Mahkamah Konstitusi, Penegak Hukum, Pengadilan dan Putusan: Market Mafia Keadilan

“Mungkin saja tulisan ini, membuat banyak orang marah dan pesimis. Ya, harus diungkap bahwa hukum, hakim, pengadilan dan mahkamah bisa dibeli. Jangan menutup mata.”

Penulis: Rusdianto Samawa, Jaringan Kerja Revolusi Indonesia (Jangkar Indonesia)

Sengketa pemilu adalah sengketa politik, tidak murni hukum dan konstitusi semata. Momentum sengketa menjadi sumber pendapatan para mafia konstitusi.

Kontestasi Pilpres 2024, tidak penting ramai kampanye sebagai indikator keterpilihan pada pasangan calon. Urgent dan penting diamankan itu adalah suara di TPS dan seberapa kuat uang membeli suara pemilih. Secanggih apa robot mengutak atik sirekap sebagai aplikasi resmi hitungan.

Begitu juga, sengketa pemilu di pengadilan atau mahkamah konstitusi. Tak penting rasanya menyiapkan bukti kecurangan setumpuk. Tak akan ada artinya. Paling penting menyiapkan seberapa besar duit untuk mengkocek seluruh hakim konstitusi. Seberapa kuat jaringan pelobi amankan sidang.

Walaupun, hukum dan konstitusi berdasarkan bukti. Tak akan cukup. Lawan pun bisa membantah bukti yang diajukan. Paling penting itu, seberapa besar duit yang dikeluarkan kepada masing – masing hakim.

Mahkamah Konstitusi, Penegak Hukum, Pengadilan dan Putusan: Market Mafia Keadilan. Buktinya, pelobi – pelobi tentu sudah menyusun strateginya. Pasangan calon yang berperkara di pengadilan maupun mahkamah konstitusi sudah tau siapa yang akan menang dan kalah ?. Pelaksanaan sengketa hanya sekedar formalitas saja.

Mengapa itu terjadi? karena hakim tak lagi dipercaya rakyat. Hakim sebagai profesi yang mulia menjelma dalam kerakusan. Hakim tak lagi juru selamat’ dalam menghadirkan keadilan. Hakim tak lagi ejawantah tangan Tuhan yang memberi keadilan..Hakim tak lagi ada spirit berantas kezaliman untuk tegaknya konstitusi.

Kurun waktu 1990 – 2000-an Indonesia dikenal adat ketimuran yang pentingkan etika dan moralitas. Namun, seiring berjalan waktu, seluruh sendiri kehidupan begitu cepat berubah. Tak lagi memiliki dasar – dasar etika dan moralitas dalam berbangsa dan bernegara.

Pergeseran paradigma kehidupan bangsa seperti ini, merupakan sebuah ancaman besar. Disuatu masa, visi bangsa ini akan terkubur dalam kenangan sejarah. Negara yang ingin manusianya beretika dan bermoral, kini terasa hampa.

Perhelatan pilpres 2024, begitu telanjang, kecurangan yang dilegalkan, dan mental pemimpin yang ingin menang dengan cara menyuap rakyat. Keraguan terhadap Indonesia akan bertahan sungguh benar. Hampir semua rakyat, ragu Indonesia bisa bertahan atau tidak.

Situasi politik pasca pemilu presiden 2024 ini buat rakyat bingung dan marah karena penguasa bermain api. Dinamika transisi kekuasaan politik akan terus memanas, apabila partai politik komitmen pada jalur perubahan dan perbaikan. Bisa juga, mereda seiring waktu, apabila suasananya terjadi dalam situasi tawar menawar posisi. yang akan terus mewarnai politik Indonesia lima tahun ke depan.

Pemilu yang bersih harus mampu akomodasi hak politik masyarakat (political right), wadah formal kompetisi politik, menghargai hak sipil, kebebasan media dan kaum minoritas dalam aktivitas politik. Perlu sekali, me-rethingking dinamika politik dan demokrasi pada pemilu 2024 yang berpotensi turbulensi.

Melihat fakta – fakta pemilu 2024 ini sebagai metodologi suksesi kepemimpinan politik semakin gamang, curang, jahat, pelanggaran dan kegagalan karena terang – terangan manipulasi mulai dari kampanye, aturan main, sampai pemungutan suara.

Padahal, pemimpin negara ini sedang menjalankan program revolusi mental. Agenda itu tengah berlangsung hingga saat ini. Tetapi, hakim yang memiliki hubungan keluarga tak lagi perhatikan agenda revolusi mental itu. Demi jadikan keluarga cawapres 2024. Ternyata bagi rakyat, keadilan, persamaan hukum dan sikap konstitusional itu lebih mudah dapatkan diluar pengadilan. Rakyat demonstrasi tuntut hak negara saja, perlu taat hukum. Kalau tidak kena tangkap.

Fenomena sikap hakim dan penegak hukum diluar asas keadilan, berdampak pada gelombang beda pendapat, sikap dan tindakan yang menyebabkan runtuhnya pilar – pilar bernegara. Sejumlah fakta, alami kecurangan pemilu, menjungkir balikkan konstitusi, mengebiri sikap oposisi dan sandera politik yang bermasalah.

Beberapa tahun silam, tatanan hukum yang sudah sangat mapan, hancur akibat kekuasaan politik yang tak dilandasi nilai moral. Keadaban hakim dibongkar paradigmanya. Hampir semua kasus disandera jadi tahanan politik, kawan koalisi dirangkul dan kawan berlawanan dihabisi. Itulah perubahan tindakan dari pemimpin negara yang tak mengerti nilai-nilai keadaban. Tentu, berimbas pada praktek peradilan hukum dan tindakan hakim.

Pemimpin dan kekuasaan tidak mentarget sistematika revolusi mental untuk kembalikan posisi penting etika dan moralitas sehingga wewenang nyaris tanpa kendali. Kondisi sekarang, revolusi mental hakim (Red: etika dan moralitas) pepesan kosong tanpa hasil apapun. Karena orientasi hakim atas penggunaan hukum dan konstitusi hanya pertahankan eksistensi klan keluarga dan jejaring oligarki.

Mafia – mafia hukum atas nama keadilan beraksi dalam sengketa pemilu. Mereka menawarkan jasa – jasa kekuatan jaringan. Mereka menjalani sehari – hari untuk mencari kasus dan melobi, tentu imbalannya ratusan miliar. Akankah pasangan AMIN dan GAMA bisa menang di Mahkamah Konstitusi?. Belum tentu. Simak saja pada drama sidang sengketa.[]