Pertanyaan Komite HAM PBB Terkait Pilpres Berimplikasi Terhadap Demokrasi Indonesia
OLeh: WA Wicaksono, Storyteller
Pada Sidang Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) CCPR di Jenewa, Swiss, pada tanggal 12 Maret, Anggota Komite Hak Asasi Manusia PBB, Bacre Waly Ndiaye, mengemukakan pertanyaan yang menyoroti netralitas Presiden Joko Widodo serta pencalonan Gibran Rakabuming Raka dalam Pilpres 2024. Pertanyaan tersebut tak hanya menjadi perhatian internasional, tetapi juga mengundang refleksi dalam masyarakat Indonesia tentang signifikansinya terhadap legitimasi demokrasi.
Pertanyaan yang dilontarkan Ndiaye terkait dengan jaminan hak politik bagi warga negara Indonesia dalam Pemilu 2024 memunculkan sejumlah diskusi penting. Pertama-tama, penting untuk memahami bahwa pertanyaan tersebut sebagian besar terfokus pada prinsip netralitas yang diharapkan dari seorang pemimpin negara dalam konteks proses demokrasi yang adil dan transparan.
Netralitas seorang presiden menjadi pondasi yang krusial dalam memastikan proses pemilihan umum berlangsung dengan adil dan menghargai hak politik seluruh warga negara. Dalam konteks Indonesia, netralitas Jokowi sebagai presiden saat ini memang menjadi sorotan mengingat beliau sebagai tokoh yang diharapkan dapat memastikan keadilan dan keseimbangan dalam proses politik nasional tetapi nyatanya tidaklah demikian.
Apalagi tidak hanya netralitas presiden yang dipertanyakan, tetapi juga pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi, dalam Pilpres 2024. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang potensi konflik kepentingan dan pengaruh politik yang mungkin timbul akibat keterlibatan keluarga presiden dalam arena politik tertinggi.
Pertanyaan yang diajukan oleh Ndiaye memiliki implikasi yang dalam terhadap legitimasi demokrasi di Indonesia saat ini. Pertama-tama, pertanyaan tersebut mengingatkan bahwa keadilan, transparansi, dan netralitas dalam proses politik adalah prinsip-prinsip yang tak boleh dikompromikan dalam menjaga kesehatan demokrasi sebuah negara.
Kedua, pertanyaan tersebut memperkuat urgensi untuk menjaga independensi lembaga-lembaga pengawas dan penegak hukum agar dapat menjalankan fungsinya dengan bebas dari intervensi politik yang bersifat merugikan kepentingan publik.
Ketiga, pertanyaan tersebut juga mengingatkan bahwa partisipasi politik warga negara harus dijamin tanpa adanya hambatan atau intimidasi, sehingga memungkinkan munculnya pemimpin yang dipilih secara bebas dan adil sesuai dengan kehendak rakyat.
Sebagai sebuah negara demokratis, Indonesia perlu merespons pertanyaan-pertanyaan kritis ini dengan serius. Meneguhkan prinsip-prinsip demokrasi, memastikan netralitas dan independensi institusi-institusi terkait, serta mengukuhkan partisipasi politik yang inklusif dan bebas dari tekanan eksternal menjadi langkah-langkah penting dalam menjaga legitimasi demokrasi di Indonesia. Dengan demikian, Indonesia dapat terus bergerak maju sebagai negara demokratis yang kuat dan berdaya saing global. Tabik.
IPW Kecam Pengiriman Kepala Babi ke Kantor Tempo, Desak Kapolri Usut Tuntas
JAKARTASATU.COM-- Indonesia Police Watch (IPW) mengecam keras aksi teror berupa pengiriman potongan kepala...
Pengamat Intelijen dan Geopolitik: Demo Penolakan UU TNI Diduga Ditunggangi 'Operasi Solo' Demi Gibran Jadi Presiden
JAKARTASATU.COM-- Demonstrasi besar-besaran yang menolak revisi Undang-Undang Tentara Nasional...
Ketika Dwi Fungsi Versi Nasution dan Suharto Sudah Raib, Hendrajit: Jadi Sekarang Dwi Fungsi Versi Siapa?
JAKARTASATU.COM-- Analis Geopolitik yang juga merupakan pengamat militer Hendrajit...
PARARATON BERTOPENGOleh Agung MarsudiRAJA panggung itu bernama Rocky Gerung. Ia kini pemilik kata "dungu". Dicomotnya kata itu dari kamus, hingga orang lain grogi menggunakan...
Menanti Kinerja Gercep Propam Mabes Polri Memproses AKP Yan Hendra, Tanpa Harus Menunggu 'bayar-bayar' Polisi
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat
Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas...