Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Tidak Jujur Dalam Pemilihan Umum

By Eko S Dananjaya

Tentu saja diantara kita pernah melihat film smack down di layar TV maupun Youtube. Kesan pertama yang kita dapati ketika melihat tontonan tersebut adalah kekagetan kita dalam menghayati pertarungan gulat gaya bebas. Kita akan memperoleh sajian dan larut dalam fatamorgana permainan yang sebenarnya penuh tipu daya. Permainan gulat gaya bebas dengan penuh rekayasa. Pertandingan gulat bebas ini tidak rasional, tapi sengaja dipertontonkan supaya penggemar gulat mengalami keterkejutan dan secara psikologis mengalami shock mental. Dari salah satu pemuja gulat, hingga penonton yang bersebrangan bertemu dalam satu arena yang dibingkai pada permainan penuh dengan tipu-tipu. Di sebuah gelanggang, penonton di injeksi perasaannya dengan suasana dramatis, haru, dibarengi kegamangan dan rasa was – was. Apa yang penonton dapatkan dalam stimulasi permainan pada smack down? Tingkat kepuasan penonton dan rasa percaya diri serta militan untuk membela pilihan atau jagoannya pada salah satu pegulat. Selain itu, penonton juga mendapat keseruan pertandingan dan fresstyle play. Tentu saja pada permainan smack down selalu dilengkapi alat piranti untuk mengelabuhi penonton. Juga di siapkan wasit yang notabene sudah di skenario berpihak pada salah satu paslon pertandingan. Dalam acara Smack down, kewarasan tidak menjadi penting. Jika hasrat libido kemenangan yang ia inginkan dan peroleh dapat di munculkan dan dipamerkan, itu menjadi tujuan utama. Maka segolongan penonton akan bahagia dan merasa puas, bahwa jagoannya diframing menang. Tapi apa demikian yang selalu terjadi dalam persaingan gulat gaya bebas itu? Bukankah itu pertandingan yang penuh tipu-tipu? Walau banyak orang sudah tau permainan itu penuh kejanggalan dan indikasi kecurangan. Tapi tetap saja mereka mengaminin. Meski di akhir babak final orang akan terperangah ketika jagoannya yang kuat dan dipastikan menang dalam pertarungan itu, kemudian malah dikalahkan oleh wasit. Demikianlah pertandingan gulat smack down yang kemasannya penuh tipu- tipu tapi penonton tetap asyik saja dan menikmati dengan senang hati.

Ilustrasi pertarungan smack down mengambarkan situasi Pilpres 2024. Itulah realitas bahwa keadaan yang terjadi sekarang ini tidak lebih dari keputusan wasit sekaligus promotor yang sejak awal sudah tidak fair dalam menyelenggarakan pertandingan antar paslon pemilu. Bandar, promotor dan wasit bekerjasama melakukan tindakan tidak waras alias absurd. Itu semua dijalankan untuk mendapatkan keuntungan dan kemenangan yang sudah di rancang sebelumnya. Pemilu ibarat pertandingan smack down yang di rekayasa dengan cara tiou- tipu serta mencurangi hasil nilai pertandingan.

Ini bukti nyata dimana- mana orang berteriak atas ketidak fairan dalam penyelenggaraan Pilpres 2024. Dalam pemilihan presiden dan calon presiden, tampak dirancang sedemikian rupa untuk memenangkan salah satu paslon. Presiden berbicara di media masa, bahwa pemilu akan berjalan jurdil. Pemilu akan dijaga dari kecurangan dan akan dijalankan dengan baik oleh KPU. Dan tragisnya rakyat Indonesia sebagian terkesima dan percaya dengan jawaban jokowi ketika ditanya oleh wartawan. Ini yang disebut controlled macth. Presiden ikut cawe- cawe adalah bagian strategi dalam pembunuhan karakter dan menghancurkan mental lawan. Demikian permainan dari hulu ke hilir dan sebaliknya telah di set up secara rapi untuk menggendam masyarakat dengan buaian. Selain itu Jokowi memakai instrumen hukum sebagai tameng pembenaran. Berbeda dengan apa yang dilakukan rakyat di lapangan dengan menghitung manual. Jika ada kecurangan dan rekayasa sekala nasional dipastikan rakyat akan melawan dan protes ramai- ramai turun ke jalan.

Demikian ilustrasi saya terhadap Quick Count yang selama ini ikut dalam perhelatan perhitungan hasil suara pemilu 2024. Quick count adalah metode survei yang digunakan untuk mengestimasi dengan cepat dan akurat berdasar sampel Tempat Pemungutan Suara ( TPS) yang dipilih secara acak dan representatif. Metode Quick Count pertama kali dipakai di Filipina pada tahun 1986. Saat itu Filipina menggelar pemilu yang diikuti dua kandidat, yaitu Ferdinand Marcos yang pada waktu itu masih menjabat sebagai Presiden dan Corazon Aquino yang merupakan istri tokoh oposisi Beniqno Aquino Jr yang dibunuh pada tahun 1983.

Pemilu tersebut diwarnai oleh berbagai dugaan kecurangan dan manipulasi oleh rejim Marcos yang berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan memakai segala cara. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sebuah komite independen yang bernama National Citizens Movement For Free Election ( NAMFREL), bentukan sejumlah tokoh masyarakat sipil, agama, bisnis dan akademisi.

Namfrel bertugas untuk mengawasi jalannya pemilu, termasuk melakukan perhitungan cepat hasil pemilu berdasarkan data yang dikumpulkan dari sekitar 30.000 TPS yang tersebar diseluruh wilayah Filipina. Hasil quick count Namfrel menunjukkan bahwa Aquino unggul atas Marcos dengan selisih sekitar 800.000 suara.

Tapi hasil kemenangan Aquino di anulir Marcos menjadi kemenangannya. Inilah yang kemudian mengakibatkan kemarahan rakyat Filipina. Marcos kemudian dapat dilengserkan oleh kekuatan sipil bekerja sama dengan militer yang kemudian dikenal sebagai people power revolution. Marcos akhirnya terjungkal dan meninggalkan Filipina ke pengasingan pada 25 Februari 1986. ( Tribun gayo.com 15 Feb 2024 )

Metode Quick Count kemudian hadir di Indonesia kali pertama oleh LP3ES tahun 2004. Ketika belum banyak lahir lembaga quick count, lembaga ini bekerja dengan sungguh- sungguh dan dapat dipercaya oleh masyarakat.
Tapi setelah membanjirnya pilkada, maka banyak tumbuh lembaga survey dan metode quick count yang menawarkan diri sebagai konsultan politik dan pemenangan. Saking banyaknya dan menjamur lembaga survey, kemudian lambat laun quick count mengalami distorsi, disorientasi dan misappropriation. Mengapa?
Banyak faktor Lembaga Survey mengalami distorsi dan misappropriation, antara lain.
Pertama, Lembaga Survey adalah Lembaga swasta tidak bersifat independen dalam fund rising.

Kedua, lembaga Survey bekerja berdasarkan order atau pesanan.

Ketiga, keberpihakan lembaga survey jelas, yakni menjadi ujung tombak sebagai team pemenangan bagi yang membiayai. lembaga Survey pada akhirnya menjadi kuli para pengejar kekuasaan. Sebaliknya lembaga survey juga mendapat keuntungan dari orang yang menyewa jasanya.

Tiga point penting yang dialami oleh hampir semua lembaga Survey di Indonesia tidak lain karena lemah dalam kemandirian keuangan. Yang pada akhirnya lembaga survey harus berlutut serta bersandar untuk mencari kehidupan pada orang yang menyewa untuk dijadikan triger dalam perolehan suara.

Quick count bekerja menjadi ujung tombak opini ketimbang mempertahankan kredibilitas keakurasian nilai-nilai kejujuran dan kemajuan sebuah bangsa. Quick caunt tidak lebih sekedar menjadi jagal pertarungan politik dari tingkat walikota sampai presiden.

Dengan demikian, jika terjadi marak mal praktek yang dilakukan oleh lembaga survey dan quick count, maka pemerintah harus menyiapkan undang- undang yang dapat menjerat dengan dalil hukum pada pelaksana survey tersebut. Supaya ada jera pada lembaga survey dan tidak menjadi kultus bahwa lembaga tersebut selalu dapat menjadi tolok ukur kemenangan dalam pilkada atau pilpres dll.

Jika ada Pilpres, Pilkada atau Pileg dimenangkan melalui propaganda quick count, tapi kalah dalam perhitungan real count maka itu dapat dikatagorikan kejahatan intelektual dan informasi. Sebab berdasar informasi dan perhitungan cepat maka rakyat akan mudah percaya manakala lembaga survey tersebut jujur, kredibel dan accept able. Karena awal lahirnya quick count yang dipelopori oleh LP3ES melegacy kesan yang baik dan margin eror perselingkuhan angka itu hampir tidak ada.

Berbeda dengan Pilpres 2024. Hasil hitungan Quick count menjadi kacau balau dan terkesan terjadi kecurangan masif dikarenakan propaganda quick count yang berlebihan dan sudah diseting untuk membombardir pikiran rakyat serta memecah belah konsentrasi psikologi kekuatan salah satu pendukung paslon.

Bukankah Pilpres 2024 ini tidak lebih seperti apa yang dilakukan oleh Marcos pada saat suksesi kepemimpinan di Filipina?lembaga survey atau quick count di Filipina pernah dijadikan alat oleh Marcos untuk mengelabuhi, mengalahkan Qorason Aquino. Tapi kemudian rakyat dengan cepat sadar melihat dan merasakan kejanggalan dan kejahatan yang di lakukan oleh lembaga quick count. Sehingga rakyat Filipina segera dapat mengontrol lembaga- lembaga quick count bayaran itu untuk dibubarkan dan diadili oleh rakyat. Karena rakyat menganggap bahwa awal pembuat kegaduhan tidak lain lembaga survey, quick count dengan membawa info hasil Pilpres palsu.

Metodologi apa yang dapat menjelaskan pada pikiran kita jika hitung dan rekap di tingkat TPS belum selesai dalam skala nasional, kemudian diambil sampling nya untuk dijadikan instrumen untuk pemenangan? Sebegitu cepat hasil tersebut dengan dibahasakan ilmiah dengan bermain angka-angka serta margin- yang sudah di estimasi oleh lembaga tersebut. Kali ini tampaknya lembaga quick count mendapat ujian berat ketika hasil pilpres tiga pasangan ( Anies, Prabowo, Ganjar) diuji dengan perhitungkan real acount. Dan para ahli IT diluar KPU, berkonsentrasi menjaga 24 jam terus menerus sampai hitungan C1 selesai. Sehingga pusat perhitungan suara yang berada di KPU menjadi tidak nyaman bekerja dan kedodoran karena rakyat mengawal dengan seksama untuk mendapat suara yang jujur dan benar. Sebab tidak menutup kemungkinan bahwa kemenangan salah satu paslon adalah hasil penggiringan opini di awal selepas pencoblosan. Banyak dugaan rakyat bahwa hasil hitung cepat lembaga swasta itu sudah di seting untuk menang dan KPU akan mengikuti irama lembaga survey yang belum tentu hasilnya benar. Sebab lembaga survey, quick count swasta hidup matinya dari siapa yang bayar. Itupun proyek lima tahunan. Karena jika dihitung, tidak sedikit para kandidat pilkada yang menjadi korban dari quick count baik dari calwalkot, cabub, cagub sampai capres. Uang habis, pikiran stress, hutang bertumpuk gara- gara mencalonkan diri dengan barometer angka- angka stastitik kemenangan yang disodorkan oleh lembaga- lembaga survey.

Eko S Dananjaya SH
Aktivis mahasiswa 80- an
Ketua Lembaga Kebudayaan dan Lingkungan Hidup Yogyakarta.