Sketsa Pemilu Serentak: (16)
Akui Anomali Perolehan Suara: KPU Mundur!
Gile tenan! Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya mengakui telah terjadi anomali perhitungan suara. Meliputi semua lima pilihan dalam Pemilu Serentak 2024. Apa artinya itu?
Terlepas pro dan kontra di antara percaya dan tidak percaya, kian menguatkan dugaan adanya kecurangan. Bayangkan, KPU telah mengakui adanya kesalahan atau anomali penghitungan suara. Meliputi 154.541 TPS (tempat pemungutan suara -pen) kategori pilpres. Lantas 13.767 TPS untuk pileg DPR RI dan 16.450 TPS pemilihan DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Jumlah yang tak sedikit. Tak kecuali anomali di tingkat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang penanganannya oleh KPUD setempat. Bahkan ribuan pemilihan suara ulang (PSU) yang secara psikologis mempengaruhi pilihan — akibat guliran hasil pemilu yang sudah dirilis ke publik. Gile tenan!
Dapat diduga, para caleg DPRD pun dirugikan. Sementara perkembangan perolehan suara sudah mulai diklaim sebagai hasil yang minim kemungkinan berubah. Dengan kata lain, diduga merugikan caleg yang punya perolehan suara (sementara) dengan selisih tipis.
Kesalahan atau anomali itu lazimnya bersifat kasuistik. Hanya boleh terjadi di beberapa tempat. Bukan marak seperti yang berlangsung kali ini. Deretan angka anomali di atas menunjukkan bukan semata kesalahan yang bisa dimaklumi dan diterima akal sehat. Hampir dapat dipastikan, ada kesalahan mendasar. Kesalahan sistem yang diduga direka untuk berkemampuan berbuat salah. Kesalahan yang dapat diduga merupakan bagian dari suatu (upaya) kecurangan. Bagaimana mungkin satu TPS menghasilkan perolehan suara melebihi jumlah pemilih maksimal 300 orang per TPS. Seorang awam pun bakal menangkap keanehan yang nyata. Itulah yang terjadi dalam perjalanan rekapitulasi KPU.
Marak suara sumbang. Teriakan kecurangan saling bersahutan. Sejumlah elemen masyarakat turun ke jalan. Menggelar aksi, menggugat hasil Pemilu 2024. Jumat kemarin, aksi unjuk rasa berlangsung di depan Gedung MPR/DPR. Gerakan 0103 (baca 01 Maret 2024) bersama Front Rakyat Semesta. Apalagi, kalau bukan Menolak dan Usut Tuntas Kecurangan Pemilu. Tak cuma itu, aksi mendesak Ganti Komisioner KPU. Bahkan mendukung Hak Angket DPR hingga Turunkan Harga Sembako!
Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) yang diunggulkan KPU untuk rekapitulasi suara hasil pemilu, tampak lebih pas sebagai “sistem rekayasa suara pemilu”. Tak sesuai arti dan makna rekapitulasi yang sebenarnya. Suatu standar kegiatan untuk meringkas data dalam format, struktur, sifat, atau konten yang lebih berguna dalam format, struktur, sifat, atau kontennya.
Rasanya tak perlu menguraikan lebih jauh. Kadung menjadi “rahasia umum”. Publik sudah mencium aroma tak sedap dari proses pemilu. Terlebih saat perjalanan perolehan suara. Melebihi kereta cepat Bandung – Jakarta. Nyaris bersamaan jadual akhir pencoblosan di TPS, bergulir hasil _quick count_ (hitung cepat -pen), yang dipublikasikan sejumlah stasiun TV. Saat masih ada sejumlah pemilih yang belum beranjak dari TPS. Karuan, memicu publik terperangah. Keunggulan suara berkelanjutan, praktis tak ada perolehan yang saling susul-menyusul. Layaknya dalam sebuah kompetisi. Tak ada gambaran sama sekali akan latar dukungan dan dinamika sepanjang masa kampanye. Kontestan yang berkampanye dikalahkan yang terbilang tak berkampanye. Mirip dunia dongeng. Padahal disorot mata dunia.
KPU harus unjuk tanggungjawab seutuhnya. Bukan cuma mengakui adanya anomali perhitungan suara. Mundur teratur adalah jalan terbaik dan terdekat. Terlebih komisioner KPU sudah dinyatakan pelanggaran etik berat dan berulang. Lagi, mirip dunia sinetron — ketika KPU masih berlanjut. Hasil akhir sepertinya tak akan berubah dibanding hasil yang sesungguhnya — sesuai mayoritas pilihan rakyat. Bagai “berharap yang tak mungkin, apa guna”.
– imam wahyudi (iW)