Sketsa Pemilu Serentak: (18) Bayang-bayang pun Melayang

Politik uang atau money politic berjalan seiring proses pemilu. Utamanya dalam kontestasi dewan perwakilan rakyat. Pemilu legislatif (pileg) yang kembali dilaksanakan serentak. Bersamaan pilpres dan pemilu DPD (dewan perwakilan daerah).
Larangan aksi money politic tak setara sanksi yang diberlakukan. Alih-alih sebuah aturan main yang ajeg, malah cenderung banci.
Dalam praktik di lapangan, seolah adem-ayem. Sebatas kabar dan berita telah terjadi pelanggaran, tapi nyaris tanpa tindak-lanjut. Sepanjang proses pileg, stasiun TVRI menayangkan running text soal aturan itu.
“Politik uang dalam bentuk apa pun adalah pelanggaran hukum,” dan seterusnya. Begitu pesan yang bagai “angin lalu”.
Karuan, marak berlangsung di banyak tingkatan pileg. Lantas menjadi bahan perdebatan, hingga unjuk protes dalam proses rekapitulasi penghitungan suara. Berlangsung di banyak KPU daerah.
Meliputi dugaan penggelembungan suara yang hakikatnya dimungkinkan dari aksi money politic. Para caleg minim, bahkan minus logistik — tentu sangat berkepentingan dengan aturan dan sanksi terhadap pelakunya.
Tapi siapa yang peduli, ketika pelaporan tidak dilakukan sesegera hingga berlaku sanksi?! Faktual, menunjukkan prilaku (pelanggaran) itu dinilai jamak.
Bahkan dianggap wajar dan lumrah serupa take and give (memberi dan menerima). Pada kesempatan pertama, caleg yang ompong logistik menjadi pihak dirugikan. Kembali dipaksa gigit jari.
Tak cukup bekal kompetensi. Betapa pun, tak semua yang unjuk berbagi itu berhasil alias gol. Sebaliknya ada juga yang tanpa “bumbu penyedap” pun lolos. Boleh jadi prosentasenya kecil.
Namun demikian, apa pun argumen lapangan — aksi money politic kadung mendistorsi demokrasi itu sendiri.
Belum lagi, skenario “serangan fajar” yang tak sebatas kabar berita. Sistem pemilu kini dengan sedikit kelebihan dan banyak kekurangan, tak bisa dihindari. Dapat dikatakan, caleg modal semangat (dan klaim jaringan -pen) — rasanya tak cukup.
Kecuali terkuras waktu, tenaga, pikiran dan dana (seberapa pun jumlahnya -pen). Sekadar “meramaikan” tradisi demokrasi pun tak cukup menghibur. Terlebih alasan probabilitas yang cuma enam prosen.
Menjadikan sebagian besar caleg minim logistik, tak lagi larut dalam bayang-bayang yang sudah lebih awal melayang.***
– imam wahyudi (iW)