.
Kerusuhan pada Perhitungan Suara
Kerusuhan juga terjadi saat penghitungan suara di Sampang (Madura) yang meluas ke seluruh kota dan pelosok desa yang akhirnya harus dilakukan penghitungan suara ulang. Manipulasi suara terjadi pada wilayah Madura yang terkenal merupakan basis pendukung PPP. Namun dalam penghitungan terakhir justru menempatkan Golkar sebagai peringkat pertama, sedang suara PPP ditempatkan pada urutan kedua dengan selisih yang cukup jauh.
Kerusuhan Sampang ini bermula dari kecurangan pada TPS 09 yang diprotes warga untuk dilakukan penghitungan ulang. Tetapi hasilnya malah mengecewakan, karena PPP yang mendapat terbanyak 286 suara ditempatkan pada urutan kedua dengan 172 suara. Kecurangan yang berlangsung di Sampang antara lain panitia pemilu tidak memberikan formulir C-1 kapada saksi PPP, tidak semua santri diberi hak suara, petugas mencoblos formulir suara untuk Golkar guna menutup selisih suara.
Akibat dari berbagai kecurangan yang dilakukan Panitia Pemilu, para pendukung PPP melakukan pembakaran kotak suara dan menuntut pemungutan suara ulang. Selain itu mereka menuntut pemungutan suara ulang di 1.200 TPS di seluruh Pulau Madura karena masifnya kecurangan panitia pemilu yang berpihak ke Golkar. Protes ini berujung aksi massa yang melakukan perusakan sarana umum seperti kantor Bank, pos Polisi, toko-toko milik keturunan Cina, dan berakhir pada penghancuran Kantor Cabang Golkar di Sampang.
Kecurangan Pemilu dan Pilpres 2024
Potret kecurangan Pemilu 1997 ini sama dan sebangun dengan kecurangan yang terjadi dalam Pemilu/Pilpres 2024. Jika pada Pemilu 1997 kecurangan dilakukan pada tataran teknis; pada Pemilu 2024 kecurangan dimulai dari pelanggaran konstitusi, undang-undang, dan hukum serta pada proses pencapresan, debat capres, keberpihakan pada koalisi parpol dan paslon tertentu. Aktor intelektual dari kecurangan-kecurangan itu adalah Jokowi sendiri yang sejak awal menyatakan akan “cawe-cawe” dalam urusan Pemilu/Pilpres.
Pada Pemilu 1997 , kecurangan partai penguasa Golkar hanya menggunakan birokrasi (Korpri) ,Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Keluarga Besar ABRI, dan afiliasinya sebagai penyumbang suara. Tetapi pada Pemilu 2024; Jokowi melakukan kecurangan dengan mengerahkan Polri, TNI, Pegawai Negeri Sipil/ASN, Kepala Daerah (Pusat sampai Kelurahan) untuk menjadi operator dan pendukung kemenangan parpol dan paslon yang ia dukung. Hal itu termasuk menggunakan APBN dan fasilitas negara untuk mempercepat realisasi Bansos , BLT, Dana Desa, serta mempercepat pengangkatan dan kenaikan Gajih PNS.
Sama dengan Suharto, Jokowi juga telah mematok jumlah perolehan suara para peserta Pemilu/Pilpres sebagai masukan bagi oknum KPU yang bertugas merekayasa suara. Namun apa yang dilakukan Jokowi lebih tidak etis dan bermoral dibanding pemerintahan Suharto (Orde Baru), karena sifat campurtangan Jokowi terhadap Pemilu/Pilpres sudah bersifat terstruktur, sistemik, dan masif (TSM). Anehnya parpol oposan tetap ikut dalam proses Pemilu/Pilpres 2024 yang sebenarnya tidak lagi Jurdil karena didisain dengan penuh kecurangan.
Guru Besar Turun Gunung
Pada Pemilu 1997 parpol pesertalah yang lakukan protes terhadap kecurangan sejak awal, proses kampanye, dan penghitungan suara. Tetapi pada Pemilu/Pilpres 2024 justru para Guru Besar dan Civitas Academica mempelopori rasa prihatin atas adanya kebrutalan pelanggaran etika dan moral yang merusak tata demokrasi dan tata negara. Di lain pihak karena protes terhadap peran ABRI yang sangat dominan, Suharto malah bersedia menerbitkan UU Nomor 5 Tahun 1995 untuk mengurangi jumlah kursi ABRI di DPR dari 100 orang menjadi 75 orang.
Pemilu 1997 sudah selesai ,Panitia Pemilu mengumumkan perolehan suara fiktif dari masing-masing propinsi sesuai arahan dari Tim Pemenangan Golkar. Jadi apa yang diumumkan sama sekali tidak mengacu pada perolehan suara dari lapangan. Hasil Pemilu 1997 sesuai dengan rencana Golkar memperoleh suara lebih dari 70%, yakni 74,51%, PPP 22,43%, dan PDI 3,06%.
Namun malang tidak bisa ditolak, setelah DPR RI terbentuk berdasar Pemilu yang diselenggarakan pada 29 Maret 1997 itu, Indonesia dihajar Krisis Moneter parah yang menghabisi nilai rupiah. Panik mengatasi Krisis Moneter, Suharto yang baru dilantik menjadi presiden, menaikkan tarif dasar listrik dan BBM, sedang untuk mengatasi krisis pangan Suharto menganjurkan rakyat makan tiwul. Tingkat kemiskinan anjlok secara drastis, karena 180 juta rakyat sudah berada di bawah garis kemiskinan.
Gerakan Mahasiswa Mulai Sulit Dikendalikan
Sejak itu Gerakan Mahasiswa yang mengangkat isu-isu sensitif mengarah kepada Suharto (perampasan tanah Tapos) sudah sulit dikendalikan oleh kekuatan militer dan polisi secara konvensional. Pada bulan Mei 1998 merupakan bulan “the point of no return” bagi gerakan mahasiswa ,menyusul dibentuknya Tim Mawar untuk melakukan penculikan terhadap para aktivis pada 7 Mei 1998.
Kalau melihat kuatnya kekuasaan Suharto yang sudah bertengger selama 35 tahun di pemerintahan, kenyataannya praktis hanya 20 hari antara tanggal 1 – 21 Mei 1998 ia ditumbangkan. Namun pelemahan kekuatan Suharto sesungguhnya sudah terjadi sejak 1997/1998 atau selama 20 tahun lalu sejak ia melakukan pendudukan kampus. Dalam hal ini adanya krisis ekonomi (Krisis Moneter) ikut mempercepat kejatuhan rejim Suharto.
Yang juga mempercepat pematangan situasi adalah karena adanya pihak militer(ditengarai Prabowo Subianto selaku Pangkostrad) yang menunggangi keadaan untuk melakukan kudeta. Oleh karena itu saat Suharto ragu-ragu untuk mengundurkan diri sebagai presiden, terjadilah kerusuhan yang direkayasa pihak militer tersebut antara tanggal 13 – 15 Mei 1998. Dramatisasi kedaruratan terus ditingkatkan dengan aksi melakukan pemerkosaan etnis Cina pada 16 Mei 1998 dan hengkangnya warga asing secara massal pada 17 Mei 1998, yang membuat Suharto benar-benar mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.
Gerakan Mahasiswa Meningkat Setelah Pemilu 2024
Bangkitnya Reformasi Kedua yang lebih revolusif pada masa pemerintahan Jokowi, mungkin sama dengan Reformasi Pertama ,akan berlangsung setelah Pemilu/Pilpres usai. Kekecewaan atas kecurangan Pemilu/Pilpres2024 terakumulasi seperti api dalam sekam yang akan menjadi driving force lahirnya perlawanan mahasiswa dan masyarakat yang masif. Barangkali dialektikanya berbeda dengan Gerakan Mahasiswa 1978, namun jatuhnya rezim Jokowi dan kerusuhan saat pelantikan “presiden baru” bisa diprediksi saat ini.
Gerakan mahasiswa seperti mendapat darah baru karena justru Presiden Jokowi sendiri yang menjadi otak dalam memporakporandakan demokrasi, tata pemerintahan, dan tata negara. Melawan kekuatan otoriter seorang presiden, mengingatkan isi pidato peraih Hadiah Nobel ,Lech Walesa. “Hati nurani dan sikap manusia tidak dapat dilenyapkan atau dihancurkan. Mereka ada dan akan tetap ada. Kita ingin hidup dengan keyakinan hukum berarti hukum dan keadilan berarti keadilan”, ujarnya.
Gerakan revolusi mahasiswa 2024 diperkirakan akan lebih militan karena beberapa faktor, yakni (1) kebohongan-kebohongan Jokowi selama 10 tahun menjadi presiden, (2) janji-janji palsu dan pengkhianatan terhadap pendukungnya, (3) kebijakan-kebijakan semu di berbagai sektor, (4) membangun tirani berbasis pada oligarki, (5) menempatkan polisi sebagai alat represi, (6) menghancurkan tatanan hukum dan demokrasi, (7) ciptakan sistem pemilu curang untuk politik dinasti, (8) penyalahgunaan kekuasaan untuk memenangkan koalisi parpol/paslon tertentu, (9) tidak serius dan tidak becus berantas mafia tanah, (10) tidak menghormati suara Perguruan Tinggi dan anjuran para guru besar. ***