Panas, Aksi Unjuk Sikap Civitas Academica UII Yogyakarta

JAKARTASATU.COM– Ratusan civitas academica UII Yogyakarta pada Kamis (14/03/2024) melakukan aksi unjuk sikap terhadap praktik politik kenegaraan nasional terutama persis satu bulan sejak pemungutan suara Pemilu 2024 pada 14 Februari 2024 lalu.

Acara yang juga dihadiri oleh pakar telematika Roy Suryo dilaksanakan di depan Balairung Kahar Muzakkir kampus pusat UII Jalan Kaliurang Yogyakarta, berlangsung panas, dengan orasi para Guru besar dan dosen, serta alumni UII Yogyakarta.

Para pembicara umumnya mengecam praktik kenegaraan yang dinyatakan telah membunuh demokrasi di Indonesia, serta berbagai tindak nir etika para penyelenggara negara, khususnya yang terjadi pada sebelum, ketika dan setelah berlangsungnya pemungutan suara pada Pemilu 2024 satu bulan lalu. Aksi unjuk sikap juga diramaikan dengan tabur bunga kematian di atas keranda yang bertuliskan “Demokrasi” oleh civitas academica UII.

Rektor UII Yogyakarta Prof Fathul Wahid ST., M.Sc., Ph.D yang membacakan pernyataan sikap civitas academica UII Yogyakarta mensitir bahwa sejak awal rezim ini berkuasa, telah muncul tanda-tanda kematian Demokrasi. Penciptaan segregasi sosial semenjak 2014 hingga sekarang dengan label “kadrun dan kampret” terbukti menjadi sarana ampuh untuk melumpuhkan sarana demokrasi. KPK dikebiri, pengkritik pemerintah dibawa ke meja hijau bahkan dijebloskan di balik jeruji besi, aktor masyarakat sipil dibayar menjadi buzzer dan loyalis sok sejati.

“Upaya membunuh demokrasi lainnya adalah “main kasar institusional” dengan cara Amandemen UU KPK, UU Minerba, UU MK, Pengesahan UU Ciptaker yang seakan-akan konstitusional, padahal sesungguhnya sangat manipulatif,” kata Fathul Wahid.

Selanjutnya Fathul Wahid juga menguraikan kasarnya permainan dilanjutkan dengan memunculkan Gagasan 3 Periode, Perpanjangan Jabatan tanpa Pemilu hingga Intervensi Keputusan MK yang sangat kontroversial, cacat moral dan etika. Di awal, Pemilu 2024 tampak damai, namun sebenarnya terjadi Permainan Elite tertentu dengan Oligarki untuk melanggengkan Kekuasaan Rezim sesuai dengan yang dia harapkan selama ini sebelumnya, karena Demokrasi telah (di) ambruk (kan) dari semua lini.

“Demokrasi sebagai kesepakatan publik yang suci telah mati di tangan Presiden Jokowi. Hal itu merupakan fakta pahit setelah Indonesia melewati 26 tahun reformasi 98. Banyak ahli menilai bahwa Pemilu 2024 adalah pemilu terburuk sepanjang sejarah Republik Indonesia,” imbuh Fathul Wahid.

“Oleh karenanya kami sepakat pemilu 2024 di permukaan memang tampak damai dan aman namun di balik itu pemilu 2024 telah dimanipulasi oleh elit yang bekerjasama dengan kelompok oligarki untuk memperdaya masyarakat demi dukungan politik elektoral. Pemilu sebagai salah satu pilar demokrasi ambruk menjadi sarana pelanggengan kekuasaan politik dinasti Presiden Jokowi,” tambahnya.

Oleh karena itu, tambah Fathul Wahid, Melihat situasi di atas UII sebagai kampus yang berdiri sebelum Kemerdekaan Indonesia dan didirikan oleh pembesar republik ini serta menjadi pelantang reformasi 98 memiliki tanggung jawab moral dan historis untuk terus berjuang di atas dasar konstitusi dan menghormati hak azasi manusia.

Oleh karenanya civitas academica UII menyatakan hal hal berikut :

1. Menuntut seluruh penyelenggara negara untuk menjunjung tinggi etika bernegara, menghormati hak dan kebebasan warga negara dan mengembalikan prinsip independensi peradilan.
2. Mengingatkan pejabat negara bahwa mereka memiliki tugas konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa demi tercapainya masyarakat yang sejahtera, beradab, adil dan makmur.
3. Mendorong partai politik untuk menjaga independensinya sehingga berdaya dalam menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dan mampu menjalankan perannya untuk membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermsyarakat, berbangsa dan bernegara.
4. Mendesak partai politik yang kalah dalam pemilu 2024 ini, untuk menjadi oposisi penyeimbang dan berpegang teguh pada etika berbangsa dan bernegara serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dengan menggunakan hak angket dan mencari langkah politik dan hukum lainnya sebagai penghukuman terhadap pimpinan nasional yang terbukti mengkhianati reformasi 1998 dan telah melakukan praktik korupsi kekuasaan secara terbuka.
5. Mengajak seluruh elemen masyarakat untuk memboikot partai politik yang menjelma menjadi penghamba kekuasaan dan uang serta terang-terangan mengkhianati tugas utamanya sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.
6. Meminta lembaga-lembaga negara sesuai tugasnya seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu, DKPP, dan Ombudsman RI untuk mengusut semua kecurangan pemilu termasuk yang dilakukan Presiden Jokowi pada masa sebelum, ketika dan sesudah pemungutan suara. Pemilu harus menjadi sarana menghasilkan pemerintahan yang absah.
7. Menyerukan kepada aktivis masyarakat sipil untuk melakukan pembangkangan sipil dan menolak menjadi bagian dari kekuasaan yang direbut dengan tipu muslihat tuna etika. Secara khusus kami menyeru tokoh kritis nasional untuk bersatu dan membuat oposisi permanen melawan rezim politik dinasti yang menjadi predator pamangsa dan pemburu demokrasi di Indonesia.

Pernyataan sikap ini digerakkan oleh hati nurani civitas academica UII dan kesadaran anak bangsa yang melihat praktik berbangsa dan bernegara yang semakin jauh dari nilai-nilai keadaban.

(Yoss)